Oleh: Tri Handoyo
Seorang satpam komplek perumahan baru saja memukul tiang listrik. Teng..! Hanya sekali, menunjukan saat itu jam satu malam.
Ketika suntuk dan belum mengantuk, aku biasa pergi ke pos, untuk sekedar mengajak satpam berbincang-bincang beberapa saat, sampai rasa kantuk datang menyergap.
Pada hari itu, hanya seorang satpam, Cak Im, yang jaga di pos belakang. Â Pos kamling tua yang dibangun bersamaan dengan awal-awal komplek perumahan berdiri. Sekitar tahun 80-an. Perumahan pertama yang ada di kotaku.
Dulu di belakang pos adalah persawahan yang terdapat sebuah pohon trembesi besar dan sangat tua. Terpisahkan oleh parit kecil yang kering di kala musim kemarau.
Angin malam awal Bulan September terasa begitu dingin. Membuat orang malas keluar, sehingga sejak sore pos yang biasanya dibuat nongkrong oleh beberapa warga terlihat sepi.
Apalagi pada sore harinya ada cerita yang sangat misterius, setidaknya begitu menurut Cak Im.
"Klakson mobil yang diparkir di samping pos tiba-tiba berbunyi dengan sendirinya," tutur Cak Im.
"Mungkin ada kabel yang konslet!" Aku menyela cerita satpam lugu itu. Ingin membesarkan hati agar malam kelam tidak terasa semakin mencekam. "Itu biasa, bukan hal yang aneh, Cak!" pungkasku sok tahu.
"Tapi ada yang lebih seram, Mas," imbuh Cak Im seperti gak terima pendapatku.
"Baik, apa itu!" Aku merapatkan jaket dan siap menyimak ceritanya.
"Pas sama pemilik mobil mau dipindahkan, mesin mobil mogok. Beberapa kali coba dihidupkan tidak mau!"
'Begitu saja kok misterius!' gerutuku tapi dalam hati.
Singkat cerita, si pemilik mobil menelpon tukang servis. Dua orang tukang servis datang dan segera mencari tahu penyebabnya. Mereka menggunakan penerang bantuan dari senter. Tapi senter itu tidak biss menyala. Padahal menurut mereka baru saja dicharge sampai penuh.
Akhirnya mereka punya ide mendorong mobil ke tempat yang lebih terang, setidaknya tepat di bawah lampu jalan. Empat orang dewasa, pemilik mobil dan dua orang tukang servis serta Cak Im, gagal mendorong mobil. Tidak kuat. Mobil tidak bergerak sedikit pun. Seolah-olah ada yang menginjak remnya. Empat orang itu mulai merasa ada yang tidak wajar.
Anak kecil pemilik mobil yang tadi ikut menemani bapaknya tiba-tiba berseru dengan mimik ketakutan, "Pa, itu siapa di atas mobil?"
Semua orang melihat ke atas mobil dan tidak melihat ada sesuatu pun di sana.
"Huss, gak ada siapa-siapa!" jawab bapak pemilik mobil.
"Ada, Pa. Orang besar penuh rambut hitam!"
Seketika semua orang merasa bulu tengkuknya merinding. Mereka menyadari bahwa anak kecil itu tidak mungkin berbohong. Setelah akhirnya mobil berhasil didorong ke tempat terang, mesin mobil langsung bisa dihidupkan. Anehnya lagi, setelah itu mobil pemilik tukang servis yang gantian mogok.
"Hm.., aneh juga ya, Cak!" Kali ini aku setuju.
"Bukan cuma aneh, tapi seram, Mas!" pungkas Cak Im sambil melilitkan sarung di leher. Satpam yang baru beberapa minggu bekerja itu sering dijadikan kalah-kalahan oleh kedua rekannya. Di samping juga karena usianya paling muda. Itulah yang membuat aku merasa kasihan.
"Nah setelah masalah mobil akhirnya selesai, saat sudah sepi, ada seorang bapak-bapak ke pos tanya apakah ada seorang perempuan lewat sini!" cerita Cak Im lagi, "Bapak yang berpakaian bagus itu mengatakan bahwa ia sedang mencari anaknya!"
"Warga sini?"
"Bukan. Saya tidak kenal, Mas! Tapi anehnya, pas aku nengok ke arah lain, belum sempat aku jawab, bapak itu sudah gak ada. Pergi begitu saja entah ke mana!"
"Hm.., kok ada-ada saja, Cak!" timpalku sambil tertawa kecil, karena gaya bercerita Cak Im yang menurutku lucu.
Sebetulnya, dari cerita satpam-satpam yang dulu, aku tahu bahwa pos kamling itu memang cukup angker.
Sebelum Cak Im masuk jadi satpam, ada anak muda yang sudah menikah dan mempunyai sorang anak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa menerima tawaran bekerja kadi satpam di situ.
Sebelum akhirnya meminta berhenti, ia pernah cerita melihat Genderuwo. Suatu malam, setelah kembali dari keliling, ia melihat kotak kayu di dalam pos. Ia merasa heran, bagaimana orang bisa meletakan kayu persegi panjang di dalam. Benda itu nyaris memenuhi ruang pos yang hanya berukuran satu setengah kali dua meter.
Dengan hati-hati ia masuk dan memeriksa, ternyata itu sebuah peti mati. Lalu ia mencoba menggeser tutupnya dan melihat ke dalam. Betapa kagetnya, ternyata peti itu berisi mayat yang terbungkus kafan. Wajah mayat itu adalah wajah dirinya sendiri.
Ia menjerit. Rupanya ia sedang bermimpi. Ia bangun dan bergegas lari keluar pos. Begitu di luar, tiba-tiba ia melihat sebuah dahan pohon mangga di samping pos bergoyang hebat. Padahal tidak ada angin. Kemudian muncul sosok hitam berbulu lebat yang berayun-ayun di dahan. Ia langsung berlari meninggalkan pos, dan tidak berani kembali lagi hingga pagi datang. Setelah kejadian itu ia minta berhenti. Dengan alasan klasik, honornya tidak cukup buat memenuhi biaya hidup.
Satpam memang menerima honor tidak seberapa besar. Bagi mereka yang penting cukup untuk menyambung hidup. Kadang mereka tidak menuntut terlalu banyak. Hanya dihargai saja sudah cukup membuat mereka senang. Akan tetapi, jarang disadari oleh kebanyakan orang, sehingga pelit untuk hanya sekedar menghargai. Padahal berkat jasa merekalah warga bisa nyenyak beristirahat malam.
"Mas, sampean tunggu dulu ya!" kata Cak Im membuyarkan lamunanku, "Aku mau 'ngenteng' jam dua! Sebentar kok!"
"Lho sudah jam dua. Aku pulang saja, Cak!" sahutku.
"Tahu begitu tadi gak usah aku kasih tahu kalau sudah jam dua!" candanya sambil tertawa.
Aku tahu dia butuh teman. "Maad aku sudah ngantuk, Cak!"
"Ya sudah. Terima kasih sudah mau menemani, Mas!"
"Oh, iya, nanti kalau ceweknya lewat, aku titip salam?" pesanku sambil melangkah meninggalkan pos.
"Cewek siapa, Mas?"
"Tadi yang dicari sama bapak berpakaian rapi!"
"Ha..ha..ha..!" Cak Im tertawa renyah menanggapi gurauan itu. "Oke! Pasti aku sampaikan!"
Setelah adzan subuh selesai berkumandang, begitu keluar pagar rumah, aku melihat Cak Im berdiri di pojok perempatan. Sepertinya ia sengaja menungguku.
"Ada apa, Cak?" tanyaku karena melihat wajahnya yang pucat saat menghampiriku.
"Mas, ce..cewek itu..!" kata Cak Im dengan nada gugup.
'Sialan! Subuh-subuh sudah mengajak bercanda,' pikirku. "Salamku sudah sampean sampaikan?"
"Ini benar, Mas, saya serius!" serbunya dengan nada tegang, "Aku ketemu cewek itu, ternyata dia Sundel Bolong!"
Aku menatap wajahnya yang masih menyimpan rasa kengerian. Ia tampak sungguh-sungguh. "Oh iya?"
Sekitar satu jam setelah aku pulang, ia jujur mengaku ketiduran di bangku depan pos. Tatkala terjaga, melalui jendela yang diberi ram-raman kawat besi, dia menengok ke arah jam yang tergantung di dinding bagian dalam.
Betapa kagetnya saat melihat ada perempuan yang duduk di dalam pos. Perempuan itu berpakaian serba putih dan berambut panjang menutupi wajahnya.
Satpam polos itu awalnya berpikir jangan-jangan itu perempuan yang tadi sore dicari sama bapaknya.
"Mbak dari mana?" Cak Im memberanikan diri melontarkan pertanyaan. "Tadi ada seorang bapak yang mencari anaknya! Mungkin mencari mbak!"
Perempuan itu hanya membisu. Ada bau wangi yang diterbangkan angin. Wangi bunga kenanga.
Perasaan Cak Im mulai curiga, bagaimana mungkin perempuan itu bisa berada di dalam pos tanpa sepengetahuannya. Kendati tertidur, ia gampang terjaga walaupun hanya dengan mendengar langkah kaki.
Cak Im berdiri dan perlahan-lahan hendak lari meninggalkan pos, tapi perempuan itu ikut berdiri, dan kemudian membalikan badan membelakangi lelaki yang sudah gemetaran itu. Saat itu terlihat bahwa punggung perempuan itu berlubang. Dari lubang itu keluar beberapa gumpalan darah campur belatung disertai bau sangat busuk yang menyeruak memenuhi udara.
Cak Im kemudian tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin ia pingsan. Sampai akhirnya terdengar kumandang adzan subuh. Cak Im kaget saat sadar tubuhnya terbaring di atas aspal. Dengan kotoran pasir yang menempel di baju.
"Jangan-jangan kamu mimpi, Cak?"
"Gak Mas!" Tersirat ada kengerian yang aku tangkap dari raut wajahnya. "Mas, pos kamling itu ternyata...!" Cak Im tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Angker?" potongku cepat. 'Kalau itu aku sudah lama tahu!'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H