Dengan nada suara sedikit gemetar, Ustadz Jangkar kemudian membaca ayat kursi dan diikuti oleh yang lain. Terdengar suara bacaan mereka laksana dengung rombongan tawon.
Tapi pocongan Mahesa itu justru mendekat. Ketika meloncat selalu ada potongan daging di wajahnya yang melorot dan copot lalu jatuh ke tanah. Tentu saja orang-orang merasa ngeri dan bergidik melihatnya. Mereka berusaha mundur, tapi kesulitan karena jalan yang mereka lewati ternyata penuh dengan nisan. Berkali-kali kaki mereka tersandung.
Tiba-tiba di belakang terdengar suara tawa perempuan cekikikan. Suara tawa yang sekaligus mirip tangis memilukan.
Ketika Ki Wiryo berpaling, matanya kembali melotot dan akal pikirannya sulit menerima apa yang dilihatnya. "Lastri!" serunya. Kakinya terasa lemas. "Tidak mungkin!"
Tubuh Lastri berlumuran darah, dan masih mengucur keluar dari luka-lukanya. Matanya besar sebelah dan menatap tajam sambil tangannya menuding ke arah Ki Wiryo.
Ki Wiryo tanpa merasa malu lagi memeluk badan Ustadz Jangkar yang kini membaca ayat kursi dengan suara lantang. Tangan kanannya mengacungkan tasbih seolah hendak menakuti pocong-pocong itu.
Bau harum bunga kini berubah menjadi bau busuk bangkai. Sangat menyengat. Membuat pusing dan mual. Beberapa yang tidak kuat menghirup aroma itu akhirnya muntah, lemas dan pingsan.
Ki Wiryo berusaha lari, tapi tiba-tiba ada tangan muncul dari dalam tanah dan menangkap kakinya. Ketika ia menarik kakinya, sosok mayat ikut tertarik keluar sebatas pinggang di atas tanah.
"Lepaskan..! Mati aku! Lepaskan..!"
***
"Paman, bangun!" seru Dewan seraya menggoyang-goyang badan Ki Wiryo.