"Gara-gara harta karun dan kitab pusaka banyak nyawa melayang! Apalagi ditambah ingin memperebutkan pedang pusaka!" sahut Arum. "Kadang aku merasa capek. Rasanya ingin saja pergi meninggalkan semua ini! Seandainya Paman Kelabang tidak memwasiatkan harta karun kepada ayah, dan suamiku tidak membawa kitab, pasti mereka sampai saat ini masih ada!"
"Dik Arum, di balik segala peristiwa yang terjadi di muka bumi ini, ada kuasa Sang Maha Mengatur segalanya. Apa yang terjadi pada Mpu Naga pada hakikatnya adalah hal yang sudah semestinya terjadi, tepat menurut kehendakNya. Manusia yang melakukan pembunuhan itu hanyalah menjadi alat sebab akibat belaka!"
Arum menghela nafas panjang dan mengangguk-anggukkan kepala. Ia sebetulnya sudah paham mengenai hal itu.
"Dan sudah menjadi tugas kita harus membela kebenaran, menegakkan keadilan, dan memberantas kejahatan. Akan tetapi jangan sekali-kali kita ditunggangi oleh nafsu balas dendam, nafsu amarah dan kebencian, karena jika terjadi hal demikian, itu namanya sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi, melainkan menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri!"
Sebetulnya masih ada satu persoalan yang ingin Arum ungkapkan kepada Cak Japa, yakni persolan lelaki yang mirip suaminya itu. Apa dia harus jujur mengatakan bahwa lelaki itu sebetulnya bukan Tulus, tapi orang lain dan ia ingin menikah dengannya? Sepertinya tidak elok untuk diungkapkan. Tapi jika tidak mengungkapkan bahwa lelaki itu bukan suaminya, sementara orang menganggap lelaki itu adalah Tulus, apakah bukan menjadi hal yang aneh jika menikah dengannya. Lalu apa pernikahan dengan jati diri yang tidak sesuai dengan faktanya itu sah? Sungguh pelik. Kehadiran lelaki itu menjadi berkah sekaligus bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H