"Maaf, saya mengurangi gorengan, Mbak. Soalnya lagi batuk!" alasanku sekenanya, "Maaf, aku mau melanjutkan perjalanan, Mbak!"
Firasatku tidak enak. Kecurigaanku bertambah kuat, jadi kuputuskan untuk segera menyingkir dari tempat sakral itu. Aku juga tidak berani menerima pemberian apa pun darinya.
"Hati-hati di jalan, Mas!" pesannya lembut dan tetap sambil tersenyum.
"Trima kasih banyak! Semoga jualannya laris, Mbak. Mari!"
Dalam perjalan keluar dari wilayah Dung Cinet, sekitar satu kilometer, hujan turun. Kebetulan aku melihat ada warung tidak jauh di depan. Aku mampir berteduh.
Si pemilik warung seorang ibu, mungkin di atas usia lima puluhan. Tapi masih berdandan layaknya gadis remaja. Rambutnya disemir warna merah tembaga, beberapa helai menjuntai keluar dari kerudung merah.
"Mas dari Dung Cinet ya?"
"Iya, Bu. Tapi sepi sekali!"
"Iya. Sebelum ada Covid masih lumayan, ya ada saja pengunjung yang datang!"
"Bu, saya minta kopi, gulanya sedikit saja ya!" pesanku, "Covid benar-benar membuat semua menderita!"
"Iya benar! Masih enak jaman dulu!" Ia lalu dengan fasihnya memaparkan betapa berbagai penderitaan hidup belakangan kerap menderanya. "Harga kebutuhan pokok naik semua, apa-apa mahal, warung juga sepi. Orang-orang di atas enak-anakan korupsi, rakyat di bawah mati kelaparan!"