Cak Woto tak berdaya menghadapi situasi itu. Tadinya ia sudah mau mengingatkan Ki Setiaji agar menjauh dari area pertempuran, tapi sebelum ia sempat menyampaikan, apa yang dikhawatirkannya itu sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
"Baik, aku menyerah, tapi bebaskan Ki Setiaji!" kata Cak Woto. "Biarkan dia pergi, dan sebagai gantinya kamu boleh membunuhku!"
"Ha..ha..ha..!" Terdengar tawa penuh kecongkakan memecah keheningan malam. "Ha..ha..ha..!"
***
Suasana siang itu dalam keadaan mendung, bahkan sempat turun gerimis. Ketika waktu mendekati Dhuhur, secara perlahan mendung di langit mulai menghilang. Saat itu tersiar kabar yang menggemparkan, bahwa di kediaman Mbah Myang Mimbe ditemukan tiga jenazah, yaitu jenazah Mbah Myang Mimbe, jenazah Ki Setiaji dan jenazah Cak Woto. Masyarakat menduga itu perampokan, karena tidak ditemukan ada satu pun barang berharga. Meskipun menggantung pertanyaan besar, ada keperluan apa kedua orang itu pergi ke dukun pelet.
Setelah acara pemakaman Ki Setiaji dan Cak Woto selesai, di sore harinya tampak beberapa tamu penting masih berdatangan ke rumah mendiang lurah. Tentu untuk menyampaikan rasa belasungkawa.
"Mbak.., mbak.., orang itu mukanya kayak Hanoman!" celetuk Alya. Gadis kecil itu duduk di pangkuan Ajeng.
"Husss..!" potong ibunya, Asih Larasati, yang berada tidak jauh dari mereka, "Lia, gak boleh begitu!"
"Kalau aku boleh tahu, memang muka Hanoman itu seperti apa?" tanya Ajeng sambil menyembunyikan rasa penasaran.
"Hanoman itu ya.., kayak monyet!" jawab gadis berusia empat tahun itu dengan suara menggemaskan.
Ajeng tertawa pelan. Jenar yang duduk di sebelah Asih juga tidak bisa menahan senyum mendengar celoteh lucu itu. Air mata mereka telah kering. Mereka sudah mengikhlaskan kepergian Ki Setiaji, meskipun sangat mendadak.