Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (76): Berita Bahagia

28 September 2024   05:03 Diperbarui: 28 September 2024   09:27 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Si Iblis Betina masih terus keheranan dengan kemajuan pesat ilmu silat Arum. Nama asli Iblis Betina adalah Syiahni. Dia adalah istri mendiang Ki Lindu yang dulu menculik bayi Lintang Kejora. Ketika rumah mereka di tengah hutan diserbu prajurit Majapahit, Syiahni berhasil meloloskan diri. Ia dikejar belasan prajurit, dan tertangkap jauh dari rumahnya.

Agar tidak dibunuh, dia kemudian melucuti pakaiannya dan menyerahkan tubuhnya kepada para prajurit. Siasat itu berhasil. Empat orang prajurit tergiur godaannya. Sementara prajurit yang lain kemudian memilih pergi meninggalkan lokasi. Syiahni, sambil menari dan menyanyi, membantu melucuti satu per satu pakaian keempat prajurit. Mereka tidak sadar bahwa perempuan yang sedang mereka hadapi itu adalah istri seorang ahli sihir.

Setelah keempat prajurit itu seolah-olah terhipnotis, tanpa diduga Syiahni meraih sebilah pedang dan kemudian membantai mereka. Setelah merasa aman, ia kembali ke rumahnya dan mendapati suaminya tewas dengan sangat mengerikan. Sementara rumahnya rata dengan tanah. Ia kemudian bertekad mendaki Bukit Kedung Lintah dan berguru kepada Nini Jailangnak.

Si Iblis Betina tidak seperti gurunya Si Nenek Siluman Nini Jailangnak, ia masih tergiur dengan gemerlapnya dunia. Itulah sebabnya ia bersedia menerima imbalan harta untuk bergabung dengan kubu Dyah Ranawijaya. Dari situ ia mengenal Ki Kalong Wesi, dan kemudian menjalin hubungan gelap dengan sosok Pendekar yang merajai kawasan pantai selatan itu.

Syiahni menceritakan kepada semua orang bahwa dia pernah menjadi korban pemerkosaan kawanan prajurit Majapahit, sebagai alasan kenapa dia menaruh dendam kepada Majapahit,

Di medan perang, setiap berhasil membunuh pasukan lawan, ia sempatkan untuk memotong kemaluan mereka dan kemudian diikat menjadi rangkaian yang ia seret ke mana-mana. Ia seolah-olah ingin menunjukan kepada siapapun bahwa ia telah berhasil melampiaskan dendamnya terhadap para pemerkosanya. Karena kebengisan dan kesadisannya yang dipertontonkannya itulah ia kemudian mendapat julukan Si Iblis Betina.

Belakangan Si Iblis Betina kaget saat mendengar kabar munculnya seorang pemuda bernama Lintang Kejora di Padepokan Benteng Naga. Pendekar yang membuat gempar dunia persilatan karena telah mengalahkan kawanan Pendekar Tapak Petir. Ia curiga pemuda bernama Lintang itu adalah anak yang dulu ia culik. Itulah kenapa ia dua kali menyelidiki keadaan Padepokan Benteng Nusa, di samping ia memang berniat mencuri kitab dan pedang pusaka. Ia sama sekali tidak tahu-menahu mengenai tuduhan Arum soal tulisan hinaan atau soal Ajeng.

Pada saat suasana panik dan orang-orang mengejar Si Iblis Betina, salah seorang tilik sandi Ki Demang kemudian menulis hinaan di tembok. Dia adalah Saidi Narasoma, rekan Ki Lurah Panji Segoro, yang sejak lama disusupkan untuk menjadi murid Benteng Naga. Penyusup itulah yang selalu membocorkan keadaan padepokan kepada Ki Demang Wiryo.

***

Kendati di dalam hati kecil Roro Ajeng ada sepenggal kerapuhan dalam mencintai Panji, namun ia berjanji akan berusaha sepenuh hati mencintainya. Bukan karena Panji kurang tampan atau kurang mapan, akan tetapi karena cinta sejatinya telah lenyap, dibawa pergi seorang pendekar besar bernama Kebo Kicak.

Itu bukan hal yang aneh, karena sebagai seorang pendekar silat tentu saja ia mengagumi sosok pendekar yang lebih hebat darinya, dan ketika orang yang dicintai itu mengkhianati, maka hatinya menjadi hampa. Itu membuat ia tidak banyak pertimbangan lagi ketika Panji melamarnya. Hanya terdapat sedikit hal yang mengecewakan hati Ajeng, yaitu bahwa Panji sama sekali tidak memiliki jiwa seorang pendekar. Panji berjiwa seorang penjilat tulen terhadap atasannya, Ki Demang Wiryo.

Yang cukup menghibur hati, pengantin baru itu hidup dalam keadaan berkecukupan. Panji memiliki sebuah rumah dengan pekarangan yang luas. Mereka memelihara beberapa hewan ternak di belakang rumah, dan menanam berbagai tanaman sayuran serta buah-buahan di pekarangan samping rumah.

Sore hari itu, di teras depan rumah, Panji menemani Ajeng yang tengah menyirami bunga-bunga dalam pot. Ia terus berupaya membujuk istrinya agar keluar dari Ikatan Pendekar Jawa pimpinan Arum.

"Persaudaraan Pendekar Pribumi siap menjadikan Dik Ajeng sebagai ketua apabila nanti bergabung!"

"Aku tahu, pada dasarnya Ki Demang itu sakit hati karena perguruannya kalah pada saat pemungutan suara. Maka keluar dan buat organisasi tandingan!"

"Huss, jangan bilang begitu Dik. Kalau sampai ada orangnya Ki Demang tahu bisa bahaya kita!" Panji tampak ketakutan sekali.

Sekali lagi dalam lubuk hati Ajeng tertikam oleh kekecewaan terhadap sikap suaminya. Ia makin tahu bahwa di balik keangkuhan dan kegagahan Panji Segoro, terdapat sifat penakut yang tidak menyenangkan hatinya.

"Ki Demang itu sebenarnya orang yang baik, Dik!" tutur Panji meyakinkan. "Dia itu..."

Ajeng memotong, "Orang kepercayaan Ki Demang yang membunuh ayahku!"

"Itu tidak ada hubungannya dengan Ki Demang!" bela Panji, "Surantanu itu memang manusia keparat. Ki Demang sendiri benci sama keparat busuk itu, dan sudah punya rencana mau mengusirnya. Jadi Surantanu membunuh ayahmu atas kemauannya sendiri, bukan perintah siapa-siapa!"

Panji sebetulnya punya sebuah rahasia yang menyakitkan karena cintanya pernah ditolak Arum Naga. Ia juga sudah mendengar bahwa Ajeng pernah sakit hati terhadap Arum karena dianggap telah merebut Tulus. Jadi mereka adalah pasangan suami istri yang menyimpan dendam tersembunyi kepada orang yang sama.

Setelah Panji dan Ajeng mendengar berita mengenai siapa Lintang sebenarnya, yakni bukan Kebo Kicak, mereka pun merasa senang. Itu berita membahagiakan bagi mereka. Kini mereka bisa mencibir kepada Arum. Mereka yakin Arum dan Lintang pasti telah berbuat tidak senonoh. Panji dan Ajeng bisa sepakat soal Arum, tapi tidak sepakat soal Ki Demang.

***

Pagi itu Asih dan putrinya, Alya Dananjaya, mengunjungi Arum. Mbok Semi mempersilakan ibu dan putrinya itu masuk ke ruang tamu, dan memberitahu bahwa Arum sedang bermeditasi di kamarnya. Mbok Semi sebetulnya tahu bahwa Arum masih tidur. Arum sering berlatih silat saat menjelang tengah malam dan kemudian melakukan meditasi hingga subuh. Setelah mentari mulai hadir, nyonya muda itu baru beristirahat untuk beberapa saat.

Ruang tamu itu cukup luas, tapi hanya berisi satu kursi panjang dan empat kursi kecil. Di depan masing-masing kursi terdapat meja berkaki pendek, berwarna coklat mudah. Tidak banyak hiasan yang terpajang di dinding, hanya sebuah lukisan pemandangan di atas kursi panjang. Ruang tamu sederhana, namun kondisinya bersih dan rapi, sehingga tamu akan merasa nyaman berlama-lama di dalamnya.

Ruang tengah dan ruang tamu sebetulnya satu bagian utuh, hanya dibatasi oleh rak kayu yang masih menyisahkan banyak celah, sehingga orang dari kedua ruang itu masih bisa saling melihat. Terdapat beberapa hiasan guci yang berbaris di depan rak pembatas.

"Ning Arum," panggil Mbok Semi seraya menggoyang sebelah kaki tuannya dengan pelan.

"Iya, Mbok?"

"Ada Mbakyu Asih!"

"Oh, baik. Tolong buatkan minuman, saya mau cuci muka dulu!" Arum ganti pakaian sebelum akhirnya bergegas menuju ruang tamu.

"Maaf, mengganggu meditasi Dik Arum!" kata Asih mendahului.

"Tidak apa-apa, Mbak!" Ia memeluk Asih dengan hangat, dan kemudian beralih ke Alya. "Hai, Alya rasanya sudah lama kita tidak jalan-jalan ya. Mbak kangen pingin jalan-jalan seperti dulu!"

Gadis kecil itu berceloteh, "Makanya kalau pagi jangan tidur!"

"Hei!" sahut Asih, "Ngomong apa kamu itu? Mbak Arum itu sedang meditasi, bukan tidur!"

Tentu saja Arum tertawa mendengar itu, "Baik, Eyang Alya yang cantik!"

"Iya, si kecil ini ngomongnya kayak mbah-mbah saja!" imbuh Asih.

"Ha..ha..! Dari mana, Mbak?" tanya Arum sambil duduk di sebelah Alya.

"Dari rumah. Tadi Alya maksa ngajak main ke sini, katanya di rumah Mbak Arum ramai orang dan banyak makanan!"

"Ha..ha.., mungkin Alya mimpi?" tanya Arum, "Di sini memang setiap hari kan banyak murid yang berlatih silat!" Ia kemudian berpikir cepat mengenai makanan apa yang ia punya untuk bisa disuguhkan kepada tamunya. "Sebentar ya, aku minta Mbok Semi untuk ambil buah-buahan di belakang rumah! Alya suka jambu?"

"Hei gak usah repot-repot, Dik!" ujar Asih, "Tahu sendiri kan, Alya itu memang suka mengkhayal!"

"Mbak!" ujar Alya datar sambil menuding ke arah guci, "Itu barang-barang kuno ya?"

"Ha..ha.., kok tahu kalau kuno?" Arum balik bertanya sambil tertawa lepas. "Kuno itu apa sih?"

Tiba-tiba mereka bertiga dikejutkan dengan datangnya rombongan orang berkuda yang memasuki pintu gerbang padepokan. Jumlah mereka sepuluh orang, dan mengaku kepada penjaga bahwa mereka utusan dari Lumajang. Setelah diijinkan masuk, seorang menyampaikan kabar kepada Arum bahwa ada rombongan yang akan datang untuk melamar Putri Arum Naga.

"Rombongan Raden Lintang akan tiba esok hari!" kata si pembawa pesan kepada Arum. "Kami bertugas untuk membantu mempersiapkan segala keperluan di sini!"

Yang membuat Arum dan Asih terheran-heran, rombongan itu kemudian menurunkan banyak oleh-oleh berupa makanan dan buah-buahan. Tanpa sadar mereka berpaling ke si gadis mungil, Alya.

Tentu saja Arum menjadi kalang kabut mendengar berita bahagia yang bagaikan mimpi itu. Ia segera menyampaikan kabar itu kepada murid-muridnya dan meliburkan semua jadwal kegiatan di padepokan. Ia juga meminta kepada Mbakyu Asih dan Cak Japa, untuk menjadi wakil orang tuanya.

***

Keesokan harinya, tidak seperti biasanya, pagi-pagi sekali Arum sudah mondar-mandir di teras depan rumah yang lebar. Semua kursi dan meja di dalam ruangan dikeluarkan dan diatur di halaman depan, di atas lantai bata merah. Pendekar Naga Jelita yang usianya baru menginjak dua puluh satu tahun itu nampak gagah dalam pakaian kebaya berwarna lembayung yang anggun tapi ringkas. Wajahnya yang belakangan muram kini terlihat berseri-seri.

Para murid wanita yang berjumlah puluhan orang berpakaian seragam berwarna hijau. Mereka tampak gagah dan juga cantik-cantik, seperti dayang-dayang dalam istana kerajaan.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul. Rombongan mempelai laki-laki dikawal sekitar empat puluh orang menunggang kuda dan dua kereta yang masing-masing ditarik empat ekor kuda. Rombongan yang merupakan keluarga anggota Perguruan Pedang Akhirat itu membawa banyak 'Seserahan' untuk melamar.

Dari pihak keluarga mempelai perempuan, diwakili Cak Japa, menyambut dengan hangat kedatangan mereka dan segera mempersilakan masuk ke tempat di mana acara lamaran dan akad nikah akan berlangsung.

Penyampaian maksud dan tujuan kedatangan rombongan dari mempelai laki-laki disampaikan oleh Ki Tanca. Inti dari acara lamaran itu langsung mendapat jawaban dari calon mempelai perempuan untuk bersediah dinikahkan.

Setelah lamaran resmi diterima oleh mempelai perempuan, maka agenda selanjutnya adalah penyerahan 'Seserahan' kepada keluarga calon mempelai perempuan. Itu merupakan simbol tentang keseriusan dari pihak pelamar. Mereka membawa berbagai macam bingkisan buat mempelai perempuan, dan yang paling istimewa, yaitu sejumlah uang untuk biaya membangun sebuah puri yang nantinya akan dipersembahkan sebagai "Mahar". Puri itu kelak diberi nama 'Puri Naga Nusantara'.

Acara akad nikah yang cukup sederhana telah selesai dilaksanakan, dan acara selanjutnya adalah resepsi. Semua tamu keluar menuju teras untuk menikmati hidangan yang tersedia.

"Kamu seperti seorang pangeran!" ucap Arum sambil memandang Lintang dari atas sampai ke bawah, berkali-kali, seperti masih belum yakin bahwa lelaki itu betul-betul Lintang yang pernah dikenalnya.

Setelah sekarang melihat Lintang dengan pakaian kebesarannya, melamar dan sudi menerima segala kekurangannya, dia menghadapi kehidupan baru yang yakin bakal penuh kebahagiaan. Kebahagiaan yang hadir bagaikan sang surya yang mengintai di ufuk timur, siap mengusir kegelapan.

'Tidak semestinya aku dulu memanfaatkanmu!' batin Arum, 'Seharusnya jauh-jauh hari aku menjelaskan bahwa kamu bukan Raden Tulus suamiku! Setanlah yang menggodaku, setan yang sudah membisikiku untuk menggodamu! Tapi..., ahhh.., mengapa hatiku bulat-bulat menyerah kepada bisikan itu?'

Di dunia ini, apakah yang lebih berkuasa dari pada cinta? Apakah yang lebih gila dari pada orang muda yang tengah dimabuk cinta? Cinta sudah banyak sekali menimbulkan kisah yang lebih aneh dari pada dongeng.

'Aku telah berdosa kepadamu Arum,' batin Lintang, 'Seharusnya dari dulu aku mengaku, tapi aku pengecut, aku takut kehilangan kamu, jadi aku membohongimu dengan pura-pura hilang ingatan!'

Lintang merasa bahwa ia harus selalu berdekatan dengan Arum. Tak dapat lagi berpisah. Ia merasa kasihan kepada Arum, juga lebih kasihan kepada dirinya sendiri, karena hidupnya pasti akan merana jika harus berjauhan dengan wanita hebat itu.

Betapa pun juga, Arum dan Lintang adalah dua insan yang patut dipuji kebersihan dan kekuatan batinnya. Biar pun mereka saling jatuh cinta dan berhari-hari tinggal seatap, namun mereka tetap mampu mempertahankan batas pemisah, tetap mampu mencegah terjadinya pelanggaran susila yang didorong oleh nafsu rendah. Jiwa-jiwa pendekar sejati. Tentu saja, untuk bisa mencapai ilmu yang tinggi, memang dibutuhkan jiwa yang bersih.

Setelah kini mereka sah sebagai suami istri, Arum menggamit tangan Lintang dan menuntunnya memasuki kamar pengantin. Langkah kaki Lintang gemetar ketika melewati pintu kamar. Kamar yang dari dulu diimpikannya untuk bisa dimasuki.

Begitu melangkah masuk, wajah Lintang berubah merah. Bukan main indahnya kamar itu dan sudah diatur amat mewah seperti kamar tidur raja dan permaisuri. Di kamar itu terdapat ranjang berkelambu jingga, senada dengan warna dinding. Seprei dan sarung bantalnya semua serba baru, berwarna lembayung, berhiaskan kembang indah. Daun-daun jendela dan daun pintu tergambar pasangan-pasangan merpati yang sedang bercumbu dengan penuh kasih mesra.

Arum menyandarkan kepalanya di bahu Lintang. Akhirnya air mata yang menggantung di pelupuk mata bening itu, setetes demi setetes menitik turun. Air mata bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun