Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Sengketa Padang Rumput

18 Maret 2021   09:28 Diperbarui: 18 Maret 2021   09:45 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: tangkapan layar dari youtube/KevinOilPanting

SENGKETA   PADANG   RUMPUT
Tri Budhi Sastrio

Banyak sengketa dan pertikaian
Berpangkal pada ketertutupan.
Sementara yang satu tidak mau
Berterang pada yang lain,
Yang lain pun tidak mau berpikir jernih.
Karenanya, berterang dan berpikiran jernah
Patut untuk dikembangkan terus menerus.

"Huh!' dengus pak Somad, Kepala Desa Tanggora dengan muka merah padam. "Mursidi memang keterlaluan!"

Mursidi Kepala Desa Bayeman, desa yang lokasinya tepat bersebelahan dengan Desa Tanggora.

"Kalau sampai besok masih meneruskan tindakan tidak benar dan sewenang-wenang itu, aku akan menyatakan perang terhadapnya!" Pak Somad melanjutkan gerutuannya.

Empat laki-laki setengah baya, yang berdiri di depan  Kepala Desa yang sedang marah-marah itu mengangguk..

"Memang benar, pak!" salah seorang dari mereka yang mengenakan baju biru berbintik-bintik hitam memberi komentar. "Penduduk Bayeman, didalangi kepala desanya, bukan saja hendak mengambil sesuatu yang bukan haknya, juga hendak mematikan usaha dan sekaligus sumber penghidupan kita! Bapak kan tahu, cuma dari padang rumput itulah, ternak-ternak kami dan juga ternak-ternak bapak mendapatkan makanan. Nah, kalau sekarang mereka melarang dan mengusir kami dari padang itu, ke mana makanan ternak harus dicari?"

Hati pak Somad semakin mendidih.

"Tindakan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan. Mereka harus diberi pelajaran. Kalau dengan cara halus tidak berhasil, nanti malam aku akan ke rumah Mursidi. Siapa di antara kalian yang mau menyertaiku?"

"Saya pak ... saya pak ..."

Keempat-empatnya menyatakan kesediaan. Belum sempat pak Somad memberikan persetujuan, terlihat tiga laki-laki datang tergopoh-gopoh. Belum sempat mengatur nafas mereka berebutan berkata.

"Wah, celaka benar Bayeman itu, pak!" kata mereka. "Kami diusir dari padang rumput. Ketika mencoba melawan, mereka mengeluarkan golok. Bahkan ada yang membawa tombak. Karena tidak membawa senjata, kami mengalah tetapi kalau begini terus, bagaimana nasib ternak kami?"

Pak Somad menggigit bibir keras-keras. Penduduk Bayeman menghina dan memandang sebelah mata dirinya.

Semua ini dimulai seminggu yang lalu tanpa dia mengerti alasannya. Mengapa baru sekarang penduduk Bayeman berniat menguasai padang rumput yang sama sekali bukan miliknya, sekali pun padang itu juga  bukan milik desa Tanggora. Selama ini padang yang selalu hijau sepanjang waktu itu, menyediakan makanan untuk ternak milik penduduk Bayeman maupun milik penduduk Tanggora.

Tak pernah sekali pun mereka merasa kekurangan rumput betapa pun banyak ternak yang makan. Jadi mengherankan jika penduduk Bayeman berusaha menguasai padang rumput. Untuk apa? Toh dipakai bersama tidak pernah kekurangan lalu mengapa harus menguasai semua yang cuma menimbulkan perselisihan dan permusuhan?

Pak Somad memang tidak habis mengerti. Itulah sebabnya dia memutuskan mendatangi Mursidi, Kepala Desa Bayeman, malam nanti. Paling tidak untuk minta keterangan dan syukur jika bisa menyelesaikan masalah ini.

Belum sempat malam tiba, tiga warga desa kembali mendapat gangguan.

 "Memang terlalu tindakan mereka!" pak Somad berkata pada tiga laki-laki di depannya. "Sebelum ini mereka mengusir ternak mereka, termasuk ternakku juga!" Pak Somad menunjuk pada empat laki-laki, penduduk desanya yang lebih dulu datang untuk melapor.

"Sebenarnya apa sih maksud mereka, pak?" tanya salah satu dari tiga orang yang datang belakangan. "Apakah mereka khawatir kekurangan rumput? Padang itu selalu hijau sepanjang waktu. Mereka boleh mengambil rumput sesukanya, tentu cukup tetapi nyatanya ..."

"Ya, aku sendiri heran dengan tindakan orang-orang Bayeman. Itulah sebabnya, nanti malam aku akan datang menemui kepala desa mereka dan mencoba menanyakan apa alasan di balik tindakan ini!"

"Tanyakan sampai jelas, pak!" yang lain nimbrung. "Jangan biarkan mereka bertindak seenak perutnya!"

Pak Somad mengangguk-angguk.

"Jangan khawatir, serahkan semuanya padaku! Kalian harus tetap menahan diri. Aku tidak ingin pertumpahan darah dalam persoalan ini tetapi kalau mereka tetap memperlakukan kita tidak sebagai mana mestinya, yah ... kita juga  punya harga diri yang pantas dan patut untuk dipertahankan dan dibela. Oh ya, aku cuma perlu dua orang untuk menemaniku ke rumah pak Mursidi nanti malam. Terlalu banyak orang malah menimbulkan kesan yang tidak baik."

Pak Somad menunjuk dua laki-laki yang datang duluan tadi. Keduanya mengangguk.

"Sekarang kalian boleh pulang! Bawa ternak-ternak ke rumah. Sementara ini beri saja makanan dari daun-daun depan rumah kalian!"

Mereka yang melapor mengangguk-angguk dan mengiakan. Selama ini pak Somad memang kepala desa yang dicintai oleh penduduknya. Kata-katanya jarang sekali dibantah, selalu dipatuhi.

***

Selepas sore, terlihat pak Somad, diiringi dua warga. Tujuannya jelas, rumah Kepala Desa Bayeman.

"Mudah-mudahan pak Mursidi ada di rumah dan mau menerimaku dengan baik!" desah pah Somad lirih ketika mereka bertiga akan berangkat. Dalam desahnya seperti ada nada harapan. Dia tahu, semuanya akan ditentukan malam ini. Akan ada lagi hubungan akrab antara desa Bayeman dan Desa Tanggora, atau malah sebaliknya. Perselisihan berkepanjangan akan ditentukan pembicaraan malam ini.

Kalau dari pihaknya, pak Somad tahu persis, dia dan penduduknya cuma menuntut apa yang selama ini menjadi hak mereka. Tidak lebih dari itu! Bukankah setiap orang mempunyai hak dan setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan hak itu?

Ah, semoga semua baik jadinya, berkali-kali pak Somad berdoa dalam hati.  Ketiganya terus melangkah dengan mulut membisu. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Apa yang akan terjadi dalam pertemuan nanti masih tanda tanya besar. Akankah semuanya berakhir dengan baik atau malah sebaliknya, siapa yang tahu?

Sekarang mereka memasuki daerah desa Bayeman. Padang rumput yang menjadi pangkal sengketa sayup-sayup terlihat sedang terlelap dalam pelukan penguasa malam. Bunyi binatang kecil meriuhkan suasana. Sedang langit di atas sana penuh bertaburan bintang.

Ah, betapa tenteramnya sesungguhnya hidup kami, keluh pak Somad dalam hati, seandainya kejadian ini tidak terjadi. Dia tidak perlu malam-malam begini berjalan kaki. Bukankah lebih menyenangkan duduk mengobrol di rumah sambil menikmati ketela rebus, umpamanya?

Satu dua rumah penduduk Bayeman mulai dilewati. Sebentar lagi mereka akan sampai di rumah Kepala Desa. Lampu rumah kepala desa, yang lebih terang dari rumah yang lain, seakan-akan sedang menanti kedatangan tiga orang dari desa Tanggora ini.

Akhirnya, sampai juga mereka. Sekarang mereka berada di pintu halaman sebelah rumah Pak Mursidi. Ada lima atau enam orang sedang duduk berbincang-bincang di beranda depan rumah pak Mursidi. Pak Mursidi sendiri tampaknya juga ada di sana. Pak Somad, sekali pun bukan sahabat karib tetapi dia tahu dan mengenal pak Mursidi.

Dengan suara bening, pak Somad mengucapkan salam. Hampir serempak, orang yang sedang asyik bercakap-cakap itu menghentikan percakapan, menoleh dan kemudian membalas salam itu.

"Silakan masuk!" Pak Mursidi sendiri yang menjawab,

Pak Somad mengucapkan terima kasih, dan kemudian mengajak dua pengiringnya masuk. Enam orang tamu pak Mursidi bangkit dari duduknya, pindah ke kursi lain agar tiga tamu ini lebih leluasa memilih tempat duduk.

"Ha, rupanya pak Somad!" seru pak Mursidi setelah tiga tamunya semakin dekat.

"Benar pak Mursidi!" kata pak Somad mencoba berkata seramah mungkin. "Ada sesuatu yang perlu dibicarakan dengan pak Mursidi sehingga malam-malam begini terpaksa datang, mengganggu waktu istirahat bapak!"

"Ah, jangan begitu!" balas pak Mursidi sambil tersenyum lebar. Keduanya tampak mencoba bersikap wajar tetapi yang lain tidak berhasil menyembunyikan ketegangan hati mereka. Mereka memang pantas tegang, karena siapa di antara mereka yang tidak tahu dan mengerti, jika pertemuan dua kepala desa ini bukanlah pertemuan biasa? Pertemuan penentuan kalau ingin diberi istilah yang tepat.

"Mari silakan duduk!"

Pak Somad mengangguk, kemudian dia duduk, diikuti oleh dua orang pengiringnya. Pak Mursidi pun duduk, tepat berhadapan  dengan pak Somad. Sementara teman ngobrol pak Mursidi juga mengambil tempat duduk masing-masing, tidak jauh dari tempat duduk Kepala Desanya.

"Keperluan penting macam apa yang memaksa pak Somad datang malam-malam ke sini?" pak Mursidi memulai, sebuah pertanyaan yang mengandung banyak makna. Pertanyaan yang mengajak untuk sama-sama membuka kartu, tidak perlu lagi berbasa-basi.

Pak Somad tentu saja mengerti isyarat ini.

"Kita sebaiknya langsung saja pada inti!" pak Somad berkata lirih seperti cuma ditujukan pada dirinya sendiri.

Pak Mursidi mengangguk. Senyum masih tersungging di bibirnya, sekali pun tidak secerah tadi.

"Soal padang rumput, pak!"  Kartu sekarang benar-benar telah di buka oleh Pak Somad. "Saya dan seluruh penduduk desa Tanggora tidak mengerti mengapa kami dilarang menggembala ternak di padang itu.   Kami ingin tahu alasan di balik semua larangan itu!"

Pak Mursidi membetulkan duduknya. Laki-laki ini tegang juga.

"Sulit sekali bagi saya menerangkannya!" Pak Mursidi mulai berkata. "Banyak yang harus diterangkan dan saya tidak tahu harus mulai dari mana!"

Pak Somad mengerutkan keningnya. Tentu saja dia tidak puas dengan keterangan yang mengambang itu.

"Tetapi baiklah saya akan menerangkan! Sebenarnya sejak pertama kali bertindak begitu, saya sudah harus menerangkan pada pak Somad bahkan juga pada seluruh penduduk desa Tanggora tetapi karena belum yakin, dan kami bermaksud untuk tidak menunjukkan kekonyolan kami sendiri, maka kami berusaha untuk mengatasi persoalan ini seorang diri tetapi akibatnya yah, seperti yang telah diperhitungkan, pak Somad akhirnya datang ke sini juga. Tahukah pak Somad kalau akhir-akhir ini kami terus sibuk sementara hati terus berdegup tegang, menanti-nanti  tindakan balasan apakah yang akan dilancarkan oleh penduduk Desa Tanggora. Untunglah, penduduk desa bapak masih bisa bersabar selama ini!"

Pak Mursidi berhenti sejenak. Sementara itu, kerutan di kening pak Somad semakin jelas. Kata-kata Pak Mursidi yang berputar-putar memang pantas membuatnya bingung.

"Tepat seminggu yang lalu, tiga ternak penduduk mati setelah siangnya digembalakan di padang rumput sebelah barat. Tahukah Pak Somad apa sebabnya?" .

Tentu saja pak Somad menggelengkan kepalanya.

"Kami juga tidak tahu apa sebabnya!" kata pak Mursidi lirih. "Baru keesokan harinya, walaupun tidak begitu pasti kami bisa merabanya. Dari mulut ternak yang mati keluar busa dengan bau tak enak. Beberapa rumput yang dimakannya juga ikut dimuntahkan ke luar. Ketika kami mencoba mengamati rumput itu ada sehelai rumput berwarna ungu tua! Pernah tahu ada rumput berwarna ungu?"

Sekali lagi pak Somad menggelengkan kepala.

"Rumput ungu inilah yang menjadi penyebab kematian ternak kami!' pak Mursidi melanjutkan. "Rumput itu rumput beracun. Jengkerik yang diambil sebagai binatang percobaan ternyata mati begitu makan sedikit rumput itu. Padang rumput sekarang tidak aman bagi ternak. Rumput beracunnya harus dicari dan dibersihkan dulu. Kalau tidak, sepuluh ternak digembalakan, sepuluh ternak akan mati!"

Sejenak keadaan hening ketika pak Mursidi menghentikan keterangannya. Sementara di luar, angin tetap berhembus lembut, sedangkan bintang tetap bertaburan bahkan sekarang tampak semakin indah. Cuma orang-orang dalam ruangan itu sama sekali tidak sempat memperhatikan. Persoalan yang dihadapi cukup menyita seluruh perhatian.

"Kami harus membersihkan dulu padang rumput itu," kata pak Mursidi melanjutkan, "Sebelum padang itu bersih dari rumput beracun, tak seekor ternak pun boleh digembalakan di tempat itu. Itulah keputusan saya sebagai seorang Kepala Desa. Biarlah tindakan kami dianggap sewenang-wenang, begitu keputusan saya waktu itu. Baru setelah berhasil mencabut seluruh rumput beracun di daerah itu, kami akan buka persoalan sebenarnya. Ternyata untuk membersihkan rumput, perlu banyak waktu. Selain rumput itu tidak tumbuh di tempat yang sama, juga bentuknya yang kecil menyulitkan kami. Setiap jengkal padang itu kami periksa dan dijelajahi. Tiga puluh orang dikerahkan. Sampai saat ini baru separuh padang yang selesai diperiksa."

Pak Somad menatap pak Mursidi tajam-tajam.

"Mengapa bapak tidak memberitahu kami?" tanya pak Somad. "Bukankah kami bisa membantu? Jika diberitahu, kami pasti tidak sampai beranggapan buruk?"

Pak Mursidi menundukkan kepalanya.

"Sebenarnya saya harus memberi tahu tetapi karena saya tidak yakin, saya jadi ragu-ragu untuk memberitahu!'

"Alasan bapak sama sekali tidak bisa diterima!" kata pak Somad tinggi. "Rumput beracun itu bukan cuma merugikan warga bapak tetapi juga warga kami, seluruh penduduk desa Tanggora. Kami berkewajiban untuk membersihkannya, sama seperti kewajiban warga di sini!"

"Maafkan saya pak Somad!" kata Pak Mursidi akhirnya dengan suara lirih. "Sama sekali tidak ada maksud jelek di balik semua ini."

Sekarang ganti pak Somad yang melunak.

"Saya juga harus minta maaf atas kata-kata kasar yang dilontarkan ini," Pak Somad berkata. "Bukan maksud saya tidak menghargai usaha bapak dan seluruh warga di sini. Bapak dan seluruh penduduk desa Bayeman telah berbuat sesuai dengan apa yang seharusnya diperbuat. Saya dan seluruh penduduk desa Tanggora patut menghaturkan terima kasih. Dapat dibayangkan berapa banyak ternak lagi akan menjadi korban, kalau bapak tidak segera memberlakukan larangan itu. Cuma  saja ...."

"Cuma saja apa?"

"Cuma seandainya tidak pandai-pandai menahan hati mungkin sesuatu yang lebih buruk bisa terjadi!"

Pak Mursidi mengangguk. Hal semacam itu memang bukan sesuatu yang sulit untuk terjadi tetapi untunglah tidak!

"Besok masih harus memeriksa padang yang belum diperiksa, bahkan yang sudah diperiksa pun harus diteliti kembali. Siapa tahu rumput beracun itu tercecer atau tumbuh kembali!" kata Pak Mursidi. Ada nada ajakan di dalamnya.

"Seluruh penduduk desa Tanggora akan saya kerahkan besok. Warga dua desa ini harus bahu-membahu. Dua bahu tentu lebih berharga dari satu bahu, bukan?"

Kedua Kepala Desa ini saling pandang. Seulas senyum muncul di bibir mereka. Pertentangan meruncing yang semula dibayangkan oleh kedua belah pihak, akhirnya tenggelam dalam senyum mereka berdua. Keterbukaan memang akhir dari segala macam pertentangan. (R-SDA-18032021-087853451949)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun