Acara akad nikah yang cukup sederhana telah selesai dilaksanakan, dan acara selanjutnya adalah resepsi. Semua tamu keluar menuju teras untuk menikmati hidangan yang tersedia.
"Kamu seperti seorang pangeran!" ucap Arum sambil memandang Lintang dari atas sampai ke bawah, berkali-kali, seperti masih belum yakin bahwa lelaki itu betul-betul Lintang yang pernah dikenalnya.
Setelah sekarang melihat Lintang dengan pakaian kebesarannya, melamar dan sudi menerima segala kekurangannya, dia menghadapi kehidupan baru yang yakin bakal penuh kebahagiaan. Kebahagiaan yang hadir bagaikan sang surya yang mengintai di ufuk timur, siap mengusir kegelapan.
'Tidak semestinya aku dulu memanfaatkanmu!' batin Arum, 'Seharusnya jauh-jauh hari aku menjelaskan bahwa kamu bukan Raden Tulus suamiku! Setanlah yang menggodaku, setan yang sudah membisikiku untuk menggodamu! Tapi..., ahhh.., mengapa hatiku bulat-bulat menyerah kepada bisikan itu?'
Di dunia ini, apakah yang lebih berkuasa dari pada cinta? Apakah yang lebih gila dari pada orang muda yang tengah dimabuk cinta? Cinta sudah banyak sekali menimbulkan kisah yang lebih aneh dari pada dongeng.
'Aku telah berdosa kepadamu Arum,' batin Lintang, 'Seharusnya dari dulu aku mengaku, tapi aku pengecut, aku takut kehilangan kamu, jadi aku membohongimu dengan pura-pura hilang ingatan!'
Lintang merasa bahwa ia harus selalu berdekatan dengan Arum. Tak dapat lagi berpisah. Ia merasa kasihan kepada Arum, juga lebih kasihan kepada dirinya sendiri, karena hidupnya pasti akan merana jika harus berjauhan dengan wanita hebat itu.
Betapa pun juga, Arum dan Lintang adalah dua insan yang patut dipuji kebersihan dan kekuatan batinnya. Biar pun mereka saling jatuh cinta dan berhari-hari tinggal seatap, namun mereka tetap mampu mempertahankan batas pemisah, tetap mampu mencegah terjadinya pelanggaran susila yang didorong oleh nafsu rendah. Jiwa-jiwa pendekar sejati. Tentu saja, untuk bisa mencapai ilmu yang tinggi, memang dibutuhkan jiwa yang bersih.
Setelah kini mereka sah sebagai suami istri, Arum menggamit tangan Lintang dan menuntunnya memasuki kamar pengantin. Langkah kaki Lintang gemetar ketika melewati pintu kamar. Kamar yang dari dulu diimpikannya untuk bisa dimasuki.
Begitu melangkah masuk, wajah Lintang berubah merah. Bukan main indahnya kamar itu dan sudah diatur amat mewah seperti kamar tidur raja dan permaisuri. Di kamar itu terdapat ranjang berkelambu jingga, senada dengan warna dinding. Seprei dan sarung bantalnya semua serba baru, berwarna lembayung, berhiaskan kembang indah. Daun-daun jendela dan daun pintu tergambar pasangan-pasangan merpati yang sedang bercumbu dengan penuh kasih mesra.
Arum menyandarkan kepalanya di bahu Lintang. Akhirnya air mata yang menggantung di pelupuk mata bening itu, setetes demi setetes menitik turun. Air mata bahagia.