Lintang sendiri melihat titik terang dalam kehidupannya sejak berada di dekat Arum. Dengan wanita anggun dan agung di dekatnya, dia sanggup untuk melewati segala persoalan, sanggup untuk menghadapi semua rintangan dan kesulitan hidup. Dia memandang dunia ini penuh tipu daya, sehingga dengan adanya Arum bersamanya, dia merasa cukup dan tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini.
"Aku sebetulnya tidak ingin meninggalkan tempat ini!" kata Lintang lirih. Tanpa disadari dia mempererat gandengan tangannya. Dia merasakan bahwa Arum pun makin mempererat genggaman sambil melirik dan tersenyum manis. Saat itu Lintang melihat kedua mata gadis itu dihiasi air bening yang tampak berkaca-kaca.
"Hei, jangan menangis!"
"Kepergianmu akan membuat aku merasa kesepian, Raden Lintang!"
"Panggil saja aku Lintang!"
"Hm..!"
"Arum, kamu adalah seorang ketua padepokan besar, dengan tiga ratusan murid, bagaimana bisa merasa kesepian?"
"Biar pun ada seribu orang di sini, tanpa kamu apalah artinya tempat ini?" Arum berkata terus terang, dan air mata yang menggenang di pelupuk mata pun menetes.
"Setelah urusanku beres, aku pasti akan kembali!" Lintang menghapus air mata itu dengan tangannya. Dia lalu memeluk Arum penuh kasih sayang. Sampai lama kedua orang muda itu membisu, kebisuan penuh kesedihan.
"Janji?"
"Ya, aku berjanji! Kamu tidak tahu betapa aku mencintaimu Arum!