Oleh: Tri Handoyo
Dengan alasan-alasan kuat Ki Lurah Setiaji menjelaskan kepada  putrinya, disertai contoh tentang pengalaman-pengalamannya membongkar semua rahasia kejahatan kaki tangan Ki Demang, terutama Pendekar Macan Kumbang yang memeras rakyat dengan mengatasnamakan kerajaan Majapahit. Akan tetapi Ajeng seolah tidak mempedulikan semua itu.
"Saya berani taruhan, Topo itu tidak jauh beda dengan jongos Ki Demang lainnya!" pungkas Ki Setiaji dengan kejengkelan yang memuncak. "Mereka semua itu bajingan!"
"Pokoknya aku akan tetap menikah sama Cak Topo!" sahut Ajeng dingin. "Biarpun tanpa persetujuan kalian!"
Tiba-tiba Jenar berdiri, mendekat dan menampar pipi putrinya, "Kamu itu kesurupan atau kenapa?"
Tanpa bicara sepatah kata pun Ajeng berlari pergi dari hadapan kedua orang tuanya. Ia keluar rumah mencari Topo di kediaman Ki Demang. Saat itu matahari tengah merangkak tenggelam.
Topo mengajak gadis itu pergi menuju ke pesanggrahannya, yaitu sebuah bangunan pondok yang terpencil di belakang padepokan. Bangunan yang bentuknya cukup indah itu adalah fasilitas yang diberikan Ki Demang kepadanya sebagai guru besar padepokan.
Ketika berjalan menuju ke pesanggrahan, Ajeng melihat beberapa orang murid yang jumlahnya puluhan sedang berlatih silat dalam suasana remang-remang. Mereka mengenakan seragam warna merah hati dan sabuk warna hitam.
"Mereka ini adalah murid khusus yang dipersiapkan sebagai pasukan pengawal Ki Demang!" Topo menjelaskan ketika Ajeng memandang mereka yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Topo dengan gagah. "Mereka terdiri dari pemuda-pemuda pilihan!"
Akan tetapi Ajeng sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang murid pilihan tadi, karena dia sedang memperhatikan sebuah papan tulisan yang berbunyi, 'Perguruan Macan Abang'. Ia bertanya, "Kok diganti, bukan Macan Kumbang?"
"Aku yang minta supaya ganti nama," jawab Topo dengan nada bangga, "Karena kedua Pendekar Macan Kumbang itu sudah aku taklukan!" Pemilihan nama Macan Abang yang berarti Macan Merah itu agar masih terdengar mirip dengan Macan Kumbang. "Aku juga menciptakan jurus-jurus silat Macan Abang, yang merupakan penggabungan antara beberapa jurus Jari Suci dan jurus perguruan lain!"
Mereka berdua telah sampai di teras dan Topo membukakan pintu mempersilakan Ajeng untuk melangkah masuk lebih dulu. Bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu itu berisi perabotan yang tertata sangat rapi. Ruangan berukuran cukup luas, tampaknya berfungsi sebagai ruang tamu dan sekaligus sebagai ruang tidur, karena terdapat ranjang besar tertutup kelambu putih di sudut ruangan.
***
Ki Setiaji dan istrinya, Jenar, memutuskan untuk meminta bantuan Kyai Japa, imam langgar yang sebetulnya lebih suka dipanggil "Cak' itu.
"Saya terus terang merasa curiga, Kyai!" kata Jenar kepada Cak Japa, "Sikap Ajeng sepertinya tidak wajar, dan sudah tidak mempedulikan kami sama sekali!"
Mereka sedang berbicara di ruang tamu. Asih Larasati, istri Cak Japa, yang juga teman dekat Jenar, ikut nimbrung setelah menyajikan hidangan.
"Tidak wajarnya bagaimana contohnya, Mbak Yu?" tanya Asih.
"Misalnya, dia bilang harus menikah dengan Topo sekalipun tanpa persetujuan kami. Saya tahu pasti itu bukan sifat dia, Dik Asih!"
"Ada beberapa ciri-ciri orang terkena guna-guna," sahut Cak Japa dengan nada datar, "Misalnya suka melamun, sering gelisah, sulit untuk fokus dan sulit tidur. Terkadang terlihat lesu, tidak semangat dan merasa enggan untuk melakukan kegiatan apapun. Ketidak laziman ini biasanya terbaca oleh orang-orang dekat. Bagi si korban, dia akan merasa ada tarikan kuat yang tidak wajar, kemudian biasanya mencium aroma wangi yang menyengat pada saat-saat tertentu. Selama di bawah pengaruh ilmu pelet, tentu saja dia sama sekali tidak mau mendengar nasehat!"
Jenar berpaling ke arah suaminya yang saat itu juga menatap ke arahnya. "Semua ciri-ciri itu ada, Cak!" kata Jenar dengan suara bergetar.
Cak Japa sebetulnya sudah merasakan adanya energi negatif. Bulu tengkuknya langsung meremang begitu tadi mendengar nama Roro Ajeng disebut. "Mari kita doakan, ya Pak Lurah, Bu Lurah. Ajeng butuh dukungan dan doa kita agar Allah senantiasa melindunginya!"
***
Ajeng menguap beberapa kali seraya menutup mulut dengan telapak tangan. Tiba-tiba ia merasa sangat mengantuk. Sambil menggoyang-goyang kepalanya untuk mecegah rasa kantuk yang sulit untuk dilawan.
Topo juga menguap. Rasa ingin tidur sukar dipertahankan lagi. 'Aneh sekali! Baru menjelang petang, mana mungkin bisa mengantuk?' batinnya. Kembali dia menguap dan kemudian memaksa meloncat bangun, duduk sambil memusatkan pikiran. "Ini tidak wajar!" serunya. Ia tidak mau rencana yang telah dirancang dengan matang untuk bisa bermesraan dengan Ajeng malam itu gagal.
Ia berlari keluar dan melihat murid-murid yang berlatih silat di halaman dalam keadaan tertidur semua. "Bangun..! Bangun..! Cepat..!" teriaknya membangunkan mereka. "Cepat bangunkan yang lain!"
Topo berlari menuju gedung utama dan melihat Pendekar Celurit Setan sudah berdiri di teras dalam kondisi siaga. Ia merasa salut juga dengan kewaspadaan pendekar bisu itu. "Tolong bangunkan yang lain. Kita sedang diserang Ajian Sirep!"
Nini Jailangnak menahan kegeraman yang sangat dalam menyaksikan murid sekaligus kekasihnya itu berkhianat. Ia memang sudah curiga karena semenjak turun dari Bukit Lintah, pemuda itu tidak pernah lagi kembali ke bukit untuk menemuinya. Ternyata malah bersekongkol dengan para musuh dan memiliki kekasih lain. Dengan sorot mata yang menatap tajam, gigi geliginya gemeletuk dan urat-urat keningnya menonjol, ia bertekad untuk menghabisi Topo dan semua penghuni padepokan malam itu juga.
Tubuhnya berkelebat turun dari atas pohon, tiba-tiba sudah berada di atas Topo, dan dari atas tongkat Nenek Siluman itu menggempur dengan pukulan yang sangat mematikan. Beberapa kali sodokan kilat tongkat itu mengenai kepala Topo. Terdengar suara tengkorak yang tertembus pecah dan darah muncrat membasahi tanah.
Ia berteriak, "Pengkhianat! Ingatlah hukuman bagi seorang pengkhianat adalah mati!" Serbuan tongkatnya masih terus menghujani tubuh Topo yang telah roboh di tanah.
Tidak berselang lama orang-orang dan Ki Demang sendiri sudah muncul mengepung tempat itu. Itu membuat Si Nenek Siluman semakin kalap. Ayunan tongkatnya mengamuk hebat dan pukulan yang meleset dari sasaran meninggalkan bekas cekungan di tanah dan menerbangkan debu-debu ke udara.
Biar pun senjata tongkat kayu itu aneh, namun dimainkan dengan gerakan yang amat cepat dan sebentar saja pengeroyok itu sudah terdesak olehnya. Pukulan dan sodokan tongkat yang terisi energi besar itu keras sampai terdengar suara tulang-tulang yang patah. Suara jerit kesakitan mengiringi robohnya beberapa penjaga.
Kedua Pendekar Jeliteng Macan Kumbang, Pendekar Celurit Setan, Ki Gong dan Ki Geni pun tak kalah terdesak menghadapi amukan tongkat itu. Serangan balasan mereka kadang berhasil mengenai tubuh Nini Jailangnak, tapi senjata mereka seakan-akan hanya mengenai baju kosong tanpa tubuh, dan kain baju itu rasanya kenyal seperti karet dan tidak robek oleh senjata tajam.
"Nyalakan obor!" teriak Ki Demang memberi perintah para pengawalnya. Ia memegang keris pusaka di tangannya tapi ragu-ragu untuk ikut maju menyerang.
Topo tiba-tiba kembali bangkit dan langsung menyerang gurunya dari belakang. Namun pukulan dan tendangan beruntunnya hanya mengenai tempat kosong, karena tubuh Nenek Siluman itu sudah terbang ke atas. Jailangnak memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, sehingga gerakannya jauh lebih cepat dan gesit dibanding musuh-musuhnya.
"Kau berani melawanku?" Tongkatnya kembali menyerang dari atas kepala Topo. Serangan ke arah kepala berhasil dihindari. Akan tetapi tongkat kayu yang meliuk-liuk dan tampak lebih keras dibanding besi itu menusuk tembus leher Topo, dan dengan cepat kedua tangan Topo memegang erat tongkat itu. Di saat Nenek Siluman itu kesulitan mencabut tongkatnya, kesempatan itu digunakan oleh Ki Gong dan Ki Geni untuk menyerang Nenek Siluman dari belakang. Anehnya golok yang tajam berkilauan itu seolah menjadi tumpul ketika mengenai baju hitam kumal itu.
Topo masih berusaha mati-matian mempertahankan ujung tongkat dalam genggamannya, sehingga tubuhnya yang tertancap tongkat itu ikut terayun di udara ketika nenek itu mengayunkan tongkatnya.
"Pengkhianat..!" jerit Jailangnak berulang kali sambil menatap tajam ke arah muridnya, "Pengkhianat harus mampus!"
"Kau siluman jahat!" balas Ki Demang, "Kau yang harus mampus!"
"Bajingan keparat!"
"Kau lebih keparat! Bakar dia!" teriak Ki Demang. Dia meraih obor dari tangan seorang pengawal dan melemparkannya ke Nenek Siluman.
Topo dan gurunya tidak mempedulikan api yang bahkan sudah membakar sebagian baju mereka. Beberapa obor lagi dilemparkan ke arah mereka. Beberapa orang segera menyalahkan obor blarak, yakni dari daun kelapa yang sudah mengering, lalu ramai-ramai melemparkan ke guru dan murid yang masih memperebut tongkat itu, dan api yang membesar melahap sekujur tubuh mereka.
Orang-orang berlarian mengambil obor blarak lagi untuk menimbun kedua tubuh yang kini bergelut di atas tanah. Suara gemeretak bambu-bambu obor yang ikut terbakar mengiringi raungan melengking Nenek Siluman. Tampak dari kejauhan api besar yang menjilat-jilat menerangi pelataran rumah Ki Demang. Pengkhianat dan siluman jahat sama-sama sekarat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H