Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (6): Pindah Pusat Pemerintahan

8 Juni 2024   15:52 Diperbarui: 8 Juni 2024   16:34 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

"Jangan pernah sampai memasuki kawasan hutan Trowulan lewat petang hari!" pesan seorang kakek tua kepada Ki Gumilar, "Jika tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa kalian!"

Saat itu Ki Gumilar bersama sisa pasukan yang berjumlah 20 orang, sedang berusaha meloloskan diri dari pengejaran pasukan Gelang-gelang. Hal yang paling menyakitkan adalah mengetahui bahwa Ki Kecek, komandan pasukan di bawah pimpinan Raden Adharaja yang merupakan saudara ipar Raden Wijaya, ternyata telah berkhianat. Pasukan elit itu bergabung dengan pasukan Ki Guyang, salah satu andalan Sri Jayakatwang.

Ki Gumelar masih teringat pesan agar tidak memasuki hutan Trowulan lewat petang, tapi ia dan pasukannya harus memilih menyelamatkan diri dengan masuk hutan yang masih lebat itu. Tidak ada pilihan lain.

Kakek tua yang merupakan sesepuh kampung pinggiran hutan, berpesan lagi, "Tapi jika Kisanak nekad mau masuk, usahakan jangan pernah menyalahkan api! Semoga kalian selamat!"

Rupanya kakek itu tidak tahu jika ia sedang berhadapan dengan sisa-sisa pasukan khusus Singhasari.

"Kami biasa menjajaki pegunungan dan hutan!" timpal Warih, "Pada saat menjelang malam, kawasan seperti itu selalu dikurung kabut. Tentu saja kami sangat tahu itu!"

Ki Gumilar menendang kaki Warih, sebagai isyarat agar wakilnya itu menutup mulut. "Maaf Ki Sepuh, apa yang akan terjadi jika kami menyalakan api?"

"Konon, penunggu hutan ini adalah sosok dewi berwujud perempuan berbadan ular naga!" jawab sesepuh itu sedikit was-was, "Penampakannya kepada beberapa pemburu sering diawali dengan munculnya gumpalan kabut. Nah dia akan mencelakakan siapa pun yang menyalakan api di dalam hutan."

Ki Gumilar tidak begitu peduli dengan mitos tersebut, betapa pun cerita itu telah begitu melekat dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. "Terima kasih sudah bersedia mengingatkan kami!"

"Saya merasa wajib untuk mengingatkan setiap orang yang hendak memasuki hutan ini, karena jika melanggar, jarang ada yang bisa keluar dengan selamat!" pungkas kakek sesepuh kampung.

Walaupun demikian, tentu saja selentingan mitos yang pernah beberapa kali ia dengar itu sukses membuatnya gemetar. Tapi jangan sampai diketahui anak buahnya. "Kita terpaksa harus masuk hutan. Tidak ada pilihan lain!" perintahnya kepada pasukan.

Saat itu menjelang petang. Sepanjang pelarian, badan terasa begitu lelah dan tidak berdaya. Satu-satunya yang paling dibutuhkan hanya bisa istirahat dengan tenang. Tanpa ada yang berani membuat penerangan, apalagi api unggun, mereka mulai mempersiapkan tempat istirahat mereka masing-masing. Gelap dan dingin.

Tidak berselang lama, tiba-tiba terdengar samar-samar suara gemerisik di kejauhan. Seperti jejak langkah puluhan pasang kaki yang kian mendekat. Terdengar pula ringkik kuda.

Pihak musuh rupanya belum menghentikan niat untuk menghabisi lawan. Ki Gumelar kenal betul siapa Ki Kecek, yang tidak sedikit pun mau memberi kesempatan bagi lawan yang terdesak untuk bisa bernapas panjang. Buktinya, di dalam hutan di saat menjelang malam, hasrat untuk menghabisi lawan masih begitu berkobar-kobar.

Tampak di kejauhan obor-obor pasukan musuh mulai dinyalakan. Ki Gumelar memberi isyarat kepada pasukannya untuk siap bertarung. Rasanya mereka sudah pasti akan mati saat itu.

"Kita kalah jumlah, tapi sebelum mati, mereka harus menebusnya dengan harga yang setimpal!" bisik Ki Gumelar memberi semangat.

Di saat perang mati-matian akan berlangsung, mendadak muncul kabut tebal mengelilingi kawasan itu. Tanpa diduga, kejadian misterius mulai terjadi. Satu persatu anak buah Ki Kecek menghilang, tanpa meninggalkan jejak sama sekali, seolah lenyap di telan bumi.

Ketika jumlah pembawa obor yang hilang semakin banyak, dan secara gaib, kecurigaan mulai mengarah kepada tokoh mitos yang disebut Dewi Ular penunggu hutan. Siapa lagi.

Sehingga pasukan Ki Kecek memutuskan untuk mundur dan secepatnya keluar dari kawasan hutan. Hutan lebat yang bahkan di siang hari beberapa bagian tak tertembus sinar matahari itu semakin terkenal sangat angker.

Kini Ki Gumilar menuturkan pengalamannya itu di hadapan tim yang akan membuka kawasan hutan Trowulan, yang rencana akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan Majapahit.

"Apa sebetulnya yang terjadi saat itu, Ki?" tanya Wongso penasaran. Dia seorang arsitek yang akan bertugas merancang tata kota.

"Aku sangat merasakan adanya sosok lain yang hadir!" jawab Ki Gumelar, "Sosok yang memiliki energi sangat besar. Tapi terus terang aku tidak mendengar apa-apa. Hampir semua pasukan musuh yang membawa obor menghilang begitu saja!"

"Anehnya, kenapa hanya pasukan musuh yang diserang mahkluk gaib itu?" tanya Gito.

"Ya karena mereka menyalakan api!" sahut Wongso menyimpulkan, "Betul begitu kan?"

"Atau di samping itu karena mereka memiliki niat jahat," imbuh Ki Gumelar, "Orang yang hatinya diliputi hawa nafsu tidak akan selamat memasuki kawasan hutan ini!"

Dalam pandangan batin, yang sengaja tidak diceritakannya kepada orang-orang, Ki Gumelar saat itu memusatkan pikiran, membaca mantra-mantra suci sambil tatapan matanya terus tertuju ke depan, mengikuti cahaya obor-obor yang mengepung.

Angin dingin menggiring kabut yang muncul, terasa kontras di tengah udara malam itu. Tubuhnya sedikit meremang, namun berusaha mengalihkan dengan melanjutkan bacaan mantra-mantra.

Tiba-tiba, Ki Gumilar melihat sosok perempuan berbadan ular raksasa muncul, menjambaki rambut para pemegang obor. Gigi taringnya yang bengkok sudah bersiap untuk menghisap darah mangsanya, setelah itu melemparkan tubuh tak bernyawa itu jauh ke sebuah jurang.

Warga perkampungan kecil di pinggir kawasan hutan, yang jauh dari pusat kota, menjalin hubungan erat dengan penunggu hutan itu.

Keesokan harinya, Ki Gumelar dan pasukannya memutuskan untuk menetap di kampung kecil, guna memulai kehidupan baru. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan baik.

Hingga akhirnya pasukan itu mendengar bahwa Raden Wijaya masih hidup. Raden Wijaya masih bersembunyi di daerah Kudadu, lereng gunung Butak. Di antara pasukan memang masih saling menjalin informasi, secara rahasia.

Ki Gumelar kemudian berniat untuk kembali bergabung dengan pasukan Raden Wijaya, tapi di saat bersamaan ternyata Raden Wijaya sedang pergi untuk mencari suaka ke Arya Wiraraja di Madura.

***

Setelah melewati berbagai musyawarah, maka dipilihlah wilayah hutan angker di daerah Mojokerto, yang nantinya sebagai pusat pemerintahan. Sekitar 30 kilometer ke arah barat, sebuah kawasan hutan pedalaman yang selain memiliki sumber air yang bersih, juga dekat dengan Sungai Brantas. Selama ini Sungai Brantas merupakan jalur strategis sejak era Singhasari.

Barangkali dari cerita pengalaman Ki Gumelar, maka para petinggi Majapahit justru tertarik untuk membangun pusat pemerintahan di situ.

"Sampai sekarang mitos Dewi Naga yang muncul bersama kabut itu masih dipercaya sebagaian masyarakat, terutama para pemburu, hal itu karena banyak di antara mereka yang pernah melihat langsung penampakannya!"

"Kabut misterius itu bisa menjadi benteng gaib kita dari serangan musuh!" timpal seorang penasehat raja.

"Yang terpenting, lahan yang luas dan persediaan air yang melimpah adalah syarat ideal untuk menjadi pusat pemerintahan!" tutur Raden Wijaya, "Dan untuk membangun istana yang megah!"

Pembukaan hutan dilakukan. Peta rancangan bangunan-bangunan penting dan hunian kawasan elit akan membujur dari utara ke selatan. Di tengah kota terdapat sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering, yang kemudian dijadikan kolam. Kolam itu diperluas, berikut kanal-kanal, yang saling memotong dan melintang, tertata begitu rapi di atas areal enam hektar lebih.

***

Beberapa pekan kemudian, tentara Singasari yang ditugaskan dalam Ekspedisi Pamalayu, sangat terkejut ketika kembali ke Singasari, mendapati hanya puing-puing kerajaan yang berserakan.

Bala tantara di bawah pimpinan Panglima Mahisa Anabrang, dengan segera menyesuaikan diri. Ia dan seluruh prajurit Singasari akhirnya menyatakan diri tunduk dan bergabung menjadi tentara Majapahit.

Ekspedisi Pamalayu memboyong dua putri dari kerajaan Dharmasraya, putri Srimat Tribuwanaraja. Kedua putri itu bernama Dara Jingga dan adiknya Dara Petak. Menurut rencana semula mereka akan dipersembahkan kepada Raja Singhasari, namun kemudian dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Prabu Wijaya mengawini Dara Petak, yang dijadikan permaisuri dan bergelar Indera Isywari.

Sebelumnya Wijaya telah menikah dengan dua orang putri Raja Singhasari, yaitu Tribuaneswari yang menjadi permaisuri dan Gayatri yang menjadi Rajapatni. Akan tetapi Tribuaneswari tidak memiliki seorang anak pun, sementara Gayatri memiliki dua anak perempuan, sehingga dari Dara Petaklah, Sang Prabu kelak diharapkan akan memiliki putra yang nantinya menjadi pewaris singgasana kerajaan.

Harapan itu terwujud. Dara Petak melahirkan seorang putra yang diberi nama Jayanegara. Pada tahun 1295 Masehi, Pangeran Jayanegara yang baru menginjak usia remaja sudah dinobatkan menjadi penguasa Kediri dan bergelar Sri Jayanegara.

Suasana negeri perlahan menjadi lebih baik. Wijaya dan Gayatri yang cerdas bahu membahu membangun Kerajaan. Perhatian mereka tertuju pada kesejahteraan rakyat, memulihkan hubungan kebudayaan dan hubungan kerja sama ekonomi dengan negeri lain. Gayatri yang bijaksana, menjadi penasihat dan pendamping raja yang senantiasa memberikan pandangan-pandangan cemerlang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun