Lelaki itu menegur halus, "Guru Putri, kenapa kamu menangis? Apabila keberadaanku di sini menyusahkanmu, aku akan pergi!"
"Ah, bukan. Bukan masalah itu Gembul! Aku hanya teringat mendiang ayah dan suamiku!" Ia meletakan pedang dan segera mengusap air matanya dengan ujung pakaian, kemudian menunjuk sebuah batu nisan yang masih satu lokasi dengan taman itu, "Itu makam ayahku, Mpu Naga!"
Angin malam yang dingin bertiup, seolah ikut larut dalam keprihatinan. Lintang bertanya pelan, "Kenapa Guru Putri berlatih silat malam-malam begini?"
"Ah.., beberapa waktu yang lalu aku bertemu seorang Iblis Betina, ia sepertinya benci dengan ayahku dan perguruan Benteng Naga. Kami sempat bertarung dan dia hebat sekali! Pedangku sampai patah!" Ia mengepalkan tinju dalam genggaman. "Itulah kenapa aku harus lebih giat berlatih!"
"Oh.., aku akan selalu siap mengorbankan tenaga dan nyawa untuk melindungimu, Guru Putri!"
Arum terharu mendengar itu, seolah-olah mendengarkan suara suaminya, Raden Tulus. Dengan kembali terisak-isak ia menubruk dan menumpahkan tangis di dada Lintang yang kokoh. Lelaki mirip Kebo Kicak itu lalu memeluk Pundak Arum dan menarik napas panjang berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan.
Kraak..! terdengar sebuah ranting patah dari jarak sekitar sepuluh tombak. Sepertinya ada seseorang yang sedang menyaksikan mereka berdua, yang tanpa sengaja menginjak ranting kering itu. Mereka berdua pun berpaling ke arah datangnya suara, tapi tidak tampak ada seorang pun di sana.
Arum kemudian berusaha melepaskan diri dari pelukan yang menghanyutkan itu. Baru kali ini, semenjak suaminya menghilang, hati dan pikirannya dikacaukan oleh persoalan lelaki, dan lelaki itu mirip suaminya. Ia kini berjuang setengah mati untuk mengkontrol otaknya agar tetap waras.
***
Cak Japa mengangguk-angguk mendengar penuturan Arum. "Iblis Betina itu sudah lama tidak pernah terdengar keberadaannya, dan kalau tiba-tiba dia muncul, pasti ada yang sedang diincarnya!"
"Siapa dia itu, Cak?" tanya Arum dengan nada suara membayangkan kengerian.