Ajeng menguap beberapa kali seraya menutup mulut dengan telapak tangan. Tiba-tiba ia merasa sangat mengantuk. Sambil menggoyang-goyang kepalanya untuk mecegah rasa kantuk yang sulit untuk dilawan.
Topo juga menguap. Rasa ingin tidur sukar dipertahankan lagi. 'Aneh sekali! Baru menjelang petang, mana mungkin bisa mengantuk?' batinnya. Kembali dia menguap dan kemudian memaksa meloncat bangun, duduk sambil memusatkan pikiran. "Ini tidak wajar!" serunya. Ia tidak mau rencana yang telah dirancang dengan matang untuk bisa bermesraan dengan Ajeng malam itu gagal.
Ia berlari keluar dan melihat murid-murid yang berlatih silat di halaman dalam keadaan tertidur semua. "Bangun..! Bangun..! Cepat..!" teriaknya membangunkan mereka. "Cepat bangunkan yang lain!"
Topo berlari menuju gedung utama dan melihat Pendekar Celurit Setan sudah berdiri di teras dalam kondisi siaga. Ia merasa salut juga dengan kewaspadaan pendekar bisu itu. "Tolong bangunkan yang lain. Kita sedang diserang Ajian Sirep!"
Nini Jailangnak menahan kegeraman yang sangat dalam menyaksikan murid sekaligus kekasihnya itu berkhianat. Ia memang sudah curiga karena semenjak turun dari Bukit Lintah, pemuda itu tidak pernah lagi kembali ke bukit untuk menemuinya. Ternyata malah bersekongkol dengan para musuh dan memiliki kekasih lain. Dengan sorot mata yang menatap tajam, gigi geliginya gemeletuk dan urat-urat keningnya menonjol, ia bertekad untuk menghabisi Topo dan semua penghuni padepokan malam itu juga.
Tubuhnya berkelebat turun dari atas pohon, tiba-tiba sudah berada di atas Topo, dan dari atas tongkat Nenek Siluman itu menggempur dengan pukulan yang sangat mematikan. Beberapa kali sodokan kilat tongkat itu mengenai kepala Topo. Terdengar suara tengkorak yang tertembus pecah dan darah muncrat membasahi tanah.
Ia berteriak, "Pengkhianat! Ingatlah hukuman bagi seorang pengkhianat adalah mati!" Serbuan tongkatnya masih terus menghujani tubuh Topo yang telah roboh di tanah.
Tidak berselang lama orang-orang dan Ki Demang sendiri sudah muncul mengepung tempat itu. Itu membuat Si Nenek Siluman semakin kalap. Ayunan tongkatnya mengamuk hebat dan pukulan yang meleset dari sasaran meninggalkan bekas cekungan di tanah dan menerbangkan debu-debu ke udara.
Biar pun senjata tongkat kayu itu aneh, namun dimainkan dengan gerakan yang amat cepat dan sebentar saja pengeroyok itu sudah terdesak olehnya. Pukulan dan sodokan tongkat yang terisi energi besar itu keras sampai terdengar suara tulang-tulang yang patah. Suara jerit kesakitan mengiringi robohnya beberapa penjaga.
Kedua Pendekar Jeliteng Macan Kumbang, Pendekar Celurit Setan, Ki Gong dan Ki Geni pun tak kalah terdesak menghadapi amukan tongkat itu. Serangan balasan mereka kadang berhasil mengenai tubuh Nini Jailangnak, tapi senjata mereka seakan-akan hanya mengenai baju kosong tanpa tubuh, dan kain baju itu rasanya kenyal seperti karet dan tidak robek oleh senjata tajam.
"Nyalakan obor!" teriak Ki Demang memberi perintah para pengawalnya. Ia memegang keris pusaka di tangannya tapi ragu-ragu untuk ikut maju menyerang.