Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (85): Membakar Matahari

10 Oktober 2024   04:58 Diperbarui: 10 Oktober 2024   07:46 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Kemarahan Lastri yang terpendam sekian tahun kembali bangkit, sampai mati ia tidak akan mau menyerah walau pun dikeroyok empat orang, biar Juragan Bejo terbuka matanya bahwa jangan pernah meremehkan seorang gadis yang hatinya terluka. Ia bertekad harus bisa menghabisi nyawa Ki Bejo malam itu juga.

Ki Panji dan Cak Saidi adalah orang yang paling lemah di antara musuh-musuh itu, sehingga mereka yang paling dulu terkapar. Mereka merangkak minggir dan hendak mencari kesempatan untuk kabur.

Lastri menyerang terus, memukul dan menendang, mengutamakan untuk mengejar Ki Bejo, sampai lelaki itu tanpa malu-malu lagi setengah berlindung di belakang Ki Bogel. Lastri ingin membuat Ki Bejo menyesal seumur hidup.

Di sisi lain, Mahesa sudah berhasil mendesak lawan-lawannya. Ia berhasil merebut pedang Si Garangan dan membabat putus sebelah tangannya. Sementara Ki Geni telah roboh dengan usus teburai dari perutnya.

"Ampun..! Ampun..!" jerit Cak Saidi, "Kami menyerah kalah..!" Pandang matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung-huyung.

"Pengkhianat!" seru Lastri sambi menginjak muka Cak Saidi yang tergeletak di tanah, untuk pijakan tendangan telak yang sangat keras yang ia kirim ke arah kemaluan Ki Bejo, sehingga juragan itu menjerit keras memecah keheningan malam. Ki Bejo terlempar dan jatuh terduduk dengan mata melotot nyaris keluar dari tempatnya. Kedua tangannya mendekap selangkangannya dan darah segar mengucur deras dari celah-celah jarinya.

Lastri dan Mahesa melihat enam orang terkapar di berbagai tempat, mengerang kesakitan sambil meratap minta dikasihani. Mahesa menyuruh Lastri keluar lebih dulu, kemudian ia menendang dua obor agar jatuh di tumpukan bambu yang berantakan. Katanya dengan dingin, "Rasakan neraka dunia ini!"

"Ampun..! Tolong..!" jerit orang-orang jahat itu bersahutan. "Jangan.., jangan bunuh saya..! Ampun..!"

Mahesa melompat keluar dan berdiri di sebelah Lastri. Mereka saling berpandangan, seolah sepakat bahwa membakar rumah itu adalah ide yang sangat bagus. Mereka mengeraskan hati, menguatkan tekad, dan kemudian melemparkan dahan dan ranting-ranting ke dalam rumah untuk memperbesar api.

Membasmi kejahatan bukan melanggar hukum, tapi justru menegakan hukum. Mereka pikir tidak perlu menunggu pihak berwajib untuk melakukan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun