Oleh: Tri Handoyo
"Mbah, apa bisa memelet dua atau tiga orang sekaligus?" tanya Topo.
"Bisa saja. Sepuluh orang pun bisa!" sumbar Raja Pelet itu sangat meyakinkan, sambi meludah dan kentut berbarengan. "Nampaknya nafsu anda luar biasa tinggi! Ha..ha..ha..!"
Terdengar derap kaki kuda semakin lama semakin mendekat, diselingi suara nyanyian berbagai binatang malam. Kuda-kuda itu berhenti di pelataran depan rumah.
"Hm.., ada pasien lagi!" gumam Mbah Myang Mimbe.
Betapa terkejutnya Ki Setiaji dan Cak Woto ketika mendobrak pintu dan melangkah masuk, terlihat Topo dalam keadaan duduk bersila di depan meja di seberang Mbah Myang. Sebaliknya Topo juga kelihatan sangat terkejut melihat Ki Setiaji.
Secepat kilat Topo meraih meja berkaki pendek di depannya dan melemparkannya ke arah kedua tamu tak diundang itu. Meja jati yang lumayan berat itu di tahan oleh kedua tangan Cak Woto, dan kemudian menjadi hancur berantakan. Serpihan kayu itu terlempar sampai jauh, hingga orang yang berada di ruangan itu kalang kabut menghindar dan menangkis.
Topo menyadari bahwa tenaga dalam lawannya ternyata cukup tinggi juga. Ia kemudian menarik daun pintu hingga engselnya terlepas dan melemparkannya ke Cak Woto, dan disusul tendangan untuk menambah bobot pintu yang terbang itu. Cak Woto menyambut serangan itu dengan cara menjejakkan kedua kakinya ke daun pintu sehinga pintu itu pun hancur berkeping-keping disertai suara keras seperti ledakan.
Topo tidak mau memberi kesempatan, tenaga dalam pukulan dihimpun, disalurkan ke kedua telapak tangan, dan kemudian telapak tangan itu mendorong ke depan secara bersamaan dengan posisi agak jongkok. Serangan itu ditujukan ke jantung yang merupakan organ terpenting. Dua pasang tangan bertemu dengan tendangan malaikat. Tak disangka, tubuh Topo terlempar ke belakang hingga menjebol dinding, bergulingan sampai beberapa kaki jauhnya di pelataran. Baru sekarang dia merasakan tendangan maut Pendekar Kaki Malaikat yang termasyur itu.
Ketika Topo berhasil bangun, tendangan turun deras dari atas kepalanya. Dengan cepat ia menyilangkan kedua tangan untuk menangkis. Luar biasa kerasnya tendangan itu hingga kaki Topo ambles ke dalam tanah. Ki Setiaji memanfaatkan kesempatan untuk menusukan kerisnya dari belakang. Kini punggung Topo mengucurkan darah segar dari lubang bekas keris.