Oleh: Tri Handoyo
"Siapakah di sini orang yang paling sakti menurut Kanda?"
"Dinda, dulu di dalam dunia persilatan terdapat sembilan orang yang paling sakti. Mereka itu adalah Singo Bedander yang menjadi jawara daerah utara, ke dua adalah Kanjeng Pertapa Sakti yang merajai wilayah timur, ke tiga Mbah Brantas dan ke empat Nini Jailangnak yang menduduki puncak di bagian barat. Ada pun orang ke lima yang menjadi jago daerah selatan, tahukah Dinda?"
"Siapa ya? Dua Pendekar Jeliteng!" tebak Arum sekenanya.
"Bukan. Dua pendekar itu sebetulnya masih jauh tingkatannya di bawah sembilan orang ini. Dua pendekar Kumbang itu terkenal hanya karena mereka paling suka buat keributan!"
"Celurit Setan?"
"Juga bukan?"
"Jadi siapa Kanda?"
"Ke lima adalah Pendekar Mpu Naga," sebut Tulus dengan sedikit sedih, "Dan ke enam adalah Pendekar Golok Dewa dan ke tujuh adalah Pendekar Cambuk Jahanam. Mereka ini yang menjadi jago-jago wilayah selatan!"
"Tapi mereka semua kan sudah meninggal dunia! Terus siapa gantinya?"
 "Ya siapa lagi kalau bukan kandamu ini!"
"Huu..!" Arum mencibirkan mulutnya sementara tangannya mengusap pipi Tulus dengan pandangan mata bangga. "Kalau begitu yang ke lima Kanda Pendekar Kebokicak, terus yang ke enam?"
Mereka berdua juga belum mendengar kabar bahwa Nini Jailangnak pun telah tewas, dan pembunuhnya, Topo Surantanu, berpeluang besar untuk menggeser kedudukan Si Nenek Siluman itu. Topo dan Tulus kini menjadi dua tokoh yang merajai wilayah selatan.
"Yang berikutnya ini yang lebih sakti di antara mereka semua, tapi jarang orang yang mengenalnya. Dia adalah Cak Japa, yang merajai wilayah tengah!"
Sawah ladang berpetak-petak ditumbuhi padi yang menghijau, dibelah oleh sebuah sungai yang berkelok-kelok, dengan diselingi pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara luasnya persawahan buah karya manusia. Sebuah tempat yang agak tinggi dan tampak rimbun, kelihatan menonjol di tengah hamparan persawahan itu, dan seolah-olah segala keindahan berpusat di sana.
"Terus setelah Cak Japa?"
"Mbah Kucing. Ini lebih sakti dibanding mereka semua tapi juga lebih tidak dikenal oleh masyarakat luas!"
Tadinya Arum berpikir mereka akan menuju ke arah pulang, tapi ternyata dokar berbelok ke kiri memasuki jalan yang agak kecil. "Ke mana ini Kanda?"
"Kita akan ke salah satu tempat petilasan ayah Mpu Naga!" jawab Tulus. "Dinda, dulu aku pernah diajak Mpu Naga ke pertirtaan Sumber Beji, di situ kami bersuci dan bermeditasi semalam. Kemudian ke Sendang Made, dan kami berendam dan bersemedi sehari semalam di sana, dan terakhir ke pertapaan di Candi Tampingan. Semasa mudanya Mpu Naga sudah pernah melakukan itu, dan beliau meyakini bahwa cita-citanya terkabul karena serangkaian tirakatan itu. Perjalanan yang kita lakukan sekarang ini adalah tapak tilas Mpu Naga!"
Nyonya muda yang cantik itu sangat gembira bisa mengunjungi tempat-tempat dan mendengar cerita-cerita yang berkaitan dengan ayahnya, karena semasa hidupnya mendiang Mpu Naga jarang mau menceritakan pengalaman hidupnya kepada putri semata wayangnya itu.
Mereka telah sampai di tapal batas Desa Tamping Mojo, di mana lokasi Candi Tampingan berada. Candi tersebut diduga merupakan peninggalan kerajaan Mataram Kuno, karena kawasan Tembelang diyakini dulunya merupakan ibukota kerajaan tersebut.
Ketika mereka memasuki area candi, ada seorang lelaki berumur sekitar tujuh puluh tahun berdiri menyambut. Lelaki bertelanjang dada dan berambut panjang itu memeluk Tulus dengan hangat.
"Bagaimana kabarnya Paman Kidang?" tanya Tulus mendahului.
"Seperti yang Raden lihat, aku sehat-sehat saja!"
"Ini Arum Naga, istri saya, Paman!" Tulus memperkenalkan istrinya. "Dia putri mendiang Mpu Naga!"
Arum mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan lelaki yang dipanggil Paman Kidang Talun itu. "Salam, Paman!"
"Hm... kalian pasangan yang sangat serasi!" puji Ki Kidang Talun jujur. Ia kemudian mengajak mereka duduk di pelataran yang dinaungi pohon besar yang teduh. "Ada energi positif yang menyertai kalian, energi yang memancarkan cahaya terang. Apa kalian habis berendam di air suci pertitaan?"
Arum dan suaminya hanya tersenyum. Arum menduga lelaki tua yang pandai memuji itu hanya asal menduga. 'Jika benar energi itu diperoleh setelah berendam, kenapa tidak disebut berendam di air Sendang Made?'
"Bakal calon bayi dalam kandunganmu sangat beruntung karena dipenuhi energi itu!" sambung Ki Kidang Talun.
Sekarang baru Arum benar-benar dibuat keheranan. Ia akhirnya maklum bahwa lelaki itu pasti bukan orang sembarangan. Terbukti ia orang 'waskita', memiliki pandangan batin yang sangat tajam.
"Menurut Paman Kidang, apa istri saya sedang hamil?"
"Ha..ha.., Raden pasti lebih tahu daripada saya!"
"Paman Kidang Talun ini dulu pernah membantu Mbah Kucing membangun Langgar Al Akbar, Dik!" kata Tulus kepada istrinya, "Beliau tinggal bersama Mbah Kucing!"
"Mbah Kucing itu dewa penolong saya!" sahut Ki Kidang. Ia kemudian menceritakan pengalamannya.
Belasan tahun yang lalu, Kidang Talun adalah seorang gelandangan yang agak kurang waras otaknya. Ketika malam tiba ia datang ke Mbah Kucing untuk minta makan dan untuk tidur di teras. Mbah Kucing menerima kehadirannya yang dalam keadaan kotor dengan sabar. Bahkan di saat cuaca dingin, Mbah Kucing memberi lelaki itu selimut.
Lambat laun, Kidang Talun semakin akrab dengan Mbah Kucing. Ia juga sering membantu kakek tua itu membersihkan halaman, berkebun, dan kemudian membangun langgar. Setelah langgar berdiri, ia rajin menimba air untuk persiapan orang-orang wudhu, meskipun ia sendiri sebetulnya bukan seorang muslim.
Di bawah asuhan Mbah Kucing lambat laun pikiran Kidang Talun kembali normal. Mereka berdua kadang terlibat percakapan yang serius tentang hal-hal yang rumit. Setelah kembali waras, Kidang Talun kelihatan jauh lebih cerdas daripada orang normal lainnya.
"Mbah Kucing sangat toleran dan menghargai keyakinan saya!" papar Ki Kidang Talun, "Selama saya dalam perawatannya, beliau tidak pernah sekalipun mencoba memaksakan keyakinannya kepada saya! Tapi saya sendiri yang akhirnya merasa tidak enak, dan kemudian saya pamit kepada beliau untuk pergi meninggalkan langgar. Saya mempertahankan keyakinan saya dan memilih jadi pertapa sekaligus jadi juru kunci yang merawat Candi Tampingan ini!"
Tidak banyak jejak Mataram Kuno yang bisa diselamatkan dan dilestarikan seperti peninggalan benda purbakala era Majapahit atau Kahuripan. Banyak yang rusak dimakan jaman atau dirusak oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab, tentu dengan dalih menghancurkan kemusyrikan.
Hanya beberapa prasasti Medang Kamulan yang tersisa seperti Candi Tampingan dan Candi Pundong yang bentuknya lumayan utuh meski sebagian badan candi terkubur pasir gunung saat meletus. Sedangkan peninggalan Mataram Kuno yang lain seperti Situs Sugihwaras dan Situs Medeleg tinggal puing-puing candi yang terlihat. Lokasi Situs Medeleg masih satu desa dengan Candi Tampingan.
Kerajaan Medang Kamulan merupakan lanjutan dari Mataram Kuno yang dipimpin oleh Mpu Sindok setelah Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra di Jawah Tengah runtuh. Ketika pindah, diduga Mpu Sindok masih belum menjadi raja. Setelah beberapa lama di wilayah baru, ada peralihan kekuasaan yang menobatkannya sebagai Prabu Mpu Sindok bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isyana. Ia kemudian menamakan dinasti baru tersebut sebagai Wangsa Isyana, melanjutkan Kerajaan Medang Kamulan dan memilih kawasan Tamelang (Tembelang) sebagai ibukota barunya.
Berbeda dengan Kerajaan Majapahit yang memiliki Kakawin Negarakertagama sebagai kitab petunjuk yang menggambarkan keadaan kerajaan pada masa itu, Mataram Kuno Wangsa Isyana tidak ditemukan memiliki peninggalan kitab apapun sebagai petunjuk. Hanya ada beberapa prasasti yang bisa memberikan secuil gambaran tentang situasi yang terjadi yang tersebar di sekitar Tamelang, yang menjadi pusat kerajaan dengan sebutan Keraton Bajang.
Candi Tampingan tidak disebutkan dalam kitab manapun, sehingga tidak diketahui fungsi maupun asal usulnya. Terdapat beberapa arca yang terbuat dari batu andesit, yang sejatinya merupakan sebuah kucur candi dan yoni kecil dengan hiasan ukiran naga raja. Adanya yoni tersebut mengindikasikan bahwa lokasi ini adalah tempat pemujaan atau mungkin penyimpanan abu jenazah.
Yoni sendiri, adalah semacam petirtaan air suci yang digunakan oleh para penganut agama Hindu untuk membasuh wajah dan beberapa bagian tubuh sebelum melakukan persembahyangan. Yoni yang berukuran sangat kecil itu berhiaskan pahatan naga raja, mengindikasikan bahwa lokasi itu bukan tempat biasa.
"Ukiran naga raja itulah yang memberi inspirasi Suganda muda alias Mpu Naga ketika semedi di sini, sehingga ia kemudian mendirikan perguruan silat Benteng Naga dan mengganti namanya menjadi  Ki Ganda Naga! Yang kemudian berubah menjadi Mpu Naga Neraka! Neraka itu diambil dari pekerjaan beliau yang akrab dengan kobaran api saat pembuatan senjata pusaka. Maaf, jadi ngelantur ke mana-mana!" pungkas Ki Kidang Talun, si ahli ilmu kebatinan itu.
"Tidak apa-apa, Paman!" sahut Arum, "Saya senang mendengar cerita sejarah!"
"Maaf,!" Mendadak mimik muka Ki Kidang tampak berubah, dan ia berpesan serius, "Jaga baik-baik kandungan Ning Arum!"
"Pasti, Paman. Terima kasih!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H