"Itulah, saya tidak bisa menceritakannya kepada setiap orang!" sahut Lastri. "Yang jelas Ki Bejo itu seorang penjahat yang harus diberi pelajaran, dan saya adalah orang yang pernah menjadi korban kejahatannya. Bapakku juga meninggal gara-gara dia! Penjahat itu masih untung, padahal aku sebetulnya ingin sekali membunuhnya!"
"Walah..walah.., Lastri, apa kamu tidak pernah diajari orang tuamu?" potong Cak Saidi, "Kata-kata yang kau ucapkan itu sungguh tidak patut! Membunuh orang itu dosa besar, apa kau tidak takut ditangkap pihak berwajib dan dijebloskan ke dalam penjara? Kamu masih muda, alangkah malangnya nasibmu kalau sampai dipenjara!"
Lastri memandang Cak Saidi dengan heran, "Yang berwajib?"
"Iya. Membunuh itu jelas melanggar hukum! Nah, kamu takut kan?" Cak Saidi mengira bahwa gadis itu takut dipenjara, karena itu ia semakin semangat, "Makanya jangan sembarangan bertindak. Jangan main hakim sendiri, tapi laporkan saja kepada pihak yang berwajib?"
Lastri berpaling kepada Mahesa dan mereka berdua tampak berusaha menyembunyikan senyum, merasa geli mendengar itu. "Cak Said ini seperti tidak tahu saja!" kata Lastri dengan nada mengejek.
"Aku hanya kasihan sama kamu, dan sungguh mati aku tidak ingin melihatmu sampai masuk penjara!" Cak Saidi menampakan sikap seolah-olah sangat peduli.
"Atau pura-pura nggak tahu?" imbuh Mahesa dengan nada jengkel.
"Kita hidup itu harus tunduk kepada aturan. Harus taat kepada hukum. Jangan bertindak menuruti kemauan nafsu seperti binatang yang tidak mengenal aturan! Kalian itu termasuk para pimpinan di padepokan ini, jadi seharusnya bisa memberi suritauladan yang baik kepada murid-murid yang lain!"
"Sudah selesai dakwahmu?" sindir Mahesa.
"Kalian tahu? Di luar sana berkembang berita bahwa ada pasangan muda-mudi dari padepokan Benteng Nusa yang menginap di pesanggrahan dan kemudian membuat kerusuhan! Ini benar-benar menjatuhkan kehormatan nama padepokan!"
"Itu tidak benar!" bantah Lastri.