Pada waktu itu kedua Pendekar Jeliteng sambil berteriak menyerang Ajeng. Dengan cepat Cak Japa melompat dari atas teras lalu menukik ke bawah sambil menyodokkan tongkatnya ke arah kepala lawan. Kedua Pendekar Jeliteng kaget sehingga kembali meloncat mundur untuk mengelak serangan itu. Mereka lebih kaget lagi setelah tahu bahwa yang menyerang dengan hebat itu hanyalah seorang imam shalat langgar.
Untuk beberapa saat Ki Paimo dan Ki Paidi saling berpandangan. Selama ini mereka menyandang predikat sebagai pendekar yang cukup ditakuti, betapa akan malunya kalau melawan seorang imam shalat saja sampai mundur. Mereka lalu mencabut pisau Pancanaka dan menyerang Cak Japa dengan sabetan-sabetan maut.
Sebuah sabetan di tangkis dan pisau Pancanaka terlepas, meluncur ke atas dan menancap pada tiang melintang di atap langgar. Gagang pisau itu masih bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat derasnya.
Sekitar tiga puluh tiga orang murid Macan Abang di bawah komando Ki Geni Bersiap membantu Pendekar Jeliteng. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok. Cak Japa berkelebat dengan luar biasa cepat sehingga hanya tampak seperti bayangan.
Tiga puluh tiga orang bersenjata golok itu tercengang dengan mata terbelalak karena tiba-tiba telapak tangan mereka terasa kesemutan dan golok mereka telah hilang dari genggaman. Mereka kemudian melihat Cak Japa berdiri di samping langgar, di atas gagang tiga puluh tiga golok yang ujungnya menancap di tanah. Mereka hanya bisa diam mematung, nyali mereka sudah ciut, hati mereka menjadi lemas, dan tenaga mereka seperti terserap lenyap.
Dua pendekar jeliteng dengan rasa penasaran kembali maju menyerang. Cak Japa memutar tongkatnya dengan cepat sehingga pisau Ki Paimo yang tertempel ikut terputar. Kemudian ujung tongkat itu menyodok pangkal lengan dengan sangat keras sehingga Ki Paimo terhuyung-huyung dengan lengan terasa lumpuh. Berikutnya giliran Cak Japa menyodokan tongkatnya, menerobos pertahanan Ki Paidi dan ujung tongkat itu mengenai ulu hati. Tubuh Ki Paidi jatuh ke tanah dengan posisi terlentang.
 Kedua Pendekar Jeliteng segera mundur dan menjadi marah sekali melihat murid-murid lain yang hanya menjadi penonton. Mereka sama sekali tidak menyangka akan berhadapan dengan lawan yang benar-benar tidak boleh dipandang enteng. Tubuh mereka gemetar ketakutan, sebagai pendekar yang sudah memiliki banyak pengalaman bertempur dan kepandaian yang boleh dibilang telah menduduki tempat yang cukup tinggi, tapi tak berkutik di depan seorang imam langgar tak terkenal. Pesta syukuran yang belum dimulai itu berubah menjadi peristiwa yang menyedihkan dan memalukan.
Topo sudah terdesak hebat dan berapa bagian tubuhnya terluka. Ia menyadari bahwa ia tidak mampu menandingi Tulus, sehingga berusaha terus menghindar. Tulus ingin menyelesaikan pertarungan itu secepat mungkin. Ia sebetulnya tidak bermaksud menghabisi adiknya, hanya ingin menyadarkannya. Tidak terasa mereka berdua sudah bergeser jauh dari lokasi langgar.
"Demi gadis selingkuhanmu itukah kamu menyerang aku?" tanya Topo dengan nada sinis.
"Jaga mulutmu! Tidak sadarkah kalau kamu sudah banyak melakukan kejahatan? Kamu juga telah membunuh Cak Woto dan Ki Setiaji!"
"Kalau aku tidak membunuh mereka, merekalah yang akan membunuhku. Itu pertarungan yang adil, lalu apa urusanmu? Apa itu merugikanmu?"