Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (68): Berkah Sekaligus Bencana

17 September 2024   06:18 Diperbarui: 17 September 2024   06:23 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Serangkaian musyawarah yang panjang dan rumit dijalankan untuk memutuskan bahwa Demak sejatinya sudah mampu untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap Majapahit. Singgasana Majapahit yang saat itu berada dalam cengkeraman Dyah Ranawijaya adalah hasil dari menggulingkan Prabu Brawijaya V.

Sebagai adipati Demak Bintara, Raden Fatah terpilih secara mutlak sebagai keturunan Brawijaya V yang punya peluang untuk merebut singgasana. Namun justru terjadi perpecahan suara pada sidang Dewan Walisanga saat merencanakan hal tersebut.

Kubu Sunan Kalijaga tidak menghadiri musyawarah itu. Apalagi semenjak Dewan Walisanga atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan sedikit meruncing.

Sunan Kalijaga melihat kehidupan rakyat kecil di wilayah Majapahit sudah cukup sengsara akibat perang. Keadaan pemerintahan tidak stabil, para pembesar hanya mementingkan isi perutnya sendiri tanpa mempedulikan kondisi rakyat. Para pejabat saling memperebutkan kekuasaan dalam kerakusan mereka akan jabatan, pangkat dan kemewahan duniawi. Yang kuat menindas yang lemah, yang berkuasa merampok yang tak berdaya.

Wilayah Majapahit yang dulu luas, terus terkikis habis. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah pergi menjauh. Darah terus tertumpah tiada hentinya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dari peta perpolitikan dunia.

Di mana-mana tampak kemiskinan, maka jika timbul peperangan lagi, rakyat kecil pula yang akan semakin menderita. Apalagi saat itu lagi datangnya musim paceklik yang sangat hebat. Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah, tidak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kehilangan sumber airnya, dan kelihatan dasarnya. Manusia dan binatang ternak kurus-kurus kekurangan makanan, dan tidak sedikit yang mati kelaparan. Rakyat pun menjerit, ratap tangis membubung ke langit, mengadu kepada Tuhan minta agar keadilan segera diturunkan.

Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Walisanga merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya soal perebutan kekuasaan, mereka tidak mau ikut campur.

Syekh Siti Jenar juga menyatakan keluar dari Dewan Walisanga. Ia kemudian dipanggil untuk disidang, walaupun ia sebetulnya sudah tidak mengakui lagi keberadaan Majelis Ulama Jawa itu. Syekh Siti Jenar dituduh telah mengajarkan dan menyebarkan aliran sesat, dan ada juga tuduhan yang mengatakan bahwa beliau ahli sihir. Pengaruh beliau memang terus meluas di kalangan masyarakat, dan itu dianggap ancaman bagi Demak.

Syekh Siti Jenar menyatakan siap menghadiri pengadilan Dewan Walisanga. Pada sidang pertama, para ulama tidak bisa membuktikan tuduhan-tuduhan itu. Sehingga beliau kemudian dibebaskan dari hukuman. Akan tetapi, Syekh Siti Jenar tetap dianggap duri dalam daging bagi Demak. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.

Kesalahan Syekh Siti Jenar sesungguhnya adalah kedekatannya dengan Ki Ageng Pengging. Kedekatan mereka ini disalah-artikan oleh mereka yang masih menilai sesuatu hanya sebatas kulit. Syekh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Sebab Ki Ageng Pengging sesungguhnya adalah salah satu pewaris sah tahta Majapahit.

Seorang putri Bhre Kertabhumi dari permaisuri Dewi Anarawati, menikah dengan Adipati Handayaningrat IV. Dari pernikahan itu lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga yang kelak terkenal dengan nama Ki Ageng Pengging.

Si sulung, Kebo Kanigara, pergi meninggalkan kemewahan kadipaten dan memilih menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi. Oleh karena itu, yang menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging, tak lain adalah Kebo Kenanga. Dia juga disebut-sebut sebagai pewaris sah tahta Majapahit manakala Prabu Brawijaya V mangkat. Suatu berkah sekaligus bencana.

Ki Ageng Pengging beragama Shiva Buddha, ia sangat tertarik mendalami spiritual murni. Itulah kenapa dia senang berdiskusi dengan Syekh Siti Jenar tentang 'Hakikat Kebenaran' dan 'Kehidupan Sejati'. Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan jabatan, apalagi mahkota atau singgasana Majapahit. Kendati sesungguhnya, dialah yang dipandang paling berhak mewarisi tahta tersebut. Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar hanyalah seorang sahabat spiritual. Namun demi mempertahankan kekuasaan, dua orang sahabat itu lantas menjadi target utama untuk disingkirkan.

Citra mereka berdua dibuat buruk. Ajaran mereka dituduh menyimpang dan sesat. Meskipun demikian, keharuman nama keduanya tetap terjaga di relung hati tersembunyi masyarakat, walaupun tidak ada yang berani menyatakan secara terang-terangan.

Ki Ageng Pengging kelak memiliki seorang putra bernama Mas Karebat atau Jaka Tingkir, yang kelak menjadi Sultan Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya.

***

Pada malam hari yang sunyi, seorang wanita cantik yang bepakaian seragam Benteng Naga berlatih silat seorang diri di sebuah taman berumput. Taman itu lumayan bagus dan tentu menyenangkan untuk berlatih silat, namun di sela-sela gerakan yang lincah dan indah terdengar isak tangis yang tertahan.

Wanita yang bermain silat menggunakan pedang sambil menangis perlahan itu adalah Arum Naga. Sebagai seorang pendekar wanita yang namanya cukup terkenal, menitikan air mata merupakan suatu hal yang pantang dilakukan. Oleh karena itu, semua beban penderitaan itu disembunyikannya dengan rapat selama ini. Baru pada malam hari itu, ketika ia lepas kontrol dan nyaris terjerumus ke dalam dosa, ia pergi ke taman untuk berlatih silat sambil meratapi nasibnya yang buruk.

Siapa orangnya yang tidak berduka, ayah tempatnya bergantung telah meninggalkan dia seorang diri, kemudian ia mengalami keguguran, setelah itu suaminya yang menjadi pelindung hidup menghilang tak tentu rimbanya. Berantakanlah mimpi-mimpi indah yang selama ini menghiasi benaknya, dan di taman itu ia dapat meluapkan semua kesedihannya melalui jurus-jurus silat.

Setelah memakan waktu hampir dua jam memainkan ratusan jurus tanpa henti, ia istirahat sambil mengatur nafas, sekaligus menyusut air matanya yang mengalir membentuk anak sungai. Arum begitu terbenam dalam kesedihan sehingga ia tidak mendengar Lintang datang menghampirinya.

Lelaki itu menegur halus, "Guru Putri, kenapa kamu menangis? Apabila keberadaanku di sini menyusahkanmu, aku akan pergi!"

"Ah, bukan. Bukan masalah itu Gembul! Aku hanya teringat mendiang ayah dan suamiku!" Ia meletakan pedang dan segera mengusap air matanya dengan ujung pakaian, kemudian menunjuk sebuah batu nisan yang masih satu lokasi dengan taman itu, "Itu makam ayahku, Mpu Naga!"

Angin malam yang dingin bertiup, seolah ikut larut dalam keprihatinan. Lintang bertanya pelan, "Kenapa Guru Putri berlatih silat malam-malam begini?"

"Ah.., beberapa waktu yang lalu aku bertemu seorang Iblis Betina, ia sepertinya benci dengan ayahku dan perguruan Benteng Naga. Kami sempat bertarung dan dia hebat sekali! Pedangku sampai patah!" Ia mengepalkan tinju dalam genggaman. "Itulah kenapa aku harus lebih giat berlatih!"

"Oh.., aku akan selalu siap mengorbankan tenaga dan nyawa untuk melindungimu, Guru Putri!"

Arum terharu mendengar itu, seolah-olah mendengarkan suara suaminya, Raden Tulus. Dengan kembali terisak-isak ia menubruk dan menumpahkan tangis di dada Lintang yang kokoh. Lelaki mirip Kebo Kicak itu lalu memeluk Pundak Arum dan menarik napas panjang berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan.

Kraak..! terdengar sebuah ranting patah dari jarak sekitar sepuluh tombak. Sepertinya ada seseorang yang sedang menyaksikan mereka berdua, yang tanpa sengaja menginjak ranting kering itu. Mereka berdua pun berpaling ke arah datangnya suara, tapi tidak tampak ada seorang pun di sana.

Arum kemudian berusaha melepaskan diri dari pelukan yang menghanyutkan itu. Baru kali ini, semenjak suaminya menghilang, hati dan pikirannya dikacaukan oleh persoalan lelaki, dan lelaki itu mirip suaminya. Ia kini berjuang setengah mati untuk mengkontrol otaknya agar tetap waras.

***

Cak Japa mengangguk-angguk mendengar penuturan Arum. "Iblis Betina itu sudah lama tidak pernah terdengar keberadaannya, dan kalau tiba-tiba dia muncul, pasti ada yang sedang diincarnya!"

"Siapa dia itu, Cak?" tanya Arum dengan nada suara membayangkan kengerian.

"Konon dia adalah satu-satunya murid perempuan Nini Jailangnak Si Nenek Siluman!" jawab Cak Japa , "Cara berpakaian mereka pun mirip! Hanya beda warna!"

Selama ini Arum belum pernah bertemu dengan Nini Jailangnak, tapi ia sudah sering mendengar akan sepak terjang Nenek Siluman itu. "Tapi anehnya..!" Ia agak ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

"Apanya yang aneh?" tanya Cak Japa.

"Anehnya, Iblis Betina itu sepertinya nurut sama Alya, Cak. Dia pergi begitu saja setelah Alya menyuruhnya pergi!"

"Dik Arum, ini jangan diceritakan ke orang lain. Ini hanya untuk kita berdua saja. Mungkin sebetulnya Iblis Betina itu hendak menculik Alya, tapi ia tidak berani, atau lebih tepatnya tidak mampu!"

Arum menunjukan wajah keheranan, "Tidak mampu? Kenapa?"

"Alya itu sejak usia satu tahun, dia diikuti harimau gaib!" sambung Cak Japa, "Menurut dia harimau itu peliharaan Mbah Kucing. Itulah kenapa kadang-kadang dia seperti orang sedang menghitung sesuatu yang tidak tampak, dan ketika ditanya katanya menghitung harimau. Dia bilang harimau-harimau itu kadang pergi bermain dan dia menghitungnya lagi ketika mereka pulang. Dia memberi nama-nama mereka. Waktu saya tanya memang ada berapa jumlahnya, jawabnya ada tujuh belas!"

"Pantesan!" gumam Arum kagum. "Dia anak ajaib!"

Istri Cak Japa, Larasati, diikuti Alya muncul di ruang tamu dengan membawa nampan berisi getuk. "Silakan Dik Arum, ini buatan sendiri!"

"Terima kasih, Mbak Asih! Kok repot-repot!"

"Tapi belakangan aku dengar banyak pendekar-pendekar bermunculan di kota ini!" kata Imam langgar itu mencoba mengalihkan topik mengenai putrinya, "Di antara mereka ada yang terang-terangan mengatakan niatnya untuk mendapatkan kitab sakti yang disimpan oleh suamimu. Ada juga yang ingin mendapatkan pedang pusaka Mpu Naga!"

"Gara-gara harta karun dan kitab pusaka banyak nyawa melayang! Apalagi ditambah ingin memperebutkan pedang pusaka!" sahut Arum. "Kadang aku merasa capek. Rasanya ingin saja pergi meninggalkan semua ini! Seandainya Paman Kelabang tidak memwasiatkan harta karun kepada ayah, dan suamiku tidak membawa kitab, pasti mereka sampai saat ini masih ada!"

"Dik Arum, di balik segala peristiwa yang terjadi di muka bumi ini, ada kuasa Sang Maha Mengatur segalanya. Apa yang terjadi pada Mpu Naga pada hakikatnya adalah hal yang sudah semestinya terjadi, tepat menurut kehendakNya. Manusia yang melakukan pembunuhan itu hanyalah menjadi alat sebab akibat belaka!"

Arum menghela nafas panjang dan mengangguk-anggukkan kepala. Ia sebetulnya sudah paham mengenai hal itu.

"Dan sudah menjadi tugas kita harus membela kebenaran, menegakkan keadilan, dan memberantas kejahatan. Akan tetapi jangan sekali-kali kita ditunggangi oleh nafsu balas dendam, nafsu amarah dan kebencian, karena jika terjadi hal demikian, itu namanya sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi, melainkan menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri!"

Sebetulnya masih ada satu persoalan yang ingin Arum ungkapkan kepada Cak Japa, yakni persolan lelaki yang mirip suaminya itu. Apa dia harus jujur mengatakan bahwa lelaki itu sebetulnya bukan Tulus, tapi orang lain dan ia ingin menikah dengannya? Sepertinya tidak elok untuk diungkapkan. Tapi jika tidak mengungkapkan bahwa lelaki itu bukan suaminya, sementara orang menganggap lelaki itu adalah Tulus, apakah bukan menjadi hal yang aneh jika menikah dengannya. Lalu apa pernikahan dengan jati diri yang tidak sesuai dengan faktanya itu sah? Sungguh pelik. Kehadiran lelaki itu menjadi berkah sekaligus bencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun