Oleh: Tri Handoyo
Oleh: Tri Handoyo
Banyak hujatan yang ditujukan kepada Jayakatwang, karena dia dipandang sebagai orang yang bertanggung-jawab atas binasanya semua anak keturunan Rajasa (Ken Arok), Raja Singhasari I.
Pada dasarnya, kira-kira tiga perempat abad lebih yang lalu, kakek buyut Jayakatwang, seorang raja Kadiri dibunuh dan singgasananya direbut paksa oleh Ken Arok, bupati Tumapel. Sehingga sejak itu Kadiri menjadi bawahan Tumapel, yang kemudian lebih dikenal dengan kerajaan Singhasari.
Jayakatwang menyimpan dendam. Ia merasa dia adalah pewaris mahkota yang sah, yang sepatutnya bersemayam di singgasana istana. Di samping itu ia juga merasa sebagai orang cerdas dan gagah perkasa tiada tandingannya.
Singhasari, nama wilayah yang merupakan ibu kota negara, dan menjadi lokasi istana kerajaan Tumapel didirikan, telah hancur lebur. Setelah sekitar selama 70 tahun berdiri, lalu sirna dari bumi Nusantara. Maka keturunan pertama Raja Rajasa (1222 - 1227) sampai kepada raja terakhir Kertaneggara (1268 - 1292) berakhir untuk selamanya.
Kabar yang beredar cukup gencar itu sampai juga kepada Wijaya. Ia yang masih berada dalam persembunyian, awalnya sempat merasa sangat terpukul. Akan tetapi dia bukan tipe orang yang mudah putus asa. Dengan semangat balas dendam dan pantang menyerah, ia akhirnya mendapat ide untuk meminta perlindungan kepada Aria Wiraraja yang memerintah di Songenep (Sumenep, Madura). Berlayarlah ia menuju ke sana.
Semasa muda, Aria Wiraraja pernah mengabdi pada Nararya, kakek Wijaya. Maka, ia pun dengan tangan terbuka bersedia membantu sang pangeran. Apalagi beberapa kerabat dan salah seorang puteranya, adalah pasukan anak buah Wijaya.
Wijaya membuat perjanjian dengan Aria Wiraraja, bahwa akan membagi Pulau Jawa menjadi dua bagian jika kelak berhasil menggulingkan Jayakatwang. Akhirnya disusunlah sebuah siasat.
Siasat cerdik itu adalah, Wijaya harus datang ke Daha dan menyatakan menyerahkan diri dan bersedia mengabdi kepada Raja Daha Jayakatwang. Atas jaminan dari Aria Wiraraja, semacam suaka politik, Wijaya pun mendapatkan pengampunan.
Wijaya dengan sungguh-sungguh berusaha mengambil hati raja dan menunjukkan sikap penuh pengabdian. Setelah berhasil mendapatkan kepercayaan raja, ia kemudian memberanikan diri meminta tempat untuk keluarganya bermukim.
Wijaya tidak memiliki darah keturunan Raja Singhasari, sehingga dia dianggap tidak membahayakan kekuasaan Jayakatwang, maka Raja Daha itu pun mengabulkan permintaannya. Siasat itu benar-benar membuahkan hasil.
Wijaya mendapatkan hadiah sebuah wilayah di Tarik, berupa hutan belantara, yang dulunya dibuat sebagai tempat berburu bagi para bangsawan Daha. Di sana dia mendapat bantuan dari Ranggalawe, putra Aria Wiraraja, yang membawa orang-orang Madura untuk membuka lahan.
Daerah Tarik sebetulnya adalah wilayah yang kurang subur untuk bercocok tanam. Di wilayah itu banyak ditumbuhi pohon Maja yang rasanya pahit dan daunnya berduri. Oleh karena itu wilayah tersebut kemudian dinamakan Majapahit.
Buah Maja yang pahit menjadi simbol penderitaan, kesengsaraan dan kepahitan akan sebuah perjuangan hidup. Hanya dalam hitungan bulan, Wijaya secara diam-diam mulai menghimpun kembali sisa-sisa kekuatan Singhasari.
Wijaya diangkat menjadi pemimpin oleh sisa-sisa rakyat Tumapel. Kumpulan orang-orang yang memendam sakit hati kepada Jayakatwang itu menggantungkan harapan besar kepada Wijaya. Tarik kini menjadi basis kekuatan utama kaum pemberontak, yang menamakan diri mereka Laskar Majapahit.
Demikianlah yang terkisah dalam Kitab Pararaton. Sementara nama cikal bakal kerajaan Prabu Wijaya itu dalam bahasa sansekerta disebut Wilwatikta, yang juga memiliki arti sama, yakni Majapahit.
***
Di saat-saat malam, Wijaya selalu menyempatkan diri untuk melakukan meditasi, demi untuk meningkatkan kemampuan spiritualnya. Ia memiliki tempat khusus yang terpencil di tengah hutan, di mana ia melakukan pertemuan rahasia dengan seorang pertapa yang rahasia pula.
"Pengetahuan paling mendasar," tutur guru spiritual itu, "Yaitu kemampuan pertahanan alami manusia, yang telah mengalami seleksi alam selama ratusan ribu tahun, dan menjadikan manusia sebagai makhluk paling unggul di muka bumi!"
Suasana begitu hening. Langit di atas cukup cerah. Angin seolah beristirahat, tapi kabut dingin masih setia menyelimuti sejak gelap mendekap wilayah itu.
"Tubuh manusia sebetulnya secara alami memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Baik tanpa obat-obatan maupun tanpa ramuan rempah-rempah!"
"Bagaimana caranya, Guru?"
"Yang penting adalah memiliki pengetahuan untuk merawat dan melindungi kesehatan! Kuncinya adalah hati dan pikiran harus sehat. Sakit selalu diawali dari hati dan pikiran yang tidak baik. Bersihkan hati dan pikiran. Itulah obat terbaik. Oleh karena itu, sembuh dari sakit itu seharusnya mudah."
Wijaya juga menyampaikan hasil-hasil dari pertemuan dengan gurunya itu kepada sahabat-sahabatnya, yang kemudian menyebarkannya kepada rekan-rekan mereka. Yang terutama pengetahuan tentang kesehatan dan kekuatan tubuh. Itu hal yang paling penting di dalam membentuk pasukan yang tangguh.
Betapapun rahasia dan sedemikian rapinya usaha membentuk pasukan, namun sempat juga menimbulkan kecurigaan Raja Jayakatwang. Peringatan dari Raja bahwa kampung Majapahit akan diserang oleh pasukan Daha pun sempat terlontar. Wijaya berusaha meyakinkan Raja bahwa dia masih tetap setia di dalam pengabdiannya.
"Mohon maaf Paduka!" ucap Wijaya penuh sikap rendah hati, "Semoga Paduka yang mulia tidak begitu saja mendengarkan rumor di luar yang mencoba memfitnah hamba!"
"Baiklah. Aku masih percaya ucapanmu, tapi benarkah kamu melatih banyak pasukan di Tarik?"
"Ampun Paduka, mereka hanya pekerja ladang yang latihan silat hanya sebagai pengisi waktu senggang. Bukan pasukan!"
***
Selama satu bulan, Nyi Andongsari selalu bermimpi melihat peperangan yang mengerikan. Pembunuhan dan pembantaian terjadi di mana-mana. Janda muda itu menganggap bahwa itu bukan mimpi biasa, bukan seumpama mimpinya anak-anak yang keranjingan bermain perang-perangan, atau mimpi orang yang mengalami trauma terhadap perang.
Ia benar-benar tak mampu mengabaikan mimpi-mimpi itu. Potongan gambar-gambar mengerikan, ratusan ribu mayat-mayat berserakan dengan berbagai luka yang mengucurkan darah, terus menghantuinya.
Anehnya, seminggu terakhir, ia bermimpi menyaksikan seorang bocah laki-laki yang tinggal di sebuah wilayah yang kumuh, yang banyak terjadi berbagai kejahatan. Tempat yang sangat membutuhkan perbaikan.
Bocah itu memiliki keistimewaan bisa mendengar berbagai suara dari alam leluhur. Dia memohon kepada Tuhannya agar diberi kekuatan untuk bisa memperbaiki tempat  kumuh itu.
Suatu malam, janda pantang menyerah yang kehamilannya semakin besar itu, untuk pertama kalinya merasa bisa tidur dengan sangat nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun oleh suara aneh. Kemudian ia menajamkan telinganya untuk mendengarkan, tetapi ia masih tidak tahu darimana suara itu berasal.
"Ibu," suara itu berbisik seperti di dekatnya, "Ibu, aku datang."
Dewi Andongsari mengerang dan terjaga. Tiba-tiba, ia merasakan sakit yang amat sangat di perutnya. Dia berusaha minta tolong. Rasanya ia akan melahirkam saat itu juga.
Di tengah malam yang sangat hening, di saat para pertapa dan orang-orang suci tengah menikmati kegiatan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi, mereka dikejutkan oleh melintasnya cahaya terang yang aneh di atas langit Nusantara. Mereka dapat merasakan tentang akan adanya kejadian istimewa malam itu.
Di sebuah daerah miskin yang bernama Mada, Andongsari akhirnya melahirkan janin yang telah sembilan bulan dikandungnya. Namun setelah melewati perjuangan hidup mati itu, setelah menyaksikan wajah anaknya dan memeluknya, ia mengembuskan napas terakhir.
Mbok Wura Wuri menggosok matanya, bergulung dari tempat tidur dan langsung pergi ke kamar Nyi Andongsari. Dia menyalakan lampu minyak dan memeriksa tempat tidur. Ada darah membasahi seprei, dan seorang jabang bayi yang tampak sedang menghisap jempolnya, terbaring di samping ibunya.
Bayi yang lahir dengan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan bayi pada umumnya itu, telah menjadi yatim piatu. Janda Wuri, ibu angkat Nyi Andongsari itu, kemudian mengangkat bayi itu sebagai anaknya. Berdasarkan cerita Andongsari kepadanya, mengenai bocah dalam mimpinya yang aneh, bayi itu kemudian diberi nama Jirnodhara, yang berarti Sang Pembaharu.
Di desa itulah, cerita kelahiran sosok yang kelak terkenal dengan nama Gajah Mada, dituturkan secara turun temurun. Warga mengenal nama masa kecilnya dengan sebutan Dhara atau juga Dhara Mada, yang berarti Dhara dari Desa Mada.
Sejumlah tempat yang berada di desa tersebut juga dipercaya memiliki keterkaitan erat dengannya. Di antaranya adalah Setinggil dan Sendang Krapyak. Setinggil, tumpukan batu di atas perbukitan, adalah salah satu tempat yang menjadi lokasi favoritnya ketika ia memantau kerbau-kerbau gembalaannya.
Di tempat itu pula ia suka merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang kerap membanjiri benaknya. Tentang kerinduannya kepada orang tuanya, tentang wajah mereka yang tidak pernah sekalipun dilihatnya.
Dhara lahir bersamaan dengan tahun kelahiran Majapahit. Tidak ada yang dapat menentukan hari lahirnya dengan pasti, akan tetapi oleh karena pada tahun 1331 Masehi dia telah berusia cukup matang untuk menjadih patih, maka perkiraan itu agaknya bisa diterima.
Dhara kecil adalah anak yang rajin membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan. Sejak kecil ia sangat menyukai sayur-sayuran, seolah semua kandungan gizi dalam makanan yang dikonsumsinya itu diserap secara sempurna oleh tubuhnya, sehingga membuatnya tumbuh tinggi besar jauh melebihi anak-anak seusianya.
Itulah kemudian yang membuat masyarakat menjulukinya gajah. Julukan yang tidak hanya mewakili bentuk fisiknya, tapi juga kekuatannnya. Ketika bermain perang-perangan, teman-temannya biasa memanggilnya Panglima Gajah. Ia sangat bersemangat oleh julukan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H