Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (101), Para Petarung Ulung

31 Oktober 2024   06:31 Diperbarui: 7 November 2024   18:33 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

***

Tidak lama kemudian Kebo Klebat tampak keluar dari warung dan melangkahkan kaki menuju rumah di sebelah utara langgar. Ia melihat kakek tua yang tampaknya sedang berkebun di taman yang asri.

Bagi pendekar-pendekar silat yang tingkat ilmunya sudah tinggi, melakukan serangan tanpa menggerakkan anggota tubuh bukanlah hal yang aneh. Suara pun adalah bagian dari senjata yang sebetulnya lebih ampuh dari pada runcingnya tombak. Bagi mereka yang tenaga dalamnya sangat kuat, maka suaranya dapat diisi gelombang energi yang cukup untuk merobohkan musuh. Getaran energi itu bisa menyerap tenaga, bisa menggetarkan organ-organ tubuh dan menghancurkan urat-urat syaraf.

Angin yang cepat menyambar ke arah kakek tua dan jelas tampak betapa baju di bagian tepinya berkibar-kibar tersambar energi dasyat. Akan tetapi, kakek itu hanya menengok sambil melempar senyum tipis, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak sedikit pun merasakan datangnya pukulan jarak jauh itu. Laksana sebongkah batu karang ditiup semilir angin.

Sesungguhnya kakek yang dijuluki Mbah Kucing itu tahu bahwa ada serangan gelap. Akan tetapi pukulan yang mengandung tenaga dasyat itu seolah sama sekali tidak terasa. Tidak berarti apa-apa. Saat itu ia sedang pulang dari tempat pertapaan rahasianya.

Mbah Kucing telah berlatih semedhi demi menghimpun hawa murni selama seratus tahun lebih, oleh karena itu ia memiliki tenaga dalam yang besar dan yang kini telah menjadi satu dengan pernapasan serta aliran darahnya, sehingga tenaga sakti itu akan otomatis bereaksi setiap kali ada bahaya datang mengancam.

Kebo Klebat bahkan merasa badannya terguncang oleh pantulan balik tenaganya sendiri. Kuda-kuda kakinya pun bergeser mundur selangkah. Di saat sedang mengalami ketakjuban itu, ia dikagetkan oleh suara seorang gadis.

"Hei, kenapa kamu seenaknya menyerang orang tidak bersalah?" tanya gadis bernama Alya, yang muncul dari dalam langgar. Dia adalah gadis belia berusia tujuh belas tahun, berkulit terang dan berambut hitam mengkilat, tubuh dan anggota badannya indah. Sosoknya itu menyiratkan kesan kudus, tidak seperti gadis-gadis desa pada umumnya yang biasa bekerja di ladang, yang kekar dan kecoklatan terbakar matahari. Gerak-geriknya anggun, lehernya jenjang dan wajahnya bercahaya. Kini, selagi berdiri di teras langgar, ia tampak bagai seorang peri dari negeri dongeng.

Kebo Klebat terpana melihat kecantikan itu dan membuat hatinya bergetar hebat. Ia segera melupakan si kakek. "Boleh tahu siapa namamu?" tanyanya gugup.

"Tidak boleh! Kamu orang jahat!" jawab Alya ketus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun