Aku tak sabar mendengar bunyi lempengan besi di depan ruang guru dipukul Pak Syarif. Seolah jarum jam dinding di depan kelas berhenti menghitung waktu. Dua jam pelajaran seperti dua tahun kehidupan. Astaga, waktu selalu sulit untuk diajak kompromi.Oleh karenanya, saat mendengar dentangan tiga kali aku langsung menghambur ke luar. Mendekati ruang perpustakaan dan melihat sahabatku, Tarno duduk menunduk di depan Pak Jumali.
Wali kelas kami itu bibirnya bergerak-gerak dengan raut muka serius. Sementara, Tarno sesekali mendongakkan wajahnya yang berlinang air mata. Aku terpaku memandangi mereka dari halaman sekolah. Entah apa yang disampaikan Pak Jumali, jendela kaca menyimpan rapat-rapat informasi itu.
Konsekuensi Tarno memang wajib dipanggil oleh Pak Jumali, hari ini ketika ia kembali masuk sekolah setelah dua minggu tidak masuk tanpa jeda. Bulan lalu ia sudah berjanji akan selalu hadir di kelas, mengikuti jam-jam sekolah untuk menyerap ilmu pengetahuan.
Sebelumnya, di kelas 3 memang Tarno sering bolos tidak masuk sekolah. Alasannya klise, dua nyawa tergantung padanya setelah simboknya meninggal tahun lalu. Bapaknya, entah dia tidak tahu bagaimana nasibnya setelah lima tahun lalu pergi merantau ke Jakarta.
“Menelantarkan dua adikku yang kelaparan di rumah adalah dosa, Man.” Aku mencoba menenangkan Tarno yang masih terisak-isak.
Aku mengajaknya duduk di bawah pohon trembesi belakang sekolah.“Perut mereka lebih berharga dari apapun, termasuk sekolahku.”
Aku mendekapnya dengan tangan kanan, paling tidak perasaannya akan sedikit tenang. Itulah hal yang bisa aku lakukan sebagai teman: teman semeja, teman sekelas ataupun sebagai teman meluapkan pahit getir hidup.
“Pak Jumali tadi menyampaikan bahwa aku harus memilih: memilih serius sekolah di sini atau .... “
“Atau ... apa Tar?” Tanyaku lirih menyambung ucapannya yang menggantung.
“Ah, kamu pasti sudah tahu apa lanjutannya kan?”
Angin siang sesekali berhembus sepoi, menerpa wajah-wajah ndeso kami. Daun trembesi yang menaungi, satu dua, terjatuh mengikuti arah angin. Mata kami menerawang jauh, menembus sawah-sawah yang seakan tidak mau bertepi.
“Aku mungkin akan nyopot dari sekolah ini saja.”
Aku membiarkan suara itu berlarian bersama angin yang kembali meniup. Membohongi diri seolah-olah tidak mendengar apa yang Tarno sampaikan. Bahkan, mengharap keputusan itu tidak pernah ada, tidak pernah kudengar keluar dari mulutnya. Aku tetap duduk. Mematung. Pun, saat Tarno beranjak untuk mengambil tasnya ke kelas dan mengakhiri persahabatan kita di SMP ini. Menghentikan alur mimpi kita untuk menyudahi silsilah kemiskinan dan mungkin bisa disebut juga warisan kemalangan hidup.
* * *
Suasana musim gugur selalu menyenangkan, selalu ditunggu kehadirannya. Suhu yang mulai bersahabat dan tentu saja, warna daun-daun yang menggoda hati. Pohon mapel melukis daunnya menjadi kemerah-merahan. Pohon gingko sedap dipandang berlama-lama sebab kuning-kuning daunnya. Ranting-ranting pohon sakura yang ranggas pun eksotik untuk difoto.
Menyenangkan juga bagiku musim gugur tahun ini. Apalagi hari ini, aku sudah menunggunya mulai awal bulan agar hari Minggu ini segera hadir. Sejak pagi aku sudah mempersiapkan diri untuk menuju Yoyogi Koen. Aku akan bertemu seseorang yang hampir 22 tahun terpisah. Dialah sahabatku waktu SMP, Tarno.
Bertemu setelah lama tercerai oleh suratan takdir. Bertemu di negeri yang dahulu hanya ada dalam lamunan kita untuk dijamah.
“Konnichiwa!!!....”
Kita berjabat tangan kuat, sampai terguncang-guncang. Saling merangkul.
“Apa kabar, Tar?” Tanyaku kemudian.
“Baik, ... baik, ... baik sahabatku.”
Tidak ada air mata haru. Kita bahkan tertawa lepas menikmati adegan yang mungkin hanya Tuhan yang tahu akan terjadi. Tubuhnya tidak lagi pendek dan kurus. Memori tentang rambutnya yang kumal dan kulitnya yang mbengkerok sirna sudah. Sosok Tarno adalah kekinian yang baru. Hanya raut mukanya yang tidak berubah, sama seperti masa-masa SMP dua puluhan tahun yang lalu.
“Kamu sehat, Man?”
“Alhamdulillah, atas doamu juga. Bagaimana kabarmu? Sudah memiliki buntut berapa? Istrimu orang mana? Sekarang tinggal di mana? Bagaimana ceritamu setelah nyopot sekolah dari SMP itu dahulu? Apa kamu meneruskan di SMP lain? Kapan? Pasti kamu sekolah lagi sehingga bisa menjadi jaksa? Bla bla bla ....” Pertanyaanku nyerocos begitu saja tanpa memberinya kesempatan menjawab satu persatu. Hehehe ... tidak sabar pertanyaan-pertanyaan itu kuluncurkan. Memang, setelah berpisah aku tidak pernah mendengar informasi apa pun tentangnya.
Kopi kaleng yang hangat dari vending mechine menemani kami berbagi cerita. Ngalor ngidul. Sisi-sisi perjalanan kita saling disajikan. Saling menyimak. Sesekali disela tawa canda yang terlepas.
Hangatnya pertemuan kita semacam hangatnya sinar matahari siang. Menerobos sela-sela dedaunan yang masih tersisa untuk turut serta menghangatkan. Burung gagak terbang sambil berteriak-teriak. Beberapa burung memunguti remah-remah yang sengaja ditebar wisatawan sambil bercicit ria.
Pemusik jalanan pun seakan mengetahui makna pertemuan kita. Gitar yang dipetik mengiringi suara merdu dengan lagu-lagu ceria. Orang-orang yang mengitarinya pun turut bertepuk tangan dan melemparkan koin-koin Yen.
Aku memencet kembali vending mechine untuk mengeluarkan kaleng kopi lagi. Menyeruput pelan-pelan dan kemudian kembali berbagi cerita. Hari yang indah. Pertemuan yang mengobati rindu.
Sampai sore menjelang, kami masih asyik berbincang. Kisah masing-masing semacam laut yang tiada habis airnya. Namun, dingin angin yang berhembus lama kelamaan membuat kita menyerah. Tubuh empat puluh tahun tidak sekuat tubuh remaja SMP. Daripada masuk angin, kita beranjak. Menyusuri Omotesando Dori yang penuh sesak orang-orang untuk menikmati mewahnya berbelanja barang-barang branded.
Kita memutuskan masuk ke restoran T.G.I. Duduk sambil kembali menikmati kopi Jepang yang khas pahit. Suhu di ruangan juga hangat. Cocok untuk kita.
“Kok, sampai Tokyo, ada kerjaan?”
“Berliburlah sambil ketemu kamu, Man.”
“Enak ya jadi jaksa?” Aku membuka pertanyaan lagi.
“Enak ndak enak lah. Sama saja pekerjaan itu. Enakan kamu jadi pengusaha, Man.”
“Ah, sama saja.”
Aku tawarkan untuk memesan beberapa menu. Mengisi perut yang dari tadi siang hanya diisi minuman kopi hangat. Alunan musik di restoran ini menemani kita sampai larut. Tapi, ketahanan kita runtuh juga. Kita harus berpisah, kembali ke tempat masing-masing. Merebahkan tubuh yang tidak kuat lagi diajak begadang.
Tarno pamitan kembali ke hotelnya di Shinagawa, aku pulang ke apatoku di Meguro. Kita berjanji akan bertemu lagi besok.
Aku segera beranjak. Mencegat taksi. Benar-benar hari yang menyenangkan. Bertemu sahabat yang lama terpisah. Tiba-tiba saat aku masih membayangkan waktu kita masih bersahabat, line dari Tarno masuk.
Besok, kita pulang ke Indonesia ya, Man? Aku mendapat tugas untuk menjemputmu.
Suasana hatiku langsung berubah. Lelah dan kantuk hilang seketika. Pikiranku terpusat pada ingatan masalah yang pernah menjeratku sebagai pemilik perusahaan. Tender proyek pengadaan barang dan jasa di sebuah instansi, dua tahun lalu bermasalah.
Karyawan kepercayaanku memarkir sebuah mobil mewah di halaman rumah pemimpin instansi itu. Istri muda pejabat yang membantuku memenangkan tender dengan senyum manis menerima kunci mobil. Taksi terus melaju. Dadaku berdebar-debar. Pandangan mataku berkunang-kunang.
Tokyo, 3 Desember 2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI