Pandangan Mahesa menyorot menjelajahi dada yang menonjol dan Lastri memergokinya. Tangan Mahesa lalu meraba lembut lengan gadis itu. Jantungnya berdebar tak beraturan sehingga mempengaruhi desah nafasnya.
Cahaya redup tidak mampu menyembunyikan sinar mata Mahesa yang memancarkan gairah. Jari-jemarinya mendekap kedua bahu, kuat namun lembut. Ia menarik tubuh Lastri ke dalam pelukannya, "Harum sekali rambutmu!" Ia bergumam di samping telinganya. "Kamu tahu, setiap jengkal tubuhmu adalah wanita sejati. Pinggul dan pantatmu indah!" tangannya meluncur, mengelus-elus dan meremas. Wajahnya menunduk untuk menciumi pipinya.
"Cak Mahes.., jangan..." gumam Lastri lirih.
Akan tetapi mulut Mahesa telah menutup mulut gadis itu dengan ciuman. Ia belum pernah merasakan lembutnya bibir yang semakin merangsang gairahnya. Mulutnya menekan lebih kuat dan bermain dengan berani.
Desah napas mereka menyatu bagaikan suatu irama. Sekarang tangan Lastri melingkar di leher Mahesa dan melayani ciuman itu. Ini bukan lagi sekedar ciuman, tapi suatu aksi asmara yang membara.
Mulut Mahesa meluncur menyusuri leher dan naik ke telinga. Menggigit lembut daun telinganya. Dengan keluhan lembut ia menyebut namanya, "Lastri kekasihku!" Dia mendengar desahan yang tidak jelas seolah sebagai tanda diperkenankannya. "Ya Tuhan, kamu lebih indah dari yang pernah aku bayangkan!"
Lastri menghembuskan nafas sambil mendesah, "Cak Mahes!" nafasnya terasa hangat merayapi wajah Mahesa.
Mereka telah terbakar oleh birahi yang memuncak. Mata Lastri terbelalak dan bibirnya gemetar ketika Mahesa menggendong tubuhnya dan membaringkan di atas ranjang.
Keadaan mental yang sedih, kecewa, putus asa, marah, telah merobohkan benteng moral yang selama ini mereka genggam dengan kuat. Kini mereka masa bodoh dengan semua itu. Masa bodoh soal moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H