Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (17): Jaman Keemasan

26 Juni 2024   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2024   05:00 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Pada tahun 1350, Ratu Tribhuana dengan suka rela mengundurkan diri (lengser keprabon mandeg pandito ratu). Ia digantikan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Raja muda yang masih setahun lagi baru berusia tujuh belas tahun itu bergelar Paduka Bhatara Sri Rajasanagara Dyah Sri Hayam Wuruk. Raja belia itu memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja. Adiknya itu memerintah di Pajang, sehinggah bergelar Bhre Pajang. Di samping itu Hayam Wuruk juga memiliki adik angkat yang bernama Indudewi. Ia memerintah di Lasem, sehingga bergelar Bhre Lasem. Indudewi sebetulnya adalah putri Rajadewi alias Dyah Wiyat, adik Tribhuana.

Kebijakan politik Majapahit di bawah Prabu Hayam Wuruk sedikit berubah, lebih berorientasi ke stabilitas internal. Selain itu ada tugas kerajaan penting lain, yaitu mencari calon permaisuri, demi mendapatkan calon pewaris tahta berikutnya.

Hayam Wuruk menempatkan prioritas kebijakan pengelolaan politik dalam negeri, khususnya pencegahan timbulnya pemberontakan yang mungkin terjadi di wilayah-wilayah perluasan. Dengan demikian politik ekspansionis sedikit mengendur.

Mahapati Gajah Mada pun fokus menata segala urusan di dalam negeri. Ia menyusun sebuah kitab undang-undang, dengan lebih dulu memerintahkan sebuah tim untuk mengumpulkan kitab-kitab kuno, lalu mengambil intisari dari semua itu. Surat-surat piagam dan perjanjian yang sudah tua dan rusak diperbarui.

Pengadilan disusun dengan sedemikian rapi dan teliti, demi tercapainya keadilan bagi masyarakat. Dalam memutuskan perkara dipakai hukum adat yang berlaku di daerah di mana pelanggaran tersebut terjadi. Hakim mendapat kedudukan tinggi dan langsung di bawah kendali Sang Prabu. Gajah Mada yang juga menjabat sebagai Rajaksa memastikan pelaksanaan undang-undang raja, Sthiti Narendran, berjalan dengan baik.

Dua puluh tahun sejak Gajah Mada mengikrarkan sumpah Palapanya yang terkenal, Majapahit telah menjelma menjadi kerajaan besar yang menguasai seluruh Nusantara sekaligus perairannya.

Dengan konsep persatuan di bawah pengayoman Majapahit, dengan semboyan Bhinneka tunggal ika, berbuah pada meredanya peperangan. Pertumpahan darah antar sesama kerajaan di Nusantara, yang pada awalnya selalu saling mengintai, saling menyerang dan berupaya saling menguasai, kini sangat jarang terjadi. Korban dan kerugian akibat peperangan pun bisa dihindari.

Pada masa pemerintahan yang damai dan sejahtera itulah, kitab Kakawin Sutasoma dirangkai oleh Mpu Tantular. Sutasoma begitu terkenal karena memuat semboyan sakral yang terkenal. Bunyi lengkapnya adalah Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, berarti meskipun rakyat Nusantara beraneka ragam suku, ras, agama, bahasa dan adat istiadat, namun semuanya setara dan sejajar, yakni rakyat Nusantara. Berbeda-beda tetapi satu, tidak ada kebenaran bermuka dua.

Dengan terwujudnya persatuan, kerajaan-kerajaan di seluruh wilayah Nusantara bisa menjadi lebih menekankan perhatiannya kepada kerja sama dan gotong royong. Mengutamakan peningkatan kesejahteraan dan kemajuannya secara bersama-sama. Selain itu juga menjadi lebih kuat bilamana datang ancaman penjajah asing. Hubungan kerjasama ekonomi dan seni budaya yang saling menguntungkan terjalin dengan sangat baik.

Negarakretagama menyebutkan, bahwa kemasyuran Majapahit telah menarik banyak pedagang asing untuk datang. Di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, Tiongkok, Arab dan Persia. Pajak khusus dikenakan pada orang asing, terutama yang menetap dalam jangka waktu lama dan melakukan pekerjaan khusus selain perdagangan internasional. Misalnya para pelajar yang hendak mencari ilmu. Majapahit memiliki pejabat khusus untuk mengurusi semua itu.

Wilayah Nusantara yang sebagian besar terdiri dari perairan, mendorong pemerintah memperkuat armada laut. Di bawah kepemimpinan Laksamana Nala, armada laut berhasil menjadikan Majapahit sebagai kerajaan maritim yang paling perkasa dan disegani di Asia.

Armada laut yang paling modern di kala itu, yang berpatroli di dalam wilayah laut Nusantara demi melindungi kapal-kapal dagang yang melintas. Itu juga sekaligus membentengi kemungkinan serbuan dari bangsa asing.

Di masa kejayaan itu, ada sisi yang jarang sekali terungkap, yakni mengenai ramuan jampi-jampi. Jampi memiliki arti jamu dan juga bisa berarti mantra atau doa. Berbagai ramuan jampi sangat populer kemanjurannya hingga sampai diekspor ke mancanegara.

Majapahit memang terkenal memiliki banyak tabib, misalnya Ra Tancah, yang menjadi kepala tabib istana di masa Prabu Wijaya. Ra Tanca memiliki padepokan pertabiban di lingkungan kaum bangsawan.

Berbagai tanaman rempah-rempah yang berkhasiat untuk menjaga daya tahan tubuh dan meningkatkan imunitas memang telah lama di budidayakan di rumah-rumah penduduk.

Sejarah mencatat bahwa jampi rempah-rempah pernah menempati posisi penting yang mengharumkan nama Nusantara. Begitu pentingnya rempah-rempah, sehingga ia menjadi komoditas utama yang ikut menentukan kondisi politik, ekonomi, serta sosial budaya dalam skala global. Nusantara menjadi pemasok utama dalam perdagangan dunia, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara.

Jalur perdagangan rempah memacuh berkembangnya beragam pengetahuan dan kebudayaan, yang bukan saja kelak menjadi warisan budaya Nusantara, namun juga menjadi warisan budaya bagi dunia. Membicarakan jampi bukan sekedar soal perilaku hidup sehat, namun lebih dari itu, yakni memori kolektif jampi-jampi yang mampu menumbuhkan kebanggaan dan rasa nasionalisme, serta memberikan pemaknaan penting tentang arti berbangsa.

Seiring dengan itu, pembudidayaan dan pengembangan rempah-rempah dan jampi dilakukan secara optimal, mencakup penggunaannya dalam industri kesehatan, kecantikan, kuliner, dan lainnya. Dengan demikian budaya jampi bisa meresap dalam benak masyarakat dan terlestarikan dengan baik dari generasi ke generasi.

Tabib dan jampi juga tercantum dalam berbagai prasasti, membuktikan bahwa pada masa itu masyarakat sudah sangat peduli dengan kesehatan.

Misalnya, Prasasti Madhawapura. Kutipan dari bagian prasasti di sisi muka adalah "...Angawari (pembuat kuali), Acaraki (peracik dan penjual jamu), ...". Acaraki berasal dari bahasa sanskerta yang berarti orang yang meracik bahan-bahan dari alam untuk dijadikan jamu. Semnetara penjual jamu disebut Craki.

Kemudian ada Prasasti Bendosari. Prasasti yang juga disebut prasasti Manah i Manuk alias prasasti Jayasong. Prasasti berangka tahun 1360 Masehi. Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah "...kepada orang-orang tua dalam pertapaan di Pakandangan, sebidang sawah 16 lirih (satuan ukuran luas tanah), kepada lingkaran perdikan di Kuku 2 lirih, kepada Janggan (tabib desa) ..."

Berikutnya  Prasasti Balawi, yang berangka tahun 1305 Masehi. Kutipan dari bagian prasasti tersebut adalah "..., Juru gusali (pandai besi), tuha nambi (tukang obat), tuha dagang (ketua pedagang), ... Kdi (dukun wanita), Walyan (dukun laki-laki), ..."

Selanjutnya Prasasti Biluluk, yang berangka tahun 1350 Masehi dan 1389 Masehi. Kutipan dari bagian prasasti pada sisi muka adalah "..., selanjutnya segala penjaga tanah perdikan yang menjalankan usaha pekerjaan, semuanya masing-masing satu, mereka itu dibebaskan dari segala macam beban bea dan cukai, yaitu (yang berkaitan dengan) padadah (dukun pemijatan), pawiwaha (perkawinan), ...".

Selain yang tercantum di dalam prasasti, ada juga kitab-kitab yang memuat mengenai ramuan jampi, dan bahkan menuliskan resep-resep ramuan tersebut secara detil.

Kerajaan Majapahit menjadi besar karena ditunjang oleh masyarakatnya yang sehat, dan masyarakat yang sehat tidak terlepas dari ramuan makanan dan minuman yang menyehatkan pula.

***

Di kala semua kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada sebuah kerajaan yang sangat dekat, bahkan seperti di pekarangan rumah sendiri, belum mau menyatakan tunduk. Kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh, yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis).

Kerajaan Sunda Galuh sebetulnya merupakan dua kerajaan yang bersatu, yakni kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh atau Kandiawan. Berdasarkan prasati dan naskah kuno, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Sunda berada di daerah Bogor, sedangkan ibu kota kerajaan Galuh berada di Ciamis. Kedua kerajaan tersebut dulunya merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara.

Sebagai sebuah kerajaan adidaya pada masa itu, yang sudah sangat kuat dan makmur, Majapahit dapat saja dengan mudah menundukkan Kerajaan Sunda Galuh. Itu mudah dicapai jika mau, namun hal itu tidak bisa dilakukan karena mempertimbangkan bahwa leluhur kerajaan Sunda masih memiliki kekerabatan dekat dengan pendiri Majapahit, Dyah Wijaya alias Prabu Kertarajasa Jayawardhana.

Menurut Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara, (disusun oleh Kesultanan Cirebon dan termasuk kedalam Naskah Wangsakerta), Dyah Wijaya adalah putra pasangan Rakyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal. Ayahnya itu adalah putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan Sunda Galuh.

Rakyan Jayadarma menikah dengan putri Mahisa Campaka dari Kerajaan Singhasari, dan dari pernikahan itu lahirlah Wijaya. Dengan demikian, Wijaya merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa.

Suatu ketika, akibat diracun oleh musuhnya, Rakyan Jayadarma tewas. Dyah Lembu Tal kemudian pulang ke Singhasari membawa serta Wijaya yang masih kecil. Seandainya ayahnya tidak tewas, Wijaya atau saat itu dikenal dengan nama Jaka Susuruh, merupakan calon pewaris tahta Kerajaan Sunda Galuh. Ia seharusnya menjadi raja ke 27.

Kerajaan Sunda Galuh berada di sebelah timur, berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang Sungai Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang Sungai Citarum. Ketika itu Sunda Galuh dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Lingga Buana.

Visi Mahapatih Gajah Mada untuk secepat mungkin menyatukan Nusantara terganjal dengan keberadaan Kerajaan Sunda Galuh. Niat Gajah Mada untuk menaklukannya dan menjadikannya sebagai wilayah bagian kekuasaan Majapahit, bertentangan dengan pandangan kalangan istana. Khususnya Ibu Suri Tribhuana Tunggadewi dan Dyah Wiyat, yang berpendapat bahwa kerajaan Sunda masih merupakan kerabat sendiri. Sementara sikap prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat jelas lebih mendukung kedua ibu suri.

Mahapatih Gajah Mada tak memiliki kuasa selain harus mematuhi kehendak raja. Seiring dengan perjalanan waktu, Hayam Wuruk telah beranjak dewasa dan tibalah saat baginya untuk mencari calon permaisuri yang akan mendampinginya.

Gajah Mada tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang untuk kembali mewujudkan ikrarnya yang sempat tertunda, yakni menundukan Sunda Galuh. Maka ia memerintahkan beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga, untuk kemudian diperlihatkan kepada sang prabu.

Gajah Mada menyusun strategi, yakni menugaskan juru gambar terbaik ke Sunda Galah. Tugas pelukis tersebut harus menggambar sang putri secantik dan sesempurna mungkin, sehingga bisa membuat raja nantinya jatuh cinta setengah mati. Sementara untuk juru gambar yang ditugaskan ke kerajaan lain, jangan sampai dibuat secantik kenyataannya. Dengan begitu, diharapkan sang prabu akan menjatuhkan pilihannya kepada putri dari Kerajaan Sunda Galuh, yang bernama Dyah Pitaloka.

Sudah beberapa juru gambar yang kembali ke istana dengan membawa hasil lukisannya, namun Prabu Hayam Wuruk masih belum berkenan menjatuhkan pilihan. Belum ada satu pun putri yang beruntung. Sampai tibalah saatnya juru gambar yang ditugaskan ke kerajaan Sunda Galuh menunjukkan hasil gambarnya.

Gajah Mada dan si juru gambar menanti reaksi raja dengan perasaan cemas. Mereka memperhatikan dengan seksama setiap perubahan wajah raja.

"Siapa nama putri ini?" tanya Raja Hayam Wuruk setelah mengamati cukup lama. "Putri dari kerajaan mana?"

"Putri Pitaloka, dari Sunda Galuh, Baginda!" jawab Gajah Mada dengan menyembunyikan nada riang, tapi tak bisa menutupi wajahnya yang jelas berseri-seri.

"Siapa namanya?"

"Putri Dyah Pitaloka Citraresmi. Hamba mendengar kabar bahwa kecantikan putri itu memang sudah tersohor ke seluruh pelosok negeri!"

Prabu Hayam Wuruk berpaling kepada ibu suri, berdiskusi sesaat, dan ternyata raja yang terpesona dengan kecantikan putri Pitaloka berkenan menjadikannya sebagai permaisuri.

Tidak lama berselang ibu suri pun bertitah, "Aku perintahkan Patih Gajah Mada untuk mengirimkan utusan dalam rangka meminang putri Sunda Galuh!"

Semua berjalan sesuai rencana. Gajah Mada melihat adanya peluang emas untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam urusan tersebut. Ia menyusupkan beberapa orang kepercayaan, untuk pergi bersama-sama tim ke kerajaan Sunda Galuh, demi menyampaikan maksud agar kerajaan tersebut bersedia menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.

Maka diberangkatkan rombongan yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri, sekaligus membicarakan mengenai di mana dan kapan acara pesta perkawinan tersebut akan dilangsungkan.

Antara kedua belah pihak disepakati bahwa Raja Lingga Buana, permaisuri, dan beberapa bangsawan istana akan mengantarkan Putri Dyah Pitaloka ke Majapahit. Pesta pernikahan akan dilangsungkan di pusat ibu kota Trowulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun