Oleh: Tri Handoyo
Tidak berselang lama kemudian, dari tempat persembunyian, Arum dan Lintang mendengar suara roda dokar yang berjalan santai, tapi kemudian disusul oleh suara derap kaki kuda yang sepertinya dipacu dengan cepat.
"Berhenti!" teriak Ki Sabrang. Ia disertai anak buahnya langsung mengurung dokar. "Jangan coba-coba melawan dan jangan banyak cakap! Serahkan uangmu, atau terpaksa harus kami cabut nyawamu!"
Tidak terdengar ada percakapan, tapi yang terdengar adalah suara orang berkelahi. Arum dan Lintang segera mendekati lokasi perkelahian dan mengintip dari atas sebuah pohon.
Lelaki tua bernama Tanca itu ternyata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Gerakannya luar biasa cepat, lebih cepat dari pada sambaran senjata yang bergantian mengancam. Sampai lenyap bayangannya dikejar sinar enam golok.
Serangan Ki Sabrang dan teman-temannya pun berlangsung sengit dan gesit, lalu terdengar suara keras, golok Ki Sabrang terlempar dan menancap di paha seorang anak buahnya, sedangkan tubuh Ki Sabrang terjengkang ke belakang. Mukanya pucat sebab dia telah menderita luka pada kepalanya oleh tendangan lawan yang hebat itu. Empat orang yang mengurung, masing-masing dihadiahi tendangan dan pukulan tangan kosong yang membuat mereka terpelanting dengan menderita tulang retak atau patah.
Ki Sabrang dengan marah kembali bangkit, mencabut golok yang menancap di paha anak buahnya dan menyerang sekuat tenaga. Ki Tanca menangkis dengan kaki kiri dan disusul kaki kanan mengirim tendangan. Saking kagetnya, Ki Sabrang kurang cepat mengelak sehingga tendangan Ki Tanca yang keras bertenaga kuda itu mengenai pundak sampai sambungan tulang bahunya terlepas. Ki Sabrang tersungkur dan berteiak kesakitan.
Arum kemudian keluar dari persembunyian dan diikuti Lintang, berdiri menghadapi Ki Tanca. Mereka ingin bertanya mengenai maksud orang tua itu mencari Lintang.
'Hm.., rupanya mereka ini komplotan perampok!' batin Ki Tanca setelah mengetahui kedua orang muda yang tadi dilihatnya di warung kini ikut mengeroyok. Ki Tanca bukan sejenis orang yang suka banyak bicara, langsung menyerang dengan pukulan maut.
Arum menangkis pukulan itu sekaligus mengirim pukulan balasan. Ki Tanca cepat menangkis, tapi kuda-kudanya tergeser mudur dua jengkal.
"Pak tua, kami tidak ingin berkelahi, kami hanya mau bertanya kenapa anda mencari Lintang?"
Ki Tanca diam-diam kagum sekali. Itulah gerakan tangan yang amat kuat, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apa lagi setelah melihat sebatang pedang dengan gagang dan sarungnya yang terukir indah tergantung di punggung wanita itu, tahulah dia bahwa lawannya itu pasti bukanlah orang sembarangan.
"Apa kalian kenal dengan orang yang bernama Lintang?"
"Ya, dia ini Lintang!" sahut Arum sambil menunjuk pemuda yang berdiri di belakangnya, "Dan aku adalah Arum, putri Mpu Naga!" Setelah berkata demikian, Arum memandang ke sekelilingnya. Semua kawanan pemburu yang mulai berdiri itu terkejut bukan main, mengkeret lehernya dan menundukkan pandang mata karena nyali mereka lenyap begitu bertemu pandang dengan Arum.
"Maafkan kami, Ning Arum!" kata Ki Sabrang, "Maafkan kami, Pendekar Kebo Kicak!" Ia segera memberi kode anak buahnya untuk cepat-cepat menyingkir dari tempat itu. Dengan tertati-tati kawanan pemburu itu berjalan menuju kuda. Mereka tidak saja telah dikalahkan secara mudah dan menyakitkan sekali, akan tetapi lebih dari pada itu, mereka merasa sangat malu.
Ki Tanca kemudian mengucapkan salam seraya tersenyum lebar, "Tuan pendekar berdua, mari kita cari tempat duduk yang enak, karena ada yang perlu saya ceritakan!"
Ki Tanca dan tim intinya yang berjumlah sepuluh orang dengan seratus lebih anggota, mengaku sudah belasan tahun menyebar ke berbagai kota untuk mencari pemuda yang bernama Lintang Kejora. Orang tua itupun mulai bercerita.
Di dalam pemerintahan Majapahit, Patih Nambi adalah salah seorang pendukung setia Wangsa Rajasa, sehingga ketika Prabu Jayanagara naik tahta dan menyingkirkan Tribuwana Tunggadewi, Mpu Nambilah yang berada di garda depan untuk menentangnya. Ia menganggap anak keturunan dari Sumatera itu tidak pantas menduduki singgasana Majapahit. Isu tentang darah keturunan memang menjadi ancaman laten yang sulit dihindari pada saat itu. Ini yang membuat hubungan Nambi dengan Prabu Jayanegara semakin memburuk.
Saat itu si tokoh licik, Halayudha, dengan antusias selalu berusaha menciptakan ketegangan di antara Jayanagara dan Nambi. Halayudha memanfaatkan kedekatannya dengan mereka berdua untuk menyusupkan benih racun 'adu domba'.
Akibatnya, sampailah Jayanegara mengirim pasukan untuk menumpas Nambi. Pasukan Nambi sebetulnya tidak berarti apa-apa dibandingkan kekuatan pasukan Majapahit. Meskipun demikian, pasukan Nambi memiliki beberapa pendekar andalan. Salah satunya adalah pendekar yang bernama Wirota Wiragati, yang terkenal memiliki ajian panglimunan, yaitu kekuatan untuk mendatangkan kabut yang bisa menyulitkan daya penglihatan pasukan musuh.
Nambi mempersiapkan benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan. Namun keduanya dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya ia sekeluarga pun tewas dalam peperangan itu. Babad Negarakertagama menyebut peristiwa yang dikenal dengan Pemberontakan Nambi itu terjadi pada tahun "Muktigunapaksarupa" yang menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.
Ada seorang anak Nambi yang berhasil diselamatkan oleh Pendekar Wirota Wiragati dan kemudian diasuh seperti anaknya sendiri. Anak yang bernama Lingga itu kelak ikut dalam pemberontakan Pasadeng. Jatuhnya Lamajang telah membuat kota-kota pelabuhannya seperti Patukangan dan Sadeng diam-diam menyusun kekuatan. Mereka melakukan pemberontakan pada tahun 1331 Masehi, yang dikenal sebagai pemberontakan "Pasadeng" atau perang Sadeng dan Ketha.
Lingga kemudian memiliki cucu bernama Bentar. Raden Bentar inilah ayah Lintang. Mulai dari Lingga, keluarga keturunannya selalu bermusuhan dengan keluarga anak keturunan Halayudha.
"Ki Lindu yang menculik putra bungsu Raden Bentar itu adalah salah satu cucu Halayudha!" pungkas Ki Tanca.
Lintang dan Arum yang dari tadi hanya menyimak cerita Ki Tanca terlihat beberapa kali mengangguk-anggukan kepala.
Ki Tanca kemudian menyampaikan bahwa Lintang mewarisi seluruh harta kekayaan orang tuanya, yang sampai sekarang masih dijaga oleh Tim yang dibentuk oleh mendiang Raden Bentar. Terdapat tanda lahir yang berbentuk mirip bintang di bagian belakang kepala bayi itu. Tanda lahir berwarna merah sebesar telur puyuh itu yang membuat Raden Bentar kemudian memberi nama bayi itu Lintang Kejora.
"Nah, saya mendapat informasi bahwa ada seorang pendekar yang baru saja muncul di Jombang yang bernama Lintang!"
"Ki Tanca," kata Lintang dengan menatap serius, "Nama saya adalah Lintang Kejora, dan saya memang pernah diculik!"
"Maaf, perkenankan saya untuk memeriksa bagian kepala Ki sanak!" pinta Ki Tanca.
"Silakan, Ki!" Lintang berbalik membelakangi Ki Tanca yang segera menyibak rambut bagian belakang.
Orang tua itu tampak terkejut, ia membalikkan tubuh Lintang dan berkata sambil matanya berkaca-kaca, "Andalah orang yang telah kami cari selama ini, Raden!" seru Ki Tanca gembira sambil memeluk tubuh Lintang.
***
Arum dan Lintang pulang kembali ke padepokan. Mereka menunda niat mencari kitab pusaka ke Bukit Kedung Lintah. Setelah sampai di padepokan Benteng Nusa, dan istirahat beberapa saat, Ki Tanca kemudian pamit untuk pulang ke Lumajang. Ia harus secepatnya menyampaikan kabar gembira itu dan mempersiapkan acara penyambutan Raden Lintang Kejora. Orang tua itu berjanji akan kembali tujuh hari lagi.
Arum kemudian pergi menemui Cak Japa, orang yang dianggap sebagai pengganti orang tuanya, untuk menceritakan terungkapnya siapa jati diri Lintang sebenarnya. Arum selama ini memikul dilema yang cukup berat mengenai keberadaan orang yang mirip suaminya itu. Ia gembira sekaligus khawatir. Ia bersyukur sekaligus merasa bersalah.
Akan tetapi, ia memiliki alasan kuat mengapa ia melakukan itu. Yang pertama, ia mengalami kesulitan untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa orang asing itu bukan Tulus, jika tanpa ada bukti pendukungnya. Dia tahu karena ia memang sangat mengenal suaminya, tapi tidak bagi orang lain. Yang kedua, ia telah sangat berduka atas kehilangan suaminya, dan kehadiran orang yang mirip suaminya itu bisa membuat penderitaannya berkurang, meskipun ia sadar itu salah. Yang ketiga, dengan keberadaan orang yang dianggap Raden Kebo Kicak, padepokan setidaknya cukup aman dari gangguan para pendekar yang ingin merebut kitab dan pedang pusaka, dan tentu saja juga mencegah dari orang-orang yang berniat menggoda janda muda cantik itu. Yang berikutnya, lelaki asing itu menderita hilang ingatan, ini membuat Arum menaruh belas kasihan dan berniat untuk menolong menyembuhkannya. Kini, dengan terungkapnya jati diri Lintang Kejora, semua beban berat di Pundak Pendekar Jelita itu telah terbebaskan.
***
Tujuh hari berikutnya, seperti yang telah dijanjikan, Ki Tanca beserta tiga puluh orang pasukan berkuda datang kembali ke Padepokan Benteng Nusa. Sembilan orang dan Ki Tanca memakai pakaian bangsawan. Sepuluh orang memakai pakaian prajurit, yang mengawal dari jarak lima hingga sepuluh meter. Sementara sisanya berpakaian bebas, karena mereka adalah pasukan rahasia yang mengawal dari jarak radius sepuluh hingga dua puluh meter.
Seorang ketua rombongan memberi hormat kepada Lintang. "Raden benar-benar mirip dengan ayah anda!" katanya sebelum meminta ijin untuk melihat tanda lahir di bagian belakang kepalanya. Setelah ia melihat tanda bintang dengan mata kepala sendiri, ia kemudian menjatuhkan diri berlutut memberi hormat, dan itu diikuti oleh seluruh pasukannya.
"Terimalah hormat kami Raden Lintang!" seru mereka serentak seraya merangkapkan kedua telapak tangan dan menaruhnya di depan dahi.
Ki Tanca kemudian menghampiri Arum dan menjelaskan bahwa mereka akan membawa Lintang pulang ke Lumajang. Raden Bentar ayah Lintang adalah ketua Perkumpulan Pedang Akhirat, yang memiliki anggota cukup besar dan selama ini tidak memiliki ketua, sehingga Lintang akan dinobatkan sebagai ketua mereka, menggantikan ayahnya.
Arum minta ijin kepada Ki Tanca untuk mempersiapkan bekal dan membungkus beberapa pakaian Lintang. Ia mengajak Lintang masuk ke dalam.
Apabila dulu Arum memandang Lintang sebagai orang asing miskin yang hilang ingatan dan sebatang kara, kini dia merasa betapa rendah dirinya jika dibandingkan dengan Lintang.
Arum baru menyadari bahwa dia sebetulnya mencintai lelaki yang mirip suaminya itu. Semenjak pertemuan pertama kali, ia sudah memiliki perasaan aneh terhadap Lintang. Makin lama perasaan ini menjadi makin kuat dan akhirnya berkembang menjadi perasaan cinta. Apalagi setelah mendapat kenyataan bahwa Lintang memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan, dan ditambah lagi bahwa Lintang ternyata adalah seorang keturunan bangsawan besar, rasa cinta itu menjadi semakin membara.
Lintang sendiri melihat titik terang dalam kehidupannya sejak berada di dekat Arum. Dengan wanita anggun dan agung di dekatnya, dia sanggup untuk melewati segala persoalan, sanggup untuk menghadapi semua rintangan dan kesulitan hidup. Dia memandang dunia ini penuh tipu daya, sehingga dengan adanya Arum bersamanya, dia merasa cukup dan tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini.
"Aku sebetulnya tidak ingin meninggalkan tempat ini!" kata Lintang lirih. Tanpa disadari dia mempererat gandengan tangannya. Dia merasakan bahwa Arum pun makin mempererat genggaman sambil melirik dan tersenyum manis. Saat itu Lintang melihat kedua mata gadis itu dihiasi air bening yang tampak berkaca-kaca.
"Hei, jangan menangis!"
"Kepergianmu akan membuat aku merasa kesepian, Raden Lintang!"
"Panggil saja aku Lintang!"
"Hm..!"
"Arum, kamu adalah seorang ketua padepokan besar, dengan tiga ratusan murid, bagaimana bisa merasa kesepian?"
"Biar pun ada seribu orang di sini, tanpa kamu apalah artinya tempat ini?" Arum berkata terus terang, dan air mata yang menggenang di pelupuk mata pun menetes.
"Setelah urusanku beres, aku pasti akan kembali!" Lintang menghapus air mata itu dengan tangannya. Dia lalu memeluk Arum penuh kasih sayang. Sampai lama kedua orang muda itu membisu, kebisuan penuh kesedihan.
"Janji?"
"Ya, aku berjanji! Kamu tidak tahu betapa aku mencintaimu Arum!
"Aku juga mencintaimu Lintang!" Tiba-tiba Arum melepaskan diri dari pelukan, memegang kedua tangan Lintang, lalu tersenyum dengan pipi kembali basah. Arum menyusut tangisnya dan dengan cekatan lalu membungkus beberapa pakaian untuk Lintang. "Semoga kamu nantinya masih bersedia memakai pakaian ini!"
"Aku pasti menyukai apa pun pemberiamu!"
Setelah selesai, Arum mengambil sehelai sapu tangan merah jambu dari almari baju dan diberikannya kepada Lintang. Di atas selembar sapu tangan sutera itu ternyata ada tulisan, di tulis dengan huruf-huruf Jawa memakai benang emas yang disulam indah.
Lintang menunduk malu dan berkata, "Apa tulisannya? Maaf aku tidak bisa membaca, Arum!"
Arum kemudian membacakannya,
"Kuikuti jejak bayang-bayangmu
yang hanyut terseret sang bayu
membawamu mengembara jauh,
masihkah engkau ada di dunia,
ataukah telah pergi ke nirwana?
Duhai dermaga cinta,
mungkinkah kita bertemu kembali,
entah di bumi ataukah kelak di surgawi?"
Mendengar itu, Lintang semakin larut dalam perasaan haru. Dipeluknya Arum, didekapnya kepala itu ke dadanya, dibisikkan ke telinganya, "Terima kasih, Arum!"
Lintang sebetulnya tahu bahwa tulisan itu ditujukan untuk suami Arum, Raden Tulus. Ia merasa cemburu, tapi ia bahagia karena ia orang yang menerima sapu tangan itu. Ia merasa tidak perlu khawatir karena bersaing dengan orang yang sudah tidak ada.
"Arum, alangkah indah cintamu!" Lintang merasa telah menemukan dermaga cinta yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H