Oleh: Tri Handoyo
Waktu berjalan seolah begitu lambat. Di saat-saat seperti itu ia teringat Lintang, manusia terpolos dan apa adanya di muka bumi. Akan tetapi kepolosannya itu yang justru telah menawan hatinya.
Lewat tengah malam, Arum yang sedang bermeditasi di dalam kamar mendengar langkah kaki ringan di atas genting. Ia bukanlah pendekar kemarin sore, dengan ilmu silat tinggi yang dimilikinya dan sudah biasa berhadapan dengan orang-orang jahat, maka ia meraih pedang dan cepat meloncat keluar kamar. Tanpa mengeluarkan suara ribut-ribut ia keluar lewat pintu belakang, terus meloncat ke atas genting. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu.
Setelah berdiam beberapa saat, ia melihat berkelebatnya bayangan orang di bawah, baru saja orang itu hendak meloncat masuk ke dalam. Gerakan orang itu gesit dan ringan sekali.
"Berhenti kau maling!" bentak Arum sudah cepat menerjang ke depan untuk menghadang, "Siapa kau berani mampus mengganggu di sini?"
Beberapa murid yang mendengar suara ribut segera berhamburan keluar dari asrama. Orang yang berpakain hitam dan bagian kepalanya tertutup itu sekali berkelebat sudah melayang melalui atas kepala murid-murid. Mereka kaget sekali, lalu cepat mengejar.
Ketika melihat beberapa orang mengejar, Si Penjahat itu lalu membalikkan tubuh di tempat yang gelap, kedua tangannya bergerak ke depan seperti orang memukul. Arum dan beberapa orang murid segera dapat menduga bahwa itu mungkin serangan senjata rahasia, maka mereka cepat melompat menghindar.
Tidak ada senjata rahasia yang datang menyerang, tapi penjahat itu telah lenyap, hanya meninggalkan gema suara ketawanya yang melengking, suara ketawa seorang wanita.
Murid-murid mengejar sampai jauh ke jalan, namun sia-sia belaka. Dengan kecewa dan lesu mereka kembali memasuki padepokan dan apa yang mereka lihat membuat mereka menggertakan gigi saking marah. Di dinding gedung utama yang berwarnah hijau itu, terdapat tulisan merah yang berbunyi:
"Hanya wanita jalang yang suka tinggal serumah dengan lelaki asing!"