"Saya merasa wajib untuk mengingatkan setiap orang yang hendak memasuki hutan ini, karena jika melanggar, jarang ada yang bisa keluar dengan selamat!" pungkas kakek sesepuh kampung.
Walaupun demikian, tentu saja selentingan mitos yang pernah beberapa kali ia dengar itu sukses membuatnya gemetar. Tapi jangan sampai diketahui anak buahnya. "Kita terpaksa harus masuk hutan. Tidak ada pilihan lain!" perintahnya kepada pasukan.
Saat itu menjelang petang. Sepanjang pelarian, badan terasa begitu lelah dan tidak berdaya. Satu-satunya yang paling dibutuhkan hanya bisa istirahat dengan tenang. Tanpa ada yang berani membuat penerangan, apalagi api unggun, mereka mulai mempersiapkan tempat istirahat mereka masing-masing. Gelap dan dingin.
Tidak berselang lama, tiba-tiba terdengar samar-samar suara gemerisik di kejauhan. Seperti jejak langkah puluhan pasang kaki yang kian mendekat. Terdengar pula ringkik kuda.
Pihak musuh rupanya belum menghentikan niat untuk menghabisi lawan. Ki Gumelar kenal betul siapa Ki Kecek, yang tidak sedikit pun mau memberi kesempatan bagi lawan yang terdesak untuk bisa bernapas panjang. Buktinya, di dalam hutan di saat menjelang malam, hasrat untuk menghabisi lawan masih begitu berkobar-kobar.
Tampak di kejauhan obor-obor pasukan musuh mulai dinyalakan. Ki Gumelar memberi isyarat kepada pasukannya untuk siap bertarung. Rasanya mereka sudah pasti akan mati saat itu.
"Kita kalah jumlah, tapi sebelum mati, mereka harus menebusnya dengan harga yang setimpal!" bisik Ki Gumelar memberi semangat.
Di saat perang mati-matian akan berlangsung, mendadak muncul kabut tebal mengelilingi kawasan itu. Tanpa diduga, kejadian misterius mulai terjadi. Satu persatu anak buah Ki Kecek menghilang, tanpa meninggalkan jejak sama sekali, seolah lenyap di telan bumi.
Ketika jumlah pembawa obor yang hilang semakin banyak, dan secara gaib, kecurigaan mulai mengarah kepada tokoh mitos yang disebut Dewi Ular penunggu hutan. Siapa lagi.
Sehingga pasukan Ki Kecek memutuskan untuk mundur dan secepatnya keluar dari kawasan hutan. Hutan lebat yang bahkan di siang hari beberapa bagian tak tertembus sinar matahari itu semakin terkenal sangat angker.
Kini Ki Gumilar menuturkan pengalamannya itu di hadapan tim yang akan membuka kawasan hutan Trowulan, yang rencana akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan Majapahit.