"Jangan khawatir, serahkan semuanya padaku! Kalian harus tetap menahan diri. Aku tidak ingin pertumpahan darah dalam persoalan ini tetapi kalau mereka tetap memperlakukan kita tidak sebagai mana mestinya, yah ... kita juga  punya harga diri yang pantas dan patut untuk dipertahankan dan dibela. Oh ya, aku cuma perlu dua orang untuk menemaniku ke rumah pak Mursidi nanti malam. Terlalu banyak orang malah menimbulkan kesan yang tidak baik."
Pak Somad menunjuk dua laki-laki yang datang duluan tadi. Keduanya mengangguk.
"Sekarang kalian boleh pulang! Bawa ternak-ternak ke rumah. Sementara ini beri saja makanan dari daun-daun depan rumah kalian!"
Mereka yang melapor mengangguk-angguk dan mengiakan. Selama ini pak Somad memang kepala desa yang dicintai oleh penduduknya. Kata-katanya jarang sekali dibantah, selalu dipatuhi.
***
Selepas sore, terlihat pak Somad, diiringi dua warga. Tujuannya jelas, rumah Kepala Desa Bayeman.
"Mudah-mudahan pak Mursidi ada di rumah dan mau menerimaku dengan baik!" desah pah Somad lirih ketika mereka bertiga akan berangkat. Dalam desahnya seperti ada nada harapan. Dia tahu, semuanya akan ditentukan malam ini. Akan ada lagi hubungan akrab antara desa Bayeman dan Desa Tanggora, atau malah sebaliknya. Perselisihan berkepanjangan akan ditentukan pembicaraan malam ini.
Kalau dari pihaknya, pak Somad tahu persis, dia dan penduduknya cuma menuntut apa yang selama ini menjadi hak mereka. Tidak lebih dari itu! Bukankah setiap orang mempunyai hak dan setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan hak itu?
Ah, semoga semua baik jadinya, berkali-kali pak Somad berdoa dalam hati. Â Ketiganya terus melangkah dengan mulut membisu. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Apa yang akan terjadi dalam pertemuan nanti masih tanda tanya besar. Akankah semuanya berakhir dengan baik atau malah sebaliknya, siapa yang tahu?
Sekarang mereka memasuki daerah desa Bayeman. Padang rumput yang menjadi pangkal sengketa sayup-sayup terlihat sedang terlelap dalam pelukan penguasa malam. Bunyi binatang kecil meriuhkan suasana. Sedang langit di atas sana penuh bertaburan bintang.
Ah, betapa tenteramnya sesungguhnya hidup kami, keluh pak Somad dalam hati, seandainya kejadian ini tidak terjadi. Dia tidak perlu malam-malam begini berjalan kaki. Bukankah lebih menyenangkan duduk mengobrol di rumah sambil menikmati ketela rebus, umpamanya?