Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Darah Takkan Dusta

11 Juli 2024   07:23 Diperbarui: 27 Juli 2024   11:38 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

"Apa kamu serius?" tanya Mbah Gering dengan sorot mata tajam.

"Ya! Saya sangat serius, Mbah!" jawab Ricky tegas, sambil menelan ludah. Terasa pahit lantaran rasa bersalah.

"Hm.., baik!?" Mbah Gering merasa aneh dengan permintaan konyol kliennya itu, "Aku ulangi untuk terakhir kali, pikirkan baik-baik, kamu minta aku menyantet anak kandungmu sendiri?"

"Iya. Saya sudah kehabisan akal, Mbah!" keluh Ricky seraya menarik nafas panjang, "Anak bungsu saya itu sudah sangat keterlaluan. Sering membuat malu keluarga. Saya pikir ini jalan satu-satunya untuk menyingkirkannya, daripada martabat dan kehormatan keluarga saya tercoreng oleh anak durhaka itu!"

Ricky mempunyai tiga anak laki-laki. Anak bungsunya yang bernama Surya, itulah yang dia anggap sering membuat malu keluarga, dan belakangan justru mengancam keselamatan seluruh anggota keluarga. Jalan terbaiknya adalah menyingkirkannya dengan cara disantet.

Dukun santet bernama Gering itu mempunyai bentuk kepala unik, mirip kambing, khas pula dengan jenggot sejumputnya. Rambut kepalanya hanya menyisahkan beberapa helai rambut yang memutih dan dibiarkan panjang. Wajahnya tertutup bedak hitam. Aneh. Di lehernya yang jenjang tegantung kalung dari tulang belulang, dan sebagai bandulnya adalah tengkorak ular Sanca besar.

'Gering' dalam bahasa Jawa bisa diartikan sakit atau kurus kering, dan itu sangat cocok dengan perawakan tubuh dukun santet tersebut.

Sejak awal melangkahkan kaki memasuki ruangan itu, Ricky merasakan dingin dan dipenuhi suasana magis. Ruang sempit itu penuh benda-benda aneh berserakan.

Mbah Gering memberitahu mengenai biaya dan syarat-syarat apa saja yang diperlukan untuk menyantet. "Kamu ingin dia menderita sakit berkepanjangan atau langsung mati?"

"Langsung mati, Mbah!"

"Biayanya seharga sepuluh gram emas!" kata Mbah Gering singkat dan tegas.

'Sepuluh gram,' batin Ricky, 'Seratus gram pun akan aku bayar!' Ia langsung mengeluarkan empat gepok uang ratusan ribu yang segepoknya senilai 5 juta Rupiah. "Saya akan berikan bonus kalau sudah berhasil, Mbah!"

Mbah Gering melempar senyum aneh. Tampaknya ia belum pernah melihat uang sebanyak itu. "Bonus?"

"Benar, Mbah! Jangan khawatir, pasti akan saya bayar! Sekarang pun sudah saya bawa uangnya!"

Tanpa panjang lebar lagi, Mbah Gering segera mempersiapkan segala keperluan buat sesajen. Membakar kemenyan di atas tungku kecil, mengambil lombok-lombok dari keranjang. Lombok merah besar yang sudah mengering itu diikat benang merah dan kemudian digantungkan di tulang tengkorak di dekat tungku.

Ricky hanya membisu memperhatikan semua itu. Mbah Gering kembali duduk bersila menggadapnya. "Sekarang aku minta darahmu. Karena darah adalah media terbaik untuk menyantet, apalagi ditujukan ke anak keturunanmu. Pasti ces pleng. Tidak banyak, hanya tujuh tetes."

"Baik, silakan, Mbah!" jawab Ricky seraya mengulurkan tangan, "Apakah saya harus menunggu sampai ritualnya selesai, Mbah?"

"Iya betul! Setiap praktik santet yang tujuannya untuk menyakiti atau menyebabkan kematian pasti memiliki konsekuensi baik bagi si klien maupun dukunnya. Itulah kenapa kita harus tetap jaga-jaga jika santet gagal. Itu akan menjadi bumerang, balik menyerang kita!"

"Sampai berapa lama jaganya?"

"Tidak lama. Karena ini santet istimewa, super kilat. Setelah ada tanda bahwa santet itu sudah masuk dan mengenai sasaran, kamu boleh tinggalkan tempat ini. Paling lama satu jam, kamu sudah bisa melihat hasilnya!"

"Ada tanda kalau sudah mengenai sasaran?"

"Ya! Jika sasaran sudah kena, biasanya ditandai dengan nyala api semakin membesar!" Sementara itu Mbah Gering tampak serius. Keringat perlahan-lahan membasahi sekujur tubuhnya.

Setelah membaca kerisauan yang tersirat di wajah Ricky, Mbah Gering mencoba menenangkan. "Jangan khawatir, kamu datang ke dukun santet yang paling sakti di seluruh Nusantara! Aku jamin itu! Santetku belum pernah gagal!"

"Saya percaya Mbah!"

Mbah Gering menggerak-gerakkan tangan, sementara seringai misterius tidak pernah lepas dari bibirnya yang sumbing, menampakan gigi yang geripis kehitaman, serta air liur yang selalu menetes. Matanya agak juling dan besar sebelah. Penampilan yang mengerikan.

Tidak lama kemudian muncul nyalah api di tungku. Membesar dalam sekejap dan kembali padam, menyisahkan bara.

"Kita berhasil" pungkas Mbah Gering puas. "Jangan lupa bonusnya!"

***

Dalam perjalanan pulang terselip sedikit sesal di hati Ricky. Surya anak bungsunya itu adalah anak yang nakal, suka hura-hura, kelayapan di jalan dan kerap berurusan dengan aparat penegak hukum. Sampai terakhir harus masuk penjarah gara-gara tawuran. Itu sebetulnya tidak terlalu merisaukan Ricky sebagai bapaknya, sebab ia menyadari bahwa perilakunya ketika remaja dulu sama persis seperti itu. Pepatah bilang 'Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya'.

Namun, yang menjadikan puncak kerisauan Ricky justru setelah Surya keluar dari penjara. Anak itu tiba-tiba menjadi anak yang bertolak belakang dengan sebelumnya. Ia mulai rajin ibadah, di samping itu mulai berani menceramahi seluruh anggota keluarga. Bahkan mengancam akan membongkar semua bisnis haram keluarganya.

Ricky selama ini adalah salah seorang bandar judi besar di tanah air. Dari perjudian itu ia bisa meraup kekayaan yang berlimpah. Bisnis keluarga inilah yang oleh Surya mau dibongkar apabila tidak dihentikan. Anak itu mengancam mau melaporkan bapak dan saudara-saudaranya ke polisi.

Ricky tidak menemukan jalan keluar lain kecuali terpaksa menyingkirkan anak durhaka itu. Kehilangan satu anak lebih baik daripada mengorbankan semua anggota keluarga.

Sesampainya di rumah, Ricky mendapati beberapa karyawan berkumpul di teras. Istri dan para pembantunya menangis di ruang tamu. Ia pun pura-pura kaget dan bertanya, "Ada apa ini, Ma?"

"Pa, anak kita mati!" jerit istrinya. "Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mati!"

"Ya Tuhan, Surya!" seru Ricky menyusul istrinya menangis tersedu-sedu.

"Bukan Surya, Pa, tapi Candra dan Lintang!"

"Apa? Gak mungkin!"

***

Ricky langsung kembali meluncur ke tempat Mbah Gering. "Mbah, kamu salah sasaran!" protesnya dengan nada tinggi.

"Apa katamu?"

"Yang mati bukan Surya, tapi kedua anakku yang lain! Kamu harus tanggung jawab!" bentaknya disela tangis. "Kamu salah sasaran!"

"Kamu jangan sembarangan kalau ngomong! Santetku tidak pernah salah!"

"Tapi buktinya! Yang mati bukan Surya!"

"Hei tolol, itu artinya Surya bukan anak kandungmu! Dia bukan darah daging!"

"Kau tuduh istriku selingkuh?"

"Itu sudah pasti. Darah takkan pernah dusta. Paham! Silakan dites DNA jika tidak percaya!"

"Tapi kenapa yang kena anakku yang lain?"

"Karena ketika santetku tidak menemukan alamat yang dituju, maka dia mencari alamat yang sama berdasarkan tipe darahmu. Bukankah sejak awal aku sudah ingatkan akan segala risikonya? Yang jelas darah takkan dusta!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun