'Gak ngurus'.
'Terus aku harus bagaimana?' tidak ada balasan. Aku matikan saja ponsel itu.
Setelah sampai di rumah, aku hidupkan kembali ponsel terkutuk itu, dan dengan cepat ada pesan masuk, dari nomor yang sama, yang menuduh maling. Jelas dia memang berniat meneror.
Ya Allah, sudah rugi uang, rugi ketemu orang sinting pula. Aku harus menjualnya, secepatnya. Tapi, selain harus rugi, itu berarti juga menjerumuskan orang lain untuk menjadi korban teror.
Dengan nomorku yang lain aku kirim pesan ke pengirim teror itu. Maksudku pura-pura mau mengajak kenalan. Tidak dibaca. Aku telepon. Tidak diangkat.
Pilihan terburuk, abaikan saja. Aku harus sanggup hidup berdampingan dengan pesan teror itu. Aku matikan ponsel. Beres. Aku harap nantinya si peneror itu akan bosan sendiri. Aku merasa yakin. 'Ayo siapa yang akan sanggup bertahan lama!'
Pada saat tengah malam, tiba-tiba terdengar ada telepon masuk. Ringtone yang sudah akrab di telinga. Aku raih ponselku. Memeriksa siapa yang menelepon tengah malam. Anehnya itu panggilan dari nomor telepon baruku, dari ponsel yang sejak sore aku matikan.
Tubuhku mendadak merinding. Aku perhatikan ponsel terkutuk yang tergeletak di atas meja. Lampunya menyalah. Tidak habis pikir, bagaimana ponsel mati itu bisa menelepon dengan sendirinya.
Mungkinkah pemilik ponsel itu sudah meninggal dunia? Lalu ia menghantuiku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H