Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (45): Tembang Cinta

11 Agustus 2024   07:33 Diperbarui: 11 Agustus 2024   07:34 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Mereka telah sampai di perkampungan terakhir menuju ke arah puncak bukit. Jalan yang dilalui semakin sempit, menanjak dan terjal, sehingga mereka terpaksa menitipkan dokar di rumah seorang warga, dan harus melanjutkan dengan jalan kaki.

"Maaf, Paman!" tanya Tulus kepada pemilik rumah, "Apakah paman tahu letak Gua Sigolo-golo?"

Pria yang berusia sekitar enam puluh tahun dan berkepala gundul itu tampak keheranan, "Apa ki sanak mau ke Gua Sigolo-golo?"

"Iya benar, Paman!"

"Harap Ki sanak tahu, gua itu angker dan sangat berbahaya, di samping karena mulut gua berada di tebing yang curam!"

Tulus dan Arum saling bertatap pandang dengan muka ceria, "Iya betul, itu gua yang kami cari! Apa masih jauh dari sini, paman?"

Sambil menampakan mimik muka keheranan, pria itu menjawab, "Ki sanak akan sampai di puncak bukit petang hari, tapi kalau naik kuda barangkali ashar sudah bisa sampai sana!"

"Baik, terima kasih banyak, Paman!"

Akhirnya mereka memutuskan untuk naik kuda. Setelah berpamitan kepada pemilik rumah, mereka pun segera melanjutkan perjalanan. Awalnya mereka berdua menaiki kuda, tapi ketika jalan yang dilalui semakin menanjak, Tulus turun dan berjalan menuntun kuda, dan tidak jarang bahkan dia membantu kuda dengan jalan mendorongnya dari belakang.

"Kanda," panggil Arum.

"Ada apa Dinda?"

"Aku nggak tahu kenapa sejak bangun pagi tadi aku terus kepikiran ayah!"

Tulus juga merasakan ada firasat buruk mengenai Mpu Naga, sejak semalam, tapi ia merahasiakan itu dari istrinya. "Ya mungkin karena kamu kangen saja, Dinda!"

"Apa Kanda tidak merasakan ada sesuatu dengan ayah?"

"Semoga ayah baik-baik saja!"

Arum yakin suaminya pasti juga merasakan ada sesuatu yang tengah terjadi dengan ayahnya. "Amin..!"

***

Pasukan Tumenggung Legowo dan orang-orang Ki Demang yang bentrok melawan Padepokan Mpu Naga mengundang banyak keprihatinan masyarakat. Ada sepuluh orang dari pihak Tumenggung yang tewas, sedangkan dari pihak padepokan ada empat belas orang yang tewas. Mpu Naga sendiri dalam kondisi kritis.

Puluhan murid Padepokan Benteng Naga yang mendengar keadian itu mulai berdatangan, berkumpul menjaga padepokan. Mereka tidak sabar menunggu kepulangan Arum dan Tulus untuk siap mendapat perintah menyerang balik Ki Demang Wiryo. Mereka bukannya takut menghadapi Ki Demang dan orang-orangnya, tapi mereka tidak mau bertindak lancang tanpa ada perintah dari pimpinan.

Cak Japa dan Mbah Kucing juga datang begitu mendengar peristiwa di padepokan itu. Murid-murid padepokan memindahkan tubuh Mpu Naga yang pingsan di pelataran ke dalam rumah. Sebagian sibuk mengumpulkan dan mengurusi mayat-mayat saudara seperguruan mereka, dan sisanya lagi membersihkan tempat itu dari darah yang menggumpal dan berceceran di mana-mana.

"Mpu Naga ini orang yang sangat kuat!" puji Mbah Kucing, dan semua orang di ruangan itu tidak ada yang terkejut mendengar itu, "Dengan luka sebanyak ini dan nyaris kehabisan darah, tapi semua organ dan syaraf-syaraf di tubuhnya tidak mau menyerah! Kemauannya untuk bertahan hidup sangat luar biasa!"

Mereka baru mengangguk-angguk setelah memahami apa yang dimaksud Mbah Kucing. Mereka tertegun menatap tubuh Mpu Naga yang sangat mengenaskan, dengan tujuh belas luka sabetan senjata tajam di berbagai tempat. Lengan kirinya putus dan tulang lutut kaki kanannya remuk. Mbah Kucing kemudian meminta mereka meninggalkan ruangan, dan hanya dia dan Cak Japa yang tetap tinggal di situ.

Dua hari penuh Mpu Naga dalam keadaan tidak sadarkan diri. Darah di sekujur tubuhnya sudah dibersihkan dan lukanya sudah dibalut kain yang diberi rempah obat-obatan. Kalau itu terjadi pada orang lain pasti sudah meninggal, akan tetapi, sore itu jemari tangannya bergerak-gerak, lalu mengepal sesaat.

Pikirannya mulai sadar. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan beberapa bagian sangat perih, kepalanya pening dan tenaganya benar-benar habis, maka dia tetap memejamkan mata dan membiarkan saja ketika merasa ada telapak tangan hangat menyentuh ubun-ubunnya. Dari telapak tangan itu tersalurkan energi hangat dan secara berangsur-angsur membantu memulihkan kembali tenaganya. Peredaran darah kembali normal.

Ia mengatur pernafasan dan berkonsentrasi untuk membantu menyembuhkan sendiri luka-luka di tubuhnya. Setelah beberapa menit lalu membuka mata karena ingin melihat siapa orang yang menolongnya itu. "Mbah Kucing..!" ucapnya lemah.

Mbah Kucing tersenyum dan memberi isyarat agar tetap tenang. Kemudian ia memberikan minuman ramuan obat yang sudah disiapkan sejak kemarin.

"Berapa lama saya pingsan, Mbah?"

"Dua hari!"

"Arum...?"

"Dia belum pulang!"

Setela itu, Mpu Naga kembali tidak sadarkan diri.

***

Mereka tiba di puncak tepat saat matahari berada di atas kepala. Arum menunggu di atas kuda sementara Tulus turun merayap di tebing menuju mulut gua. Di dalam gua yang tidak begitu dalam dan mendapat terang cahaya matahari, ia melihat kapak bergagang panjang disandarkan pada sebuah karung. Ia kemudian mengikat karung dan kapak itu di punggungnya dan segera naik ke atas.

"Ah benar itu kapak pusaka Paman Kelabang!" seru Arum begitu melihat suaminya muncul. Ia turun dari kuda dan membantu Tulus menurunkan karung.

Mereka lalu membuka karung itu dan mata mereka terbelalak kagum. Berbagai perhiasan dari emas bertatahkan batu-batu mulia dan mutiara, dengan berbagai bentuk yang indah dan mempesona.

"Kanda, apakah ini semua akan menjadi milik kita?" tanya Arum seolah sulit untuk mempercayai itu. Benar-benar bagaikan sebuah mimpi.

"Ayah berpesan, bahwa ini akan dipergunakan untuk membantu rakyat yang membutuhkan bantuan!"

"Semuanya?"

"Iya, sesuai amanah dari Paman Kelabang!"

"Tidak bolehkah aku mengambil satu saja?" Setelah mengamati, Arum lantas mengambil sebuah kalung mutiara berbandul batu Kecubung dan mencoba mengalungkan di lehernya. Batu Kecubung adalah batu permata favorit kaum bangsawan Majapahit. Ia lalu berpaling ke suaminya.

"Ambillah yang paling kamu sukai, Tuan Putri!"

"Benarkah?"

Tulus menganggukkan kepala. Ia tersentak kagum menyadari bahwa istrinya itu bukan orang yang tamak, sehingga untuk mengambil harta tak bertuan itu saja harus meminta ijin.

Dengan mata berbinar-binar gadis itu mencium suaminya, "Terima kasih, Kanda! Bagaimana aku membalas kebaikan Kanda ini?"

"Bagiku cintamu itu sudah balasan kebaikan yang berlipat ganda, Dinda!"

Sebait tembang berkumandang entah dari mana. Tembang cinta yang sepertinya pernah popular di suatu masa. Rupanya tembang itu didendangkan oleh alam, dan hanya terdengar oleh mereka berdua. Tembang cinta yang diciptakan khusus untuk Arum dan Tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun