Balas Mahisa Anabrang, "Para pengkhianat pantas dihukum mati. Jiwa pemberontak tidak boleh dibiarkan hidup!"
"Jaga mulutmu! Dia bukan pemberontak!" bentak Lembu Sora.
"Sebaiknya anda yang harus jaga mulut. Apakah anda berpihak kepada seorang pemberontak?"
"Sekali lagi jangan sebut dia pemberontak!"
"Terserah!" tandas Anabrang sambil membalikan badan menyingkir.
Lembu Sora yang merasa tidak dihargai sedikit pun itu menjadi murka, dan akhirnya memilih menghujamkan tombak ke punggung Mahisa Anabrang dari belakang. Tanpa ampun tombak itu tembus hingga separuh. Panglima yang banyak makan asam garam peperangan itu pun menghembuskan nafas terakhir di tempat.
Pemberotakan itu mampu ditumpas dengan sukses, meskipun meninggalkan bara api yang terus membara. Orang-orang pendukung setia Ranggalawe di kemudian hari bergabung dengan barisan orang-orang terluka hati, yang kelak melahirkan pemberontakan-pemberontakan kecil yang tidak terhitung banyak jumlahnya.
Arya Wiraraja juga bersedih dan sangat marah atas kematian anak kesayangannya, Ranggalawe. Ia kemudian mengundurkan diri sebagai Pasungguan dan menuntut wilayah sebagaimana tertulis dalam perjanjian Sumenep. Permintaannya akhirnya dikabulkan raja, dan dia menjadi raja di Kerajaan Lamajang Tigang Juru, (Lumajang).
Dalam dongeng rakyat Lumajang dia disebut sebagai "Prabu Menak Koncar I", yang menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singhasari ini kemudian kita mengenal adanya dua budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, di mana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai Budaya Mataraman. Sedangkan bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan Budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura), yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Aria Wiraraja) ini berkuasa dari tahun 1293 - 1316 Masehi.
Arya Wiraraja kemudian membangun ibu kota berbenteng yang kemudian dikenal dengan nama Arnon atau Kuto Renon yang dalam bahasa Jawa kuno adalah "Kuto" artinya "Kota Berbenteng" dan "Renon" yang artinya "Marah". Jadi Kutorenon sendiri berarti sebuah ibu kota berbenteng yang dibangun karena marah. Akibat kejadian ini Nambi pun tidak diterima oleh Arya Wiraraja sampai masa sakitnya pada tahun 1316 Masehi.
Sementara itu keluarga Mahisa Anabrang dihasut oleh Halayudha untuk segera menuntut hukuman pengadilan terhadap Sora. Halayudha juga menyampaikan kepada Prabu Wijaya bahwa para bangsawan merasa resah karena raja seolah-olah menutup mata terhadap kesalahan Sora.