Di pergelangan tangan ibu itu tampak melingkar bentuk rantai emas. Warungnya juga terbuat dari bangunan permanen. Lantainya keramik. Di sebuah dinding terpampang foto dengan latar belakang Ka'bah.
"Wah sudah pergi ke Mekah, Bu?"
Dia memalingkan wajah mengikuti pandangan mataku. "Oh, itu naik haji dua tahun yang lalu! Untung sebelum ada pandemi!"
"Wah beruntung sekali ibu dan suami sudah bisa pergi haji! Jumlah orang naik haji terus bertambah dan daftar antrian semakin panjang, jadi..!" 'Bagaimana kamu bisa menyatakan kehidupan semakin sulit?' batinku.
"Saya selama ini tidak pernah mendapat bantuan apa pun dari pemerintah!"
'Kok..?' "Ya mungkin masih banyak yang lebih membutuhkan, Bu Hajah!" Sengaja kupanggil dengan itu untuk menyadarkannya, bahwa tidak pantas ia menuntut bantuan.
"Nggak, Mas. Tapi yang diberi bantuan itu memang orang-orang dekat pak lurah. Pilih kasih. Saya dulu bukan pendukung pak lurah, makanya dia sentimen sama keluarga saya!"
Alhamdulillah! Hujan reda. Aku habiskan kopi dengan cepat dan ingin bergegas pergi dari tempat negatif itu. Tempat beracun. Selama ini aku memang berusaha keras menjauhkan hati dari virus kebencian. "Mumpung sudah terang, Bu Hajah! Saya harus ngejar waktu. Permisi!"
"Tapi masih gerimis, Mas!"
"Gak apa-apa, Bu!"
Sepanjang dalam perjalanan pulang, benakku dipenuhi peristiwa unik tentang manusia, ibu pemilik warung dan gadis penjual kerupuk, dua perbedaan tipe manusia yang sangat bertolak belakang.