Langit di atas Jombang semakin pekat. Suasana malam yang senyap merayap, merasuki hingga setiap jalanan dan gang sempit kota kecil itu. Itulah waktu sakral. Waktu idaman bagi para hamba untuk mengekspresikan segala rasa cinta kepada Sang Pencipta. Akan tetapi, dalam keheningan itu, di sepetak pesanggrahan di Padepokan Macan Abang, seolah menjadi arena perang antara hidup atau mati. Ya, perang melawan luka-luka dalam yang nyaris merenggut nyawa mereka berdua.
Setelah dengan susah payah berhasil kembali ke tempat tinggal mereka, Ki Kalong Wesi dan Si Iblis Betina segera memeriksa luka-luka di tubuh mereka. Kening kakek tua itu berkerut, dahinya berkeriput ketika ia mengerahkan segenap kekuatan hawa murni untuk mengobati luka dalamnya. Si Iblis Betina memeriksa jalannya darah pada nadi, ketukan jantung pada dada kiri, memeriksa jalan-jalan darah terpenting.
Ki Kalong Wesi mendapati kenyataan bahwa ia menderita luka dalam yang benar-benar berat pada dua tempat, dan darahnya telah menggumpal. Bagian kulit di dada dan lambungnya kelihatan membiru kehitaman. Dengan hati-hati ia membuka baju yang terkena noda darah yang dimuntahkan, lalu melemparkan baju itu ke sudut kamar.
Tanpa ragu-ragu Ki Kalong menotok beberapa pusat jalan darah di tubuhnya, mengurut dan memijat bagian dada untuk mengalirkan darah agar keluar dari mulut, kemudian ia membantu daya tahan dengan melakukan meditasi dan pernafasan. Setelah berlangsung cukup lama, usahanya berhasil baik karena rasa nyeri di dada itu tidak seberat tadi.
Si Iblis Betina juga melakukan hal yang sama, menotok semua jalan darah yang penting. Setelah itu wajahnya nampak sangat lelah. Keringat deras membasahi sekujur tubuhnya. Cepat ia duduk bersila dan mengatur pernapasan. Sampai setengah jam lebih ia baru bisa memulihkan tenaganya, lalu ia bangun dan segera meracik ramuan obat-obatan untuk diminum.
Si Iblis Betina melihat ke arah Ki Kalong Wesi yang masih melakukan meditasi. Tampaknya kakek tua itu mengalami luka dalam lebih berat dibanding dirinya. Si Iblis Betina merasa pemuda sakti itu masih berbaik hati padanya, mungkin karena dirinya seorang wanita.
"Anak muda keparat itu benar-benar hebat!" seru Ki Kalong Wesi tanpa merubah posisi meditasinya. "Aku sudah dua kali berhadapan dengan dia, dan dia selalu lebih unggul!"
"Aku kenal anak itu. Dia adalah anak yang dulu aku culik, lalu suamiku menjadikannya sebagai bahan percobaan ilmu-ilmu hitam temuannya. Anehnya anak itu sangat kuat dan kami selalu gagal membunuhnya. Terakhir kami paksa dia minum racun yang paling ganas. Tapi ternyata dia masih bisa bertahan hidup, bahkan kemudian bertemu dengan pasukan Majapahit yang sedang berburu, yang kemudian menunjukan kepada mereka keberadaan tempat tinggal kami di dalam hutan!"
"Kamu yakin kalau dia itu yang dulu kamu culik?" tanya Ki Kalong Wesi masih dengan mata terpejam.
"Sangat yakin. Namanya sama, Lintang Kejora. Itu nama asli pemberian orang tuanya. Aku dulu bekerja sebagai pembantu di rumahnya. Dia punya tanda lahir di kepala bagian belakang yang berbentuk mirip bintang!"
"Apa dia tahu kalau kamu adalah orang yang dulu menculik dia?"