Aku terpaksa berhenti sejenak karena ragu-ragu lagi menanyakan pertanyaan sekonyol itu.
"Persoalan apa, pak?" tanya pak Slamet melihat keragu-raguanku.
Setengah tersenyum setengah meringis waktu itu, sebelum akhirnya kuteruskan maksudku:
"Sebenarnya pertanyaan yang akan ditanyakan pada pak Slamet ini benar-benar pertanyaan kekanak-kanakan tetapi kekanak-kanakan atau tidak, pertanyaan ini akan terus mengganggu pikiran kalau tidak cepat-cepat dicari jawabnya. Bapak kan tahu saya adalah langganan bakso bapak yang paling setia. Selama ini saya melihat sesuatu yang bagi saya merupakan misteri besar.Â
Pada mulanya saya beranggapan bapak memang jarang sekali tersenyum tetapi ternyata anggapan saya tidak benar. Bapak menyambut kedatangan saya dengan senyuman lebar. Justru karena ini, keingin-tahuan saya semakin besar. Saya mungkin akan terus penasaran kalau belum tahu jawabnya, mengapa pak Slamet tidak pernah tersenyum selama menjual bakso? Mengapa pak?"
Kutatap pak Slamet lekat-lekat. Pada mulanya dia tampak keheranan mendengar pertanyaan semacam itu atau bisa saja dia heran karena aku berhasil mengetahui kebiasaannya. Yang jelas akhirnya perlahan-lahan senyumnya mengembang cerah.
"Wah, bapak benar-benar luar biasa," katanya. "Saya pikir yang tahu tentang ini cuma saya dan mendiang ayah saya, tidak tahunya sekarang ada seorang lagi yang menyadari hal ini. Saya benar-benar kagum pada ketelitian bapak dan juga kagum pada keberanian bapak menanyakan secara langsung persoalan ini pada saya. Sebenarnya, sekali pun kebiasaan ini bukan merupakan rahasia besar yang jelas saya tidak ingin rahasia ini diketahui orang lain, tetapi ..."
"Tetapi apa?" tanyaku berdebar tegang. Aku benar-benar khawatir dia tidak bersedia menerangkan dan ini berarti aku akan selalu penasaran.
"Tetapi karena bapak repot-repot datang ke sini, Â maka akan keterlaluan kalau mengecewakan bapak. Baiklah akan diterangkan mengapa saya tidak pernah tersenyum selama berjualan bakso. Kebiasaan menjual bakso, yang sekaligus merupakan mata pencaharian utama bagi keluarga saya, diwarisi dari mendiang ayah. Beliau adalah seorang penjual bakso ulung, paling tidak menurut pendapat saya. Ketika ayah saya masih hidup, bapak mungkin belum tinggal di kampung ini."
"Betul pak," jawabku, "saya tinggal di sini baru satu setengah tahun lebih. Oh ya, sudah berapa lama ayah bapak meninggal dunia?"
"Sudah lama, pak" jawab pak Slamet, "Sekitar 11 tahun yang lalu!"