Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Pembajakan KRI

11 Maret 2021   11:57 Diperbarui: 11 Maret 2021   12:01 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://fineartamerica.com/art/paintings/warship

Pembajakan KRI
Tri Budhi Sastrio

Keberanian saja tidaklah cukup,
Ketegaran mental dan wibawa pribadi
Amat menentukan dalam banyak tindakan.
Karenanya, perbawa dan wibawa
Adalah ciri utama kepemimpinan.

Bersamaan dengan ditanda-tanganinya sertifikat penyerahan, hadirin bertepuk-tangan dengan meriah. Duta Besar Indonesia untuk Jerman Barat tersenyum gembira. Di sebelahnya berdiri seorang Letnan Kolonel Angkatan Laut. Masih muda dan berwajah tampan. Di dada sebelah kiri terbaca nama Haryono. Letnan Kolonel Haryono.

Karier pelaut ini memang luar biasa. Mungkin karena nasib baik ditambah dengan otak cemerlang, dia sama sekali tidak mendapat kesulitan meniti jenjang kepangkatan sampai akhirnya menjadi Letnan Kolonel. Sekarang dia terpilih sebagai Komandan Kapal Perang Republik Indonesia yang baru, KRI Nagasasra. Sebuah tugas yang membanggakan.

Duta Besar Indonesia, selesai menyalami wakil pemerintah Jerman Barat, tidak lupa menyalami Letnan Kolonel Haryono.

"Selamat, Letnan Kolonel," kata Duta Besar sambil tersenyum ceria.

"Terima kasih atas kesempatan ini!" balas Letnan Kolonel Haryono.

"Sejam lagi anda akan berlayar, bukan?"

"Benar, pak!" kata Letnan Kolonel Haryono sambil mengikuti Duta Besar yang perlahan berjalan mengikuti rombongan. "Saya diberi perintah secepat mungkin tiba di tanah air karena tampaknya rongrongan musuh semakin meningkat!"

Duta Besar mengangguk dan wajahnya yang ceria berubah sedikit kelam. Konflik antara negaranya dengan salah satu negara tetangga menjadi beban bagi semua warga negara.

"Mudah-mudahan diplomat kita bisa menyelesaikan sengketa ini!" kata Duta Besar dengan suara lirih.

"Saya juga berharap demikian, pak!" kata Letnan Kolonel Haryono tidak kalah lirihnya seakan-akan khawatir didengar orang lain. "Tetapi ...."

Duta Besar menggerutkan kening mendengar kata "tetapi" yang tidak dilanjutkan. Letnan Kolonel Haryono tentu saja tahu kerutan kening itu.

"Tetapi musuh telah mengerahkan kekuatan Angkatan laut mereka," Letnan Kolonal Haryono melanjutkan.

Duta Besar mengangguk. Laporan yang diterima dari Kementerian Luar Negeri memang menyebutkan begitu.

"Jadi tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali harus berbuat yang sama," Letnan Kolonel Haryono melanjutkan. "KRI Nagasasra belum sempurna betul pengerjaannya tetapi atas desakan kita pemerintah Jerman Barat mau menyerahkan!"

"Anda tentu diperintahkan langsung berlayar, bukan?"

"Benar, pak!"

"Selamat bertugas, Letnan Kolonel. Doa saya dan seluruh rakyat Indonesia di sini bersama anda!"

"Terima kasih, pak!"

Lebih awal dari jadwal yang ditentukan akhirnya halauan KRI Nasasasra mulai mengiris air. Kapal perang modern itu berlayar dengan megah dan anggun. Letnan Kolonel Haryono berdiri di anjungan perwira dengan sikap sempurna. Darah terasa mengalir semakin kencang. Semangat bergelora ingin segera sampai ke tempat tugas untuk membuktikan dan mencoba kecanggihan kapal perang modern ini.

Perlengkapan navigasi benar-benar mutakhir. Sistem senjata juga sulit untuk dibayangkan. Mampu menghadapi lawan di udara, di permukaan laut, maupun di dalam laut. Kapal perang seampuh dan semodern ini cuma dimiliki oleh negara raksasa dan adidaya, tetapi sekarang Indonesia sudah memiliki, meskipun baru satu.

Sesuai dengan keadaan yang mendesak, KRI Nagasasra diperintahkan untuk berlayar siang malam dengan kecepatan penuh. Dalam perjalanan yang panjang itu, KRI Nagasasra cuma dapat kesempatan dua kali untuk berhenti, itu pun untuk bahan bakar dan perlengkapan lainnya. Selebihnya, cuma berlayar dan berlayar.

Sementara itu, berita dari tanah air terus masuk. Perang terbuka memang belum pecah tetapi tanda-tanda ke arah sana semakin jelas. Markas Besar secara tidak langsung terus mendesak KRI Nagasasra agar bisa tiba di tanah air tepat pada waktunya. Tepat pada waktunya di sini tentu saja diartikan sebelum perang terbuka pecah tetapi siapa bisa menentukan dengan pasti kapan perang terbuka akan pecah? Sekarang memang belum tetapi siapa yang tahu akan keadaan sejam kemudian? Diam-diam Letnan Kolonel Haryono sempat dibuat bingung juga dengan situasi semacam ini. Berkali-kali dia mencoba mengusir rasa tidak sabarnya tetapi berkali-kali gagal. Seandainya KRI Nagasasra bisa terbang, mungkin tanpa pikir panjang akan diterbangkan, sekali pun pendidikan penerbangan belum pernah diperolehnya.

Sekarang KRI Nagasasra sudah berlayar sehari semalam tetapi sisa jarak yang harus di tempuh masih lebih banyak. Tiba-tiba sebuah kabar cukup mengejutkan diantar sendiri oleh Perwira Radio ke hadapannya.

"Perang terbuka tampaknya segera akan pecah titik Bagaimana dengan anda tanda tanya Pacu kapal Anda secepat mungkin tanda seru Laksamana Budi Santoso titik"

Letnan Kolonel Haryono mengulangi membaca isi berita sebelum menyerahkan pada wakilnya.

"Bagaimana pendapatmu?"

Mayor Siswandi dengan tenang menjawab: "Mungkin kita harus   menanyakan pendapat Perwira Mesin! Apakah mesin kapal yang masih baru ini sanggup dipacu dengan kecepatan maksimumnya?"

"Baik! Panggil dia!" Mayor Siswandi mengiakan dan segera menjalankan perintah Komandannya. Semenit kemudian, Perwira Mesin datang menghadap.

"Perwira Mesin Kantono siap menerima perintah!" kata Perwira Mesin yang juga masih muda itu sambil menghentakkan kaki dan tangannya.

Letnan Kolonel Haryono mengangguk, membalas hormat sebelum berkata: "Dengan kecepatan ini bagaimana keadaan mesin?"

"Semua normal, Komandan!"

"Bagus! Cuma sekarang aku ingin kecepatan ini ditambah!"

Perwira Mesin mengerutkan keningnya.

"Tetapi ini sudah kecepatan maksimum!"

"Aku tahu itu tetapi maksimum yang kau maksud adalah maksimum yang digariskan oleh pembuat kapal. Bukan maksimum sesungguhnya!"

"Tetapi ...."

"Aku tidak meminta pendapatmu!" potong Letnan Kolonel Haryono cepat. "Aku memanggil kau ke sini untuk mendengarkan perintah. Sekarang, boleh kembali untuk segera melaksanakan!"

Beberapa saat Perwira Mesin ragu-ragu tetapi akhirnya mengiakan dan memberi hormat.

"Siap Komandan," katanya lemah. Kemudian dia berputar dan kembali ke kamar mesin.

Di kamar mesin.

"Sialan tuh, Komandan!" gerutu Perwira Mesin pada anak buahnya.

"Habis kena marah?" tanya salah seorang.

"Kena marah tai kucing!" kata Perwira Mesin berapi-api. "Dia ingin meledakkan kita semua!"

Beberapa anak buahnya yang tadinya tidak begitu tertarik dengan kekesalan si Perwira Mesin, sekarang sama-sama memandang ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya. Diledakkan?

"Kau tahu apa perintahnya kepadaku? Dia memerintahkan agar menjalankan kapal ini dengan kecepatan maksimum yang sesungguhnya. Kalian semua tentu tahu apa arti ini semua, bukan?"

Beberapa dari mereka mengangguk.

"Kapal ini memang akan berlayar lebih cepat tetapi jiwa kita semua dipertaruhkan di atasnya!"

Semua yang mendengar mengangguk-angguk.

"Kita harus mengambil tindakan untuk mencegah perintah gila-gilaan ini!" si Perwira Mesin melanjutkan.

"Aku setuju denganmu," kata salah seorang dari mereka, "tetapi tindakan macam apa yang bisa dilakukan? Ingat, di atas kapal kekuasaan Komandan mutlak. Bisa ditembak kalau coba-coba membangkang, apalagi dalam keadaan tegang seperti sekarang ini!"

"Kita tidak akan melakukan pembangkangan tetapi lebih dari itu!" Perwira Mesin berkata mengejutkan semua.

"Pembangkangan saja sudah merupakan sesuatu yang berat hukumannya dan ini dikatakan akan melakukan lebih dari itu?" tanya salah seorang anak buahnya.

"Ya," kata Perwira Mesin mantap. "Kalau cuma pembangkangan, bukan saja tidak akan membuahkan hasil, malah diri kita sendiri yang konyol tetapi rencana semacam ini cuma bisa dilaksanakan kalau kalian semua mau mendukung. Bagaimana? Kalian setuju mendukungku?"

Beberapa orang kelihatan ragu-ragu tetapi ketika satu dua orang menyatakan setujuan, yang ragu-ragu hilang keragu-raguannya dan mereka menyatakan mendukung rencana si Perwira Mesin.

"Kalau begini, bagus!" kata si Perwira Mesin. "Sekarang kalian dengar rencanaku!" Tanpa disadarinya, petugas bagian mesin mendesak maju agar bisa mendengarkan lebih jelas. "Kita akan membajak kapal perang ini!" desis si Perwira Mesin lirih tetapi tajam.

Hampir semua yang mendengarkan, tersurut mundur. Membajak? Mimpi pun mereka tidak pernah menduga ide semacam itu akan muncul.

"Kalian terkejut?" tanya si Perwira Mesin. "Tidak aneh! Aku sendiri juga terkejut ketika ide itu melintas di benakku. Kalian tahu, tadi malam aku membaca buku yang isinya tentang pembajakan semacam ini. Di buku itu diceritakan bagaimana anak buah sebuah kapal perang memberontak dan menguasai kapalnya cuma karena mereka tidak setuju dengan rencana Kapten Kapal membunuh semua tawanan perang. Nah, apa salahnya kalau ide buku itu diterapkan sekarang. Kalau Komandan ...."

Belum sempat si Perwira mesin meneruskan keterangannya pesawat interkom berbunyi.

"Ah, mungkin dari Komandan," desis Perwira Mesin sambil melangkah ke pesawat penerima. "Dia tentu ingin tahu mengapa aku belum juga melaksanakan perintahnya."

Ternyata benar. Ini jelas terlihat pada perubahan air mukanya. Juga dari cara meletakkan pesawat penerima jelas sekali kalau dia sedang kesal.

"Sialan!" katanya sambil melangkah ke kerumunananak buahnya. "Komandan memberi aku waktu 10 menit untuk menyiapkan mesin dan segera berlayar dengan kecepatan maksimum sesungguhnya!"

Perwira Mesin berhenti sejenak, berpikir keras.

"Hmm," dengusnya beberapa saat kemudian. Dia sudah mendapat ide. "Komandan akan kuhubungi dan kuminta datang ke sini. Akan kukatakan kalau ada masalah pelik yang harus dirundingkan dengannya! Pada waktu itulah kita akan menyergap dan memaksanya mengubah rencana!"

"Bagaimana kalau Komandan menolak datang ke  sini tetapi meminta bapak yang menghadap?" tanya salah seorang awak kapal pada si Perwira Mesin.

"Mudah-mudahan mau!" kata si Perwira Mesin setengah berdoa. "Kalau Komandan menolak terpaksa harus dicari jalan lain!"

Kemudian Perwira Mesin kembali ke alat komunikasi dan menekan tombol untuk anjungan Perwira. Petugas ruangan kemudi menerimanya.

"Perwira mesin ingin berbicara dengan Komandan. Penting!"

"Baik. Tunggu sebentar!" kata yang menerima.

Tiga puluh detik kemudian, Perwira Mesin sudah berbicara dengan Komandan KRI Nagasasra.

"Komandan," Perwira Mesin mendahului berkata. "Perwira Mesin di sini, siap melapor!"

"Silahkan!" terdengar suara Letnan Kolonel Haryono.

"Ada sesuatu yang perlu dilihat sendiri dan diputuskan sebelum kecepatan maksimum di jalankan!"

"Apa itu?"

"Kesulitan untuk menerangkannya, Komandan! Bisakah datang ke sini?"

Beberapa saat hening. Letnan Kolonel Haryono sedang menimbang permintaan yang tidak biasanya itu!

"Baik aku datang!" akhirnya Letnan Haryono setuju. Hati Perwira Mesin yang semula tegang luar biasa, sekarang seperti tanah lapang. Lega luar biasa.

"Terima kasih, Komandan" balasnya dengan nada gembira.

Pada teman-temannya atau tepatnya anak buahnya, Perwira Mesin mengabarkan kesediaan Letnan Kolonel Haryono datang ke ruang mesin.

"Bersiap-siaplah kalian! Aku yakin Komandan cukup cerdik untuk tidak mengadakan perlawanan yang sia-sia. Dia tahu bahwa dia harus menuruti perintah kita tetapi seandainya nekad, hal yang harus dicegah, terpaksa kugunakan ini!" berkata begitu si Perwira Mesin meraba pistol otomatis di balik bajunya. Entah kapan dia mengambil.

Mereka menunggu dengan tegang. Mereka tahu tindakan macam apa yang dikerjakan sekarang. Menyandera Komandan sebuah kapal perang sama dengan membajak Kapal Perang itu sendiri. Kalau berita ini tersebar seluruh dunia pasti peristiwa luar biasa ini akan ramai diberitakan.

Akhirnya, Komandan yang ditunggu-tunggu datang juga. Harapan terkabul, Letnan Kolonel Haryono datang seorang diri. Memangnya untuk apa harus dikawal kalau cuma pergi ke kamar mesin di kapal perangnya sendiri?

Begitu masuk, salah seorang anak buah kapal yang sudah bersiap-siap, mengunci pintu masuk dan menjaganya. Sekarang mereka benar-benar terpisah dengan dunia luar.

"Komandan", kata Perwira Mesin cepat, "Anda sekarang berada di bawah kekuasaan kami"

Letnan Kolonel Haryono terperangah dan seperti tidak percaya pada pendengarannya. Baru setelah Perwira Mesin mengulangi sekali lagi, dia mengangguk-angguk.

"Anda jangan coba-coba melawan kami dengan kekerasan, Komandan," sambung Perwira Mesin. "Kami ingin kejadian ini tidak ada yang tahu kecuali kami dan Komandan sendiri dan ini baru bisa dicapai kalau kita bekerja sama!"

"Kau sadar dengan yang kau lakukan?" tanya Letkol Haryono tajam, sambil menatap tepat ke mata Perwira Mesin.

Tanpa disadari si Perwira Mesin mundur selangkah. Wibawa seorang Komandan Kapal Perang tidak akan luntur cuma karena beberapa tindakan semacam itu.

"Kami sadar, Komandan!" Perwira Mesin mencoba menghilangkan getaran dalam suaranya.

"Juga dengan hukuman yang akan kalian terima?"

"Ya."

"Bagus! Sekarang apa mau kalian?"

"Batalkan perintah Komandan untuk menjalankan Kapal Perang ini dengan kecepatan maksimum yang sesungguhnya."

Beberapa saat Letkol Haryono menatap anak buah di depannya, juga yang lainnya. Matanya yang setajam pisau lipat berkelebat mengiris semua keberanian mereka yang hadir di ruangan itu.

"Kalian semua," katanya kemudian dengan desisan tajam, setajam pisau belati terbuat dari baja, "Kuberi waktu dua menit untuk berpikir. Tarik semua perlakuan kalian terhadap seorang Komandan Kapal Perang yang sah dan segera minta maaf. Akan dipertimbangkan membekukan peristiwa yang sebenarnya tidak bisa ditolelir ini. Ingat, cuma dua menit atau kalian semua akan menyesal!"

Kemudian, tetap dengan sikapnya yang sekokoh karang, Letkol Haryono meletakkan kedua tangannya ke belakang badannya dan pandangannya tertuju ke langit-langit kamar mesin. Semua yang ada di ruangan itu sepertinya sama sekali tidak dipandang sebelah mata.

Bagaimana dengan Perwira Mesin dan seluruh anak buahnya?

Mereka tergugu! Kali ini benar menubruk tembok! Mereka kenal siapa Komandan tetapi sedikit pun tidak pernah diduga kalau Komandan jauh lebih keras dari karang terkeras sekali pun.

"Satu menit lagi" desis Letkol Haryono tajam mengingatkan, batas waktu yang diberikan tinggal separuh.

Bintik-bintik keringat mulai muncul di dahi Perwira Mesin. Hidupnya seakan-akan tergantung pada satu menit yang akan datang. Terus atau tidak? Begitu juga dengan yang lainnya. Hati mereka setegang kawat baja.

"Tiga puluh detik lagi," sekali lagi terdengar desisan Letkol Haryono. Sekarang Komandan yang tidak tergoyahkan itu, melirik arloji di tangan kirinya.

"Dua puluh lima detik. Tidak ada perpanjangan waktu untuk tindakan kurang ajar ini."

Bintik-bintik keringat di dahi semua orang semakin banyak. Dengung mesin KRI Nagasasra yang mendesing bertenaga seakan-akan menambah suasana tegang.

"Sepuluh detik."

Tangan Perwira Mesin terkepal erat-erat.

"Sembilan ... delapan ... tujuh ...."

Ketegangan benar-benar merayap sampai ke puncak.

"Empat ... tiga ... dua ... sa ...."

"Komandan", potong Perwira Mesin lemah. "Kami menyerah."

Seulas senyum aneh muncul di bibir Letkol Haryono. Sedangkan anak buah kamar mesin tertunduk lesu. Urat syaraf mereka tidak cukup kuat untuk perang singkat tetapi hebat itu.

"Kali ini kalian dimaafkan, cuma jangan sampai terulang lagi," Letkol Haryono masih tetap berkata dengan desisan tajam. "Sekarang segera kalian laksanakan perintahku. Kutunggu laporanmu di kamarku." Kalimat yang terakhir jelas cuma ditujukan pada Perwira Mesin seorang.

Kemudian, tanpa menunggu jawaban, Letkol Haryono berbalikdan melangkah. Seorang sersan tergopoh-gopoh membuka pintu.

Di luar, Komandan Kapal Perang yang hebat ini menghela nafas panjang. Sebenarnya dia juga tegang setengah mati. Segalanya telah dipertaruhkan dan untung dia yang keluar sebagai pemenangnya.

Dua menit kemudian, KRI Nagasasra melonjak ke depan. Selanjutnya kapal itu berlayar benar-benar dengan kecepatan maksimum. Sekali lagi senyuman aneh muncul di sudut bibirnya. Senyuman aneh yang selalu berhasil menaklukkan banyak orang, termasuk anak buahnya.

***

Perang memang tidak pernah pecah tetapi kehadiran KRI Nagasasra yang jauh lebih awal dari waktu yang ditentukan banyak mendapatkan pujian. Masa depan gemilang bagi komandan kapal perang modern ini sudah menunggu tetapi yang lebih penting, semua yang ditakutkan oleh Perwira Mesin tidak terjadi. Teknologi mesin modern mampu menjawab semua kekhawatiran itu. (R-SDA-11032021-087853451949)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun