"Bukan cuma aneh, tapi seram, Mas!" pungkas Cak Im sambil melilitkan sarung di leher. Satpam yang baru beberapa minggu bekerja itu sering dijadikan kalah-kalahan oleh kedua rekannya. Di samping juga karena usianya paling muda. Itulah yang membuat aku merasa kasihan.
"Nah setelah masalah mobil akhirnya selesai, saat sudah sepi, ada seorang bapak-bapak ke pos tanya apakah ada seorang perempuan lewat sini!" cerita Cak Im lagi, "Bapak yang berpakaian bagus itu mengatakan bahwa ia sedang mencari anaknya!"
"Warga sini?"
"Bukan. Saya tidak kenal, Mas! Tapi anehnya, pas aku nengok ke arah lain, belum sempat aku jawab, bapak itu sudah gak ada. Pergi begitu saja entah ke mana!"
"Hm.., kok ada-ada saja, Cak!" timpalku sambil tertawa kecil, karena gaya bercerita Cak Im yang menurutku lucu.
Sebetulnya, dari cerita satpam-satpam yang dulu, aku tahu bahwa pos kamling itu memang cukup angker.
Sebelum Cak Im masuk jadi satpam, ada anak muda yang sudah menikah dan mempunyai sorang anak, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa menerima tawaran bekerja kadi satpam di situ.
Sebelum akhirnya meminta berhenti, ia pernah cerita melihat Genderuwo. Suatu malam, setelah kembali dari keliling, ia melihat kotak kayu di dalam pos. Ia merasa heran, bagaimana orang bisa meletakan kayu persegi panjang di dalam. Benda itu nyaris memenuhi ruang pos yang hanya berukuran satu setengah kali dua meter.
Dengan hati-hati ia masuk dan memeriksa, ternyata itu sebuah peti mati. Lalu ia mencoba menggeser tutupnya dan melihat ke dalam. Betapa kagetnya, ternyata peti itu berisi mayat yang terbungkus kafan. Wajah mayat itu adalah wajah dirinya sendiri.
Ia menjerit. Rupanya ia sedang bermimpi. Ia bangun dan bergegas lari keluar pos. Begitu di luar, tiba-tiba ia melihat sebuah dahan pohon mangga di samping pos bergoyang hebat. Padahal tidak ada angin. Kemudian muncul sosok hitam berbulu lebat yang berayun-ayun di dahan. Ia langsung berlari meninggalkan pos, dan tidak berani kembali lagi hingga pagi datang. Setelah kejadian itu ia minta berhenti. Dengan alasan klasik, honornya tidak cukup buat memenuhi biaya hidup.
Satpam memang menerima honor tidak seberapa besar. Bagi mereka yang penting cukup untuk menyambung hidup. Kadang mereka tidak menuntut terlalu banyak. Hanya dihargai saja sudah cukup membuat mereka senang. Akan tetapi, jarang disadari oleh kebanyakan orang, sehingga pelit untuk hanya sekedar menghargai. Padahal berkat jasa merekalah warga bisa nyenyak beristirahat malam.