Anehnya, seminggu terakhir, ia bermimpi menyaksikan seorang bocah laki-laki yang tinggal di sebuah wilayah yang kumuh, yang banyak terjadi berbagai kejahatan. Tempat yang sangat membutuhkan perbaikan.
Bocah itu memiliki keistimewaan bisa mendengar berbagai suara dari alam leluhur. Dia memohon kepada Tuhannya agar diberi kekuatan untuk bisa memperbaiki tempat  kumuh itu.
Suatu malam, janda pantang menyerah yang kehamilannya semakin besar itu, untuk pertama kalinya merasa bisa tidur dengan sangat nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun oleh suara aneh. Kemudian ia menajamkan telinganya untuk mendengarkan, tetapi ia masih tidak tahu darimana suara itu berasal.
"Ibu," suara itu berbisik seperti di dekatnya, "Ibu, aku datang."
Dewi Andongsari mengerang dan terjaga. Tiba-tiba, ia merasakan sakit yang amat sangat di perutnya. Dia berusaha minta tolong. Rasanya ia akan melahirkam saat itu juga.
Di tengah malam yang sangat hening, di saat para pertapa dan orang-orang suci tengah menikmati kegiatan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi, mereka dikejutkan oleh melintasnya cahaya terang yang aneh di atas langit Nusantara. Mereka dapat merasakan tentang akan adanya kejadian istimewa malam itu.
Di sebuah daerah miskin yang bernama Mada, Andongsari akhirnya melahirkan janin yang telah sembilan bulan dikandungnya. Namun setelah melewati perjuangan hidup mati itu, setelah menyaksikan wajah anaknya dan memeluknya, ia mengembuskan napas terakhir.
Mbok Wura Wuri menggosok matanya, bergulung dari tempat tidur dan langsung pergi ke kamar Nyi Andongsari. Dia menyalakan lampu minyak dan memeriksa tempat tidur. Ada darah membasahi seprei, dan seorang jabang bayi yang tampak sedang menghisap jempolnya, terbaring di samping ibunya.
Bayi yang lahir dengan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan bayi pada umumnya itu, telah menjadi yatim piatu. Janda Wuri, ibu angkat Nyi Andongsari itu, kemudian mengangkat bayi itu sebagai anaknya. Berdasarkan cerita Andongsari kepadanya, mengenai bocah dalam mimpinya yang aneh, bayi itu kemudian diberi nama Jirnodhara, yang berarti Sang Pembaharu.
Di desa itulah, cerita kelahiran sosok yang kelak terkenal dengan nama Gajah Mada, dituturkan secara turun temurun. Warga mengenal nama masa kecilnya dengan sebutan Dhara atau juga Dhara Mada, yang berarti Dhara dari Desa Mada.
Sejumlah tempat yang berada di desa tersebut juga dipercaya memiliki keterkaitan erat dengannya. Di antaranya adalah Setinggil dan Sendang Krapyak. Setinggil, tumpukan batu di atas perbukitan, adalah salah satu tempat yang menjadi lokasi favoritnya ketika ia memantau kerbau-kerbau gembalaannya.