Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (7): Barisan Sakit Hati

11 Juni 2024   21:18 Diperbarui: 12 Juni 2024   07:30 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Bibit-bibit pemberontakan timbul diakibatkan oleh karena Raden Wijaya, yang bergelar Raja Kertarajasa Jayawardhana, telah banyak membuat janji kepada orang-orang yang telah berjasa terhadap Majapahit, namun sayanganya janji itu tidak semuanya mampu ia penuhi.

Yang pertama kali timbul adalah pemberontakan Ranggalawe, yang terjadi hanya beberapa bulan setelah Kertarajasa naik tahta.

Pengangkatan Nambi sebagai Mahapatih membuat Ranggalawe tidak berkenan, karena dia lebih menginginkan Lembu Sora, yang merupakan paman dari pihak ibu, yang menurutnya jauh lebih berjasa.

Halayudha yang sangat licik dan dipenuhi kedengkian melihat peluang untuk menyulut kemarahan Ranggalawe. Halayudha, yang masih kerabat istana itu memang cendikiawan yang ambisius tetapi tidak memiliki kemampuan.

"Bagi saya, anda yang lebih pantas menjadi patih, karena jasa anda bagi Majapahit jauh lebih besar dibandingkan Nambi!" hasut Halayudha begitu meyakinkan.

Ranggalawe tidak begitu menghiraukannya. "Saya wajib menghormati apa pun yang sudah menjadi keputusan raja!"

"Saya paham karena anda memang abdi negara yang sangat patuh. Saya mendengar, betapa anda berjuang jauh lebih hebat dalam perang melawan pasukan Mongol. Anda juga berjasa besar dalam membuka hutan Tarik, dan juga memnyumbangkan kuda-kuda perang yang perkasa!"

Ksatria pemberani itu mulai goyah. Di dalam hati ia sesungguhnya memang merasakan itu.

"Majapahit sudah berhutang begitu banyak kepada anda dan itu tidak ternilai. Prabu Wijaya mengangkat Nambi sebagai patih hanya karena Nambi yang licik dan pandai menjilat. Ia memanfaatkan kedekatannya dengan Prabu! Mohon maaf, saya tahu Nambi adalah kakak anda, tapi saya tidak mampu menyembunyikan kebencian saya kepada seorang penjilat!"

Beberapa menit kemudian Ranggalawe yang termakan hasutan itu sempat mengamuk di pelataran istana, namun ia berhasil ditenangkan oleh Lembu Sora, dan disarankan untuk pulang ke Tuban agar menenangkan diri.

Halayudha ganti menghasut Nambi. Ia mendatangi patih itu dan melaporkan bahwa Ranggalawe di Tuban akan menyusun rencana pemberontakan. "Maaf, Tuan, saya berkewajiban untuk menyampaikan ini. Ranggalawe berkoar-koar di depan saya bahwa dia tidak akan berhenti melakukan perlawanan sampai anda turun dari jabatan! Saya khawatir ia sedang menyiapkan pemberontakan!"

Nambi terhasut. Maka atas izin raja, ia segera berangkat memimpin pasukan Majapahit, didampingi Lembu Sora dan Mahisa Anabrang, untuk memberi peringatan kepada Ranggalawe.

Mendengar kabar datangnya pasukan Majapahit, Ranggalawe pun segera menyiapkan pasukannya. Ia siap menghadang pasukan Majapahit, dan mereka bertemu di dekat Sungai Tambak Beras, Jombang.

Bentrokan hebat pun terjadi. Ranggalawe bertanding menghadapi Mahisa Anabrang, sampai akhirnya pendekar muda itu berhasil mendesak Anabrang, seniornya yang kaya pengalaman bertempur. Ranggalawe unggul di sisi tenaga yang lebih besar.

"Aku tidak akan pernah mundur sejengkal pun untuk menumpas para pengkhianat!" seru Anabrang di tengah gempuran pedang Ranggalawe, "Pengkhianat wajib dibasmi!"

Ranggalawe menjawab hinaan itu dengan memperhebat serangan. Ia tidak tertarik meladeni ucapan lawannya yang jelas semakin kewalahan. Ia tahu hinaan itu hanya untuk memecah konsentrasinya.

Ketika tidak ada ruang lagi untuk menghindar, Anabrang akhirnya nekad terjun ke sungai. Ia berniat berenang ke sebrang untuk memulihkan tenaganya yang hampir terkuras habis. Ranggalawe menyusul terjun ke sungai, tak memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Mereka yang sebetulnya memiliki kesaktian seimbang itu kini bertempur di dalam sungai.

Biarpun senjata di tangan Ranggalawe sangat berbahaya dan kemampuan silatnya hebat, tapi Mahisa Anabrang yang lebih pandai berenang kini berhasil membalikan keadaan. Pada akhirnya Anabrang berhasil menghabisi Ranggalawe secara mengenaskan.

Lembu Sora, yang pada dasarnya adalah orang yang berjiwa besar dan mempunyai ketabahan luar biasa, sangat terpukul menyaksikan kematian Ranggalawe di depan matanya. Ia sebetulnya yakin mampu mengendalikan Ranggalawe, dan sangat yakin bisa menghindari terjadinya perang saudara. Akan tetapi, Anabrang yang memang lebih berpengalaman di medan perang, lebih memilih jalan kekerasan.

"Anda tidak perlu sampai membunuhnya!" ucap Lembu Sora penuh nada kecewa. "Saya yakin bisa meredakan emosinya!"

Balas Mahisa Anabrang, "Para pengkhianat pantas dihukum mati. Jiwa pemberontak tidak boleh dibiarkan hidup!"

"Jaga mulutmu! Dia bukan pemberontak!" bentak Lembu Sora.

"Sebaiknya anda yang harus jaga mulut. Apakah anda berpihak kepada seorang pemberontak?"

"Sekali lagi jangan sebut dia pemberontak!"

"Terserah!" tandas Anabrang sambil membalikan badan menyingkir.

Lembu Sora yang merasa tidak dihargai sedikit pun itu menjadi murka, dan akhirnya memilih menghujamkan tombak ke punggung Mahisa Anabrang dari belakang. Tanpa ampun tombak itu tembus hingga separuh. Panglima yang banyak makan asam garam peperangan itu pun menghembuskan nafas terakhir di tempat.

Pemberotakan itu mampu ditumpas dengan sukses, meskipun meninggalkan bara api yang terus membara. Orang-orang pendukung setia Ranggalawe di kemudian hari bergabung dengan barisan orang-orang terluka hati, yang kelak melahirkan pemberontakan-pemberontakan kecil yang tidak terhitung banyak jumlahnya.

Arya Wiraraja juga bersedih dan sangat marah atas kematian anak kesayangannya, Ranggalawe. Ia kemudian mengundurkan diri sebagai Pasungguan dan menuntut wilayah sebagaimana tertulis dalam perjanjian Sumenep. Permintaannya akhirnya dikabulkan raja, dan dia menjadi raja di Kerajaan Lamajang Tigang Juru, (Lumajang).

Dalam dongeng rakyat Lumajang dia disebut sebagai "Prabu Menak Koncar I", yang menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singhasari ini kemudian kita mengenal adanya dua budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, di mana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai Budaya Mataraman. Sedangkan bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan Budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura), yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Aria Wiraraja) ini berkuasa dari tahun 1293 - 1316 Masehi.

Arya Wiraraja kemudian membangun ibu kota berbenteng yang kemudian dikenal dengan nama Arnon atau Kuto Renon yang dalam bahasa Jawa kuno adalah "Kuto" artinya "Kota Berbenteng" dan "Renon" yang artinya "Marah". Jadi Kutorenon sendiri berarti sebuah ibu kota berbenteng yang dibangun karena marah. Akibat kejadian ini Nambi pun tidak diterima oleh Arya Wiraraja sampai masa sakitnya pada tahun 1316 Masehi.

Sementara itu keluarga Mahisa Anabrang dihasut oleh Halayudha untuk segera menuntut hukuman pengadilan terhadap Sora. Halayudha juga menyampaikan kepada Prabu Wijaya bahwa para bangsawan merasa resah karena raja seolah-olah menutup mata terhadap kesalahan Sora.

Wijaya pun dengan berat hati akhirnya memberhentikan Sora dari jabatannya dan memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang ke Tulembang.

Halayudha meminta agar ditugaskan untuk menyampaikan surat keputusan raja tersebut. Di depan Lembu Sora ia berkata, "Prabu Wijaya sudah berbuat tidak adil terhadap anda! Saya yakin keputusan ini karena hasutan seseorang! Hasutan ini juga yang mengakibatkan gugurnya sahabat terbaik saya, Ranggalawe!"

Kecewa atas keputusan raja, Lembu Sora berniat menemui raja dan meminta hukuman mati daripada diusir meninggalkan tanah airnya. "Sampaikan kepada raja, besok pagi saya akan menghadap beliau untuk menyatakan keberatan!"

Halayudha lebih dulu menghadap Nambi dengan mengatakan bahwa Sora yang marah atas keputusan raja akan membuat kekacauan. Halayudha juga menyampaikannya kepada keluarga dan para pendukung Mahisa Anabrang mengenai ancaman Lembu Sora.

Setelah mendapat ijin dari raja, Nambi pun mempersiapkan pasukan untuk menghadapi Sora yang datang bersama dua pengawalnya, yaitu Gajah Biru dan Juru Demung.

"Apa dia sudah gila?" kata Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang, merasa geram. "Kamilah yang lebih berhak untuk menuntut keadilan!"

"Ya anda benar. Dia termasuk pengkhianat yang harus dihukum mati!" bisik Halayudha, "Tapi kita harus ekstra hati-hati. Dia terkenal memiliki Ajian Lembu Sekilan tingkat tinggi!"

Di saat mentari pagi baru saja mengintip, terjadilah perang yang sangat tidak seimbang di halaman istana, di mana Lembu Sora dan kedua pengawalnya itu akhirnya tewas dikeroyok puluhan prajurit pengawal istana. Majapahit kembali dirundung duka nestapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun