"Apa sebetulnya yang terjadi saat itu, Ki?" tanya Wongso penasaran. Dia seorang arsitek yang akan bertugas merancang tata kota.
"Aku sangat merasakan adanya sosok lain yang hadir!" jawab Ki Gumelar, "Sosok yang memiliki energi sangat besar. Tapi terus terang aku tidak mendengar apa-apa. Hampir semua pasukan musuh yang membawa obor menghilang begitu saja!"
"Anehnya, kenapa hanya pasukan musuh yang diserang mahkluk gaib itu?" tanya Gito.
"Ya karena mereka menyalakan api!" sahut Wongso menyimpulkan, "Betul begitu kan?"
"Atau di samping itu karena mereka memiliki niat jahat," imbuh Ki Gumelar, "Orang yang hatinya diliputi hawa nafsu tidak akan selamat memasuki kawasan hutan ini!"
Dalam pandangan batin, yang sengaja tidak diceritakannya kepada orang-orang, Ki Gumelar saat itu memusatkan pikiran, membaca mantra-mantra suci sambil tatapan matanya terus tertuju ke depan, mengikuti cahaya obor-obor yang mengepung.
Angin dingin menggiring kabut yang muncul, terasa kontras di tengah udara malam itu. Tubuhnya sedikit meremang, namun berusaha mengalihkan dengan melanjutkan bacaan mantra-mantra.
Tiba-tiba, Ki Gumilar melihat sosok perempuan berbadan ular raksasa muncul, menjambaki rambut para pemegang obor. Gigi taringnya yang bengkok sudah bersiap untuk menghisap darah mangsanya, setelah itu melemparkan tubuh tak bernyawa itu jauh ke sebuah jurang.
Warga perkampungan kecil di pinggir kawasan hutan, yang jauh dari pusat kota, menjalin hubungan erat dengan penunggu hutan itu.
Keesokan harinya, Ki Gumelar dan pasukannya memutuskan untuk menetap di kampung kecil, guna memulai kehidupan baru. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan baik.
Hingga akhirnya pasukan itu mendengar bahwa Raden Wijaya masih hidup. Raden Wijaya masih bersembunyi di daerah Kudadu, lereng gunung Butak. Di antara pasukan memang masih saling menjalin informasi, secara rahasia.