Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ponsel Terkutuk

30 Mei 2024   07:28 Diperbarui: 12 Juni 2024   10:37 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo


Oleh: Tri Handoyo

Menunggu giliran dilayani pesan bakso di pojok alun-alun kota. Kududuk di sebuah kursi plastik. Saat asyik mengamati orang-orang yang sedang lalu lalang, tiba-tiba ada seorang ibu menghampiri.

"Mas, mau beli hp saya!" ujar wanita itu lirih, sambil ragu-ragu menyodorkan sebuah ponsel.

Aku tidak tergoda membeli ponsel, barang yang sebetulnya tidak aku butuhkan. "Maaf, saya sudah punya, Bu!"

"Murah kok, Mas!"

Aku terus terang tertarik. Akan tetapi, pertama aku sudah punya, kedua khawatir membeli ponsel dari orang yang tidak jelas. Bisa jadi ada kerusakan, atau jangan-jangan barang curian. Alasan ketiga, saat itu aku hanya bawa uang untuk jajan sambil olah raga.

"Murah kok, dua ratus saja, Mas!" bujuknya lagi.

Aku mengamati ponsel yang dari 'casing'nya kelihatan masih bagus. "Dua ratus?" tanyaku memastikan, tanpa menyentuh ponsel.

"Iya dua ratus saja!"

"Yang benar? Gak ada problem kan?" Aku mulai tergoda, sekaligus semakin curiga. "Kok murah, Bu?"

"Terpaksa, Mas!"

Tidak tega juga mendegarnya. Pasti karena ada kebutuhan yang mendesak. "Kok gak dijual ke konter saja?"

"Konter gak mau kalau cuma hp saja, Mas! Pasti minta charger dan dus boxnya!"

"Ah masak? Kalau murah pasti mereka mau! Ibu gak rugi?"

"Terpaksa, Mas! Lebih baik rugi daripada anak-anak kelaparan!:

Sekali lagi perasaanku mulai berhasil diluluhkan. "Coba lihat dulu ya, Bu!"

"Iya silakan, Mas!" Ia mimilih duduk di atas pagar pembatas trotoar.

Aku bisa saja menolak, tapi gara-gara kalimat terakhir ditambah nada suara yang tampak begitu memelas, akhirnya aku segera keluarkan uang ratusan ribu yang hanya dua lembar. Lupa untuk lebih dulu memeriksa kondisi ponsel itu.

Jujur, disamping kasihan, juga karena menurutku ponsel itu sangat murah. Kalau aku jual ke konter, paling apes masih bisa dapat untung lima puluh sampai seratus ribu.

"Ibu mau bakso?"

"Tidak, trima kasih Mas."

Sebelum ibu itu melangkah pergi, aku merasakan tatapan matanya yang aneh. Mungkin hanya perasaanku saja. Kuhabiskan bakso secepatnya, langsung meluncur mencari konter. Sore berhawa sejuk yang menggembirakan. Benar sebuah ungkapan yang berbunyi, 'Untung tak dapat diraih..', terusannya lupa. He..he..

"Beli kartu perdana, Mbak!" kataku setelah di depan konter.

"Silakan, Mas!" Gadis penjual mengarahkan ke etalase berisi deretan nomor perdana. "Ini yang nomor cantik!"

"Yang biasa saja, Mbak. Cuma untuk menghidupkan ponsel kok!" kataku sambil mengeluarkan ponsel yang baru kubeli.

"Tidak beli pulsa sekalian, Mas?"

"Sepuluh ribu saja. Oh iya, minta tolong dipasangkan ya, Mbak!"

Dengan jari-jemarinya yang lentik gadis penjual itu cekatan memasang sim card dan menghidupkan ponsel. Begitu hidup, secepat kilat langsung terdengar nada pesan masuk.

"Lho kok ada sms masuk?"

"Biasanya dari provider sim card, Mas!"

"Oh!" Aku keluarkan sisa-sisa penghuni dompet untuk membayar.

Tidak lama kemudian terdengar lagi ada pesan masuk. Aku lihat ada pesan dari nomor asing, bukan provider. "Ini sim card baru kan, Mbak?"

"Tentu saja! Mas kan lihat segelnya pas tadi saya buka kemasannya!"

"Tapi kok ada pesan masuk dari nomor asing? Bukan provider!" Betapa terkejutnya ketika pesan kubuka, tertulis, 'Hai maling, ganti nomor baru lagi ya?' "Kok bisa ada pesan masuk begini, Mbak?"

"Begini, Mas, ini aplikasi 'mobil tracker'. Jika ponsel dicuri orang, otomatis setiap diganti nomor baru akan langsung terkirim pesan yang sudah disetting sebelumnya oleh pemilik ponsel!" urai gadis penjaga konter.

"Berarti ini ponsel curian?"

"Bisa jadi, Mas!"

Masyaallah! "Oh iya, ini kalau dijual laku berapa ya, Mbak! Cuma ponsel, tanpa dos box dan charger!"

"Maaf, gak berani, Mas. Apalagi itu tipe lama. Sekarang yang paling banyak dicari orang itu tipe seperti ini!" Ia menunjuk deretan ponsel second.

"Kalau misalnya saja, laku sampai berapa?"

"Saya tidak tahu!" jawabnya sambil menyembunyikan senyum. Aku bisa menangkap, dia pasti tidak enak untuk menyebutkan harganya secara jujur.

"Dua ratus ribu?"

"Maaf, gak tahu, Mas. Apalagi kalau tahu barang curian. Paling seratus ribu pun gak ada yang mau! Tepatnya gak berani!"

Ya ampun! Itulah akibatnya! Apes. Akibat sifat tamak, sehingga mengabaikan naluri. Tapi juga karena didukung niat mau menolong. Hiburku pada diri sendiri. Baiklah, aku pakai sendiri saja.

Setelah berterima kasih, aku bergegas kembali ke alun-alun, kendati kecil harapan bisa menemukan ibu penjual tadi. Kadang masih timbul ketidakikhlasan, terutama di saat sadar bahwa telah ditipu. Ditambah lagi saat ponsel itu kembali memberitahu ada pesan masuk.

Aku buka pesan yang kali ini bunyinya, 'Hei maling gak tahu malu pakai hp curian'.

Aku balas pesan itu, 'Bpk atau ibu, maaf ponsel ini baru saya beli, jadi saya tidak tahu kalau ini curian.'

'Maling pasti gak akan ngaku'. Jelas nadanya penuh emosi.

'Baik. Mari kita ketemuan saja. Terserah anda mau ketemu di mana. Silakan ambil hp anda. Terus terang saya tadi membelinya dua ratus ribu.'

'Gak usah. Aku gak butuh hp itu!'

Aku telepon nomor asing itu. Tidak diangkat. 'Tapi kalau anda gak butuh kok kirim pesan terus. Itu meneror namanya!' Pesan yang kukirim tidak dibuka. Lega rasanya. Semoga berhenti.

Sekitar sepuluh menit kemudian, ada pesan masuk lagi. 'Salah sendiri, kenapa beli hp dari maling!'

Aku telepon lagi. Tidak diangkat. Barangkali dia tidak berani. Bisa jadi dia seorang wanita.

'Saat ini saya di alun-alun, Mbak. Aku sedang cari penjualnya!' pesanku.

'Gak ngurus'.

'Terus aku harus bagaimana?' tidak ada balasan. Aku matikan saja ponsel itu.

Setelah sampai di rumah, aku hidupkan kembali ponsel terkutuk itu, dan dengan cepat ada pesan masuk, dari nomor yang sama, yang menuduh maling. Jelas dia memang berniat meneror.

Ya Allah, sudah rugi uang, rugi ketemu orang sinting pula. Aku harus menjualnya, secepatnya. Tapi, selain harus rugi, itu berarti juga menjerumuskan orang lain untuk menjadi korban teror.

Dengan nomorku yang lain aku kirim pesan ke pengirim teror itu. Maksudku pura-pura mau mengajak kenalan. Tidak dibaca. Aku telepon. Tidak diangkat.

Pilihan terburuk, abaikan saja. Aku harus sanggup hidup berdampingan dengan pesan teror itu. Aku matikan ponsel. Beres. Aku harap nantinya si peneror itu akan bosan sendiri. Aku merasa yakin. 'Ayo siapa yang akan sanggup bertahan lama!'

Pada saat tengah malam, tiba-tiba terdengar ada telepon masuk. Ringtone yang sudah akrab di telinga. Aku raih ponselku. Memeriksa siapa yang menelepon tengah malam. Anehnya itu panggilan dari nomor telepon baruku, dari ponsel yang sejak sore aku matikan.

Tubuhku mendadak merinding. Aku perhatikan ponsel terkutuk yang tergeletak di atas meja. Lampunya menyalah. Tidak habis pikir, bagaimana ponsel mati itu bisa menelepon dengan sendirinya.

Mungkinkah pemilik ponsel itu sudah meninggal dunia? Lalu ia menghantuiku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun