***
Mereka tiba di puncak tepat saat matahari berada di atas kepala. Arum menunggu di atas kuda sementara Tulus turun merayap di tebing menuju mulut gua. Di dalam gua yang tidak begitu dalam dan mendapat terang cahaya matahari, ia melihat kapak bergagang panjang disandarkan pada sebuah karung. Ia kemudian mengikat karung dan kapak itu di punggungnya dan segera naik ke atas.
"Ah benar itu kapak pusaka Paman Kelabang!" seru Arum begitu melihat suaminya muncul. Ia turun dari kuda dan membantu Tulus menurunkan karung.
Mereka lalu membuka karung itu dan mata mereka terbelalak kagum. Berbagai perhiasan dari emas bertatahkan batu-batu mulia dan mutiara, dengan berbagai bentuk yang indah dan mempesona.
"Kanda, apakah ini semua akan menjadi milik kita?" tanya Arum seolah sulit untuk mempercayai itu. Benar-benar bagaikan sebuah mimpi.
"Ayah berpesan, bahwa ini akan dipergunakan untuk membantu rakyat yang membutuhkan bantuan!"
"Semuanya?"
"Iya, sesuai amanah dari Paman Kelabang!"
"Tidak bolehkah aku mengambil satu saja?" Setelah mengamati, Arum lantas mengambil sebuah kalung mutiara berbandul batu Kecubung dan mencoba mengalungkan di lehernya. Batu Kecubung adalah batu permata favorit kaum bangsawan Majapahit. Ia lalu berpaling ke suaminya.
"Ambillah yang paling kamu sukai, Tuan Putri!"
"Benarkah?"