Mohon tunggu...
Tri Darmanto
Tri Darmanto Mohon Tunggu... Guru - Pengajar di Tokyo Indonesian School

Saya suka travelling untuk mendaki gunung dan mencicipi makanannya. Selain itu juga suka membaca dan menulis puisi atau cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mengapa Tarno Menjemputku?

4 Juni 2020   16:58 Diperbarui: 4 Juni 2020   17:04 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
olahan pribadi via Canva

“Kamu sehat, Man?”

“Alhamdulillah, atas doamu juga. Bagaimana kabarmu? Sudah memiliki buntut berapa? Istrimu orang mana? Sekarang tinggal di mana? Bagaimana ceritamu setelah nyopot sekolah dari SMP itu dahulu? Apa kamu meneruskan di SMP lain? Kapan? Pasti kamu sekolah lagi sehingga bisa menjadi jaksa? Bla bla bla ....” Pertanyaanku nyerocos begitu saja tanpa memberinya kesempatan menjawab satu persatu. Hehehe ... tidak sabar pertanyaan-pertanyaan itu kuluncurkan. Memang, setelah berpisah aku tidak pernah mendengar informasi apa pun tentangnya.

Kopi kaleng yang hangat dari vending mechine menemani kami berbagi cerita. Ngalor ngidul. Sisi-sisi perjalanan kita saling disajikan. Saling menyimak. Sesekali disela tawa canda yang terlepas.

Hangatnya pertemuan kita semacam hangatnya sinar matahari siang. Menerobos sela-sela dedaunan yang masih tersisa untuk turut serta menghangatkan. Burung gagak terbang sambil berteriak-teriak. Beberapa burung memunguti remah-remah yang sengaja ditebar wisatawan sambil bercicit ria.

Pemusik jalanan pun seakan mengetahui makna pertemuan kita. Gitar yang dipetik mengiringi suara merdu dengan lagu-lagu ceria. Orang-orang yang mengitarinya pun turut bertepuk tangan dan melemparkan koin-koin Yen.

Aku memencet kembali vending mechine untuk mengeluarkan kaleng kopi lagi. Menyeruput pelan-pelan dan kemudian kembali berbagi cerita. Hari yang indah. Pertemuan yang mengobati rindu.

Sampai sore menjelang, kami masih asyik berbincang. Kisah masing-masing semacam laut yang tiada habis airnya. Namun, dingin angin yang berhembus lama kelamaan membuat kita menyerah. Tubuh empat puluh tahun tidak sekuat tubuh remaja SMP. Daripada masuk angin, kita beranjak. Menyusuri Omotesando Dori yang penuh sesak orang-orang untuk menikmati mewahnya berbelanja barang-barang branded.

Kita memutuskan masuk ke restoran T.G.I. Duduk sambil kembali menikmati kopi Jepang yang khas pahit. Suhu di ruangan juga hangat. Cocok untuk kita.

“Kok, sampai Tokyo, ada kerjaan?”

“Berliburlah sambil ketemu kamu, Man.”

“Enak ya jadi jaksa?” Aku membuka pertanyaan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun