Oleh: Tri Handoyo
Perlahan matahari tenggelam, seiring semburat jingga yang perlahan merangkak meninggalkan langit ufuk barat. Lastri dan Mahesa dengan menjinjing bungkusan pakaian mereka masing-masing, sudah siap melangkahkan kaki meninggalkan padepokan, hanya tinggal berpamitan kepada Guru Lintang.
"Assalamualaikum, Guru!" ujar Mahesa dan Lastri. Mereka berdua melihat Lintang sedang membaca sebuah kitab di joglo taman.
Lintang berlagak sedikit kaget, tapi kemudian tersenyum ceria. "Waalaikum salam..! Ayo kalian duduk sini, ada yang ingin aku bicarakan?"
Mahesa dan Lastri duduk bersila menghadap Lintang. Mereka berdua cukup bingung, karena di kesempatan itu sikap Lintang begitu sangat bersahabat. Padahal sebelumnya, ketika Guru Arum akan menjatuhkan hukuman, jangankan mencegah, bahkan Lintang seolah-olah sengaja pergi menghindar.
"Kadang aku itu membayangkan seandainya bisa bertemu dengan guru-guru yang telah tiada!" kata Lintang memulai percakapan. "Mpu Naga Neraka, Pendekar Kebokicak, Paman Kelabang Karang..! Mereka pendekar-pendekar yang tangguh dan tegar!"
Mendengar nama-nama itu disebut rasanya jantung Mahesa dan Lastri berdebar hebat. Semua yang disebut itu tokoh-tokoh yang dulu sangat mereka hormati dan kagumi.
"Nah, aku ingin mendengar langsung kisah beliau-beliau dari kalian?"
Sepasang kekasih itu sesaat saling berpandangan. tadinya bingung bagaimana cara berpamitan kepada Lintang, pendekar besar yang sangat murah hati itu, tapi kini bingung dan susah payah harus memaksa mulut mereka bercerita. Sambil bercerita, wajah mereka menunduk, tak sanggup menerima tatapan gurunya.
"Terima kasih!" ucap Lintang gembira, "Hm.., masih banyak warisan mereka yang harus kita pelajari! Jadi saya harap kalian tetap di sini ya!"