Ki Gumelar kemudian berniat untuk kembali bergabung dengan pasukan Raden Wijaya, tapi di saat bersamaan ternyata Raden Wijaya sedang pergi untuk mencari suaka ke Arya Wiraraja di Madura.
***
Setelah melewati berbagai musyawarah, maka dipilihlah wilayah hutan angker di daerah Mojokerto, yang nantinya sebagai pusat pemerintahan. Sekitar 30 kilometer ke arah barat, sebuah kawasan hutan pedalaman yang selain memiliki sumber air yang bersih, juga dekat dengan Sungai Brantas. Selama ini Sungai Brantas merupakan jalur strategis sejak era Singhasari.
Barangkali dari cerita pengalaman Ki Gumelar, maka para petinggi Majapahit justru tertarik untuk membangun pusat pemerintahan di situ.
"Sampai sekarang mitos Dewi Naga yang muncul bersama kabut itu masih dipercaya sebagaian masyarakat, terutama para pemburu, hal itu karena banyak di antara mereka yang pernah melihat langsung penampakannya!"
"Kabut misterius itu bisa menjadi benteng gaib kita dari serangan musuh!" timpal seorang penasehat raja.
"Yang terpenting, lahan yang luas dan persediaan air yang melimpah adalah syarat ideal untuk menjadi pusat pemerintahan!" tutur Raden Wijaya, "Dan untuk membangun istana yang megah!"
Pembukaan hutan dilakukan. Peta rancangan bangunan-bangunan penting dan hunian kawasan elit akan membujur dari utara ke selatan. Di tengah kota terdapat sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering, yang kemudian dijadikan kolam. Kolam itu diperluas, berikut kanal-kanal, yang saling memotong dan melintang, tertata begitu rapi di atas areal enam hektar lebih.
***
Beberapa pekan kemudian, tentara Singasari yang ditugaskan dalam Ekspedisi Pamalayu, sangat terkejut ketika kembali ke Singasari, mendapati hanya puing-puing kerajaan yang berserakan.
Bala tantara di bawah pimpinan Panglima Mahisa Anabrang, dengan segera menyesuaikan diri. Ia dan seluruh prajurit Singasari akhirnya menyatakan diri tunduk dan bergabung menjadi tentara Majapahit.