Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Senyum Tukang Bakso

10 Maret 2021   09:38 Diperbarui: 10 Maret 2021   09:53 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/roro_asyu

Senyum Tukang Bakso
Tri Budhi Sastrio

Manusia adalah mahluk paling aneh,
Hal yang paling biasa sekali pun
Dapat dijadikannya misteri!
Sebaliknya hal yang paling penuh misteri,
Kadang kala diacuhkan begitu saja!

Setiap sore, sekitar pukul lima, tukang bakso yang satu ini tentu lewat depan rumah. Setiap lewat, jika kebetulan berada di rumah, tentu aku memanggilnya. Biasanya kupesan semangkok. Kebiasaan ini terus berlangsung berbulan-bulan bahkan kalau tidak salah sudah lebih dari dua tahun. Hanya saja ada satu hal aneh dengan tukang bakso ini. Sekali pun dia belum pernah kulihat tersenyum.

Sungguh mati berani bersumpah, aku tidak pernah melihat dia tersenyum apalagi tertawa. Padahal, jika dilihat dari wajahnya, berani dipastikan termasuk kategori orang yang ramah. Aku yakin betul akan hal yang satu ini seyakin bahwa aku hidup di atas planet bumi dan tidak di atas planet Mars umpamanya.

Pada mulanya hal ini tidak disadari. Aku menganggap dia seperti itu karena memang tidak ada hal-hal yang mengharuskan seseorang tersenyum atau tertawa. Aku baru menyadari semua keanehan ini ketika pada suatu ketika orang yang berkerumun di sekitar gerobak bakso, termasuk aku, tertawa geli karena tingkah salah seorang tetangga, ternyata si tukang bakso tetap dengan mimik wajah serius. Orang lain yang asyik tertawa geli tentu saja tidak memperhatikan keanehan si tukang bakso, kecuali aku yang secara kebetulan melihat ke arahnya. Sejak itu aku perhatikan wajahnya dan memang benar, sekali pun tidak pernah tersenyum apalagi tertawa.

Diam-diam timbul tekadku, aku harus mengetahui rahasianya mengapa selama ini dia tidak pernah tersenyum. Apakah dia memang tidak bisa tersenyum tetapi ini mustahil bantahku sendiri ketika itu. Benar-benar mustahil ada manusia tidak bisa tersenyum atau tertawa. Bahkan ada seorang sarjana dari Barat membedakan binatang dan manusia karena senyuman. Manusia menurut dia adalah binatang yang bisa tersenyum dan tertawa. Sekalipun pendapat ini terlalu naif dan dicari-cari, tetapi mau tidak mau harus diakui ada  benarnya juga. Karena memang tidak ada, hewan seperti sapi umpamanya, bisa tertawa terbahak melihat pelawak beraksi.

Diam-diam mulai diatur strategi. Jika langsung ditanya mengapa tidak pernah tersenyum, aku yakin seratus persen tidak akan pernah mendapat jawaban. Dia tentu tidak mau begitu saja menceritakan rahasia pribadinya.

Langkah pertama strategiku adalah mengintip kehidupan sehari-hari di rumah. Apakah di rumah dia tidak pernah tersenyum, atau barangkali tidak tersenyum hanya kalau sedang berjualan bakso saja?

Ternyata mengintip seseorang di rumahnya sendiri tidaklah semudah dan segampang yang dibayangkan. Aku benar-benar menemui kesulitan terus menerus mengintai kebiasaannya. Bagaimana seandainya suatu ketika seseorang dilihat sedang menempelkan telinga  di dinding rumah tetangga, yang kebetulan dindingnya dari bambu dan mengintip ke dalam? Yakin tentu mencurigai orang itu. Paling tidak, orang yang mengintip ke dalam rumah orang tentu tidak bermaksud baik. Itu kecurigaan pertama, sedangkan kecurigaan kedua, mungkin anda beranggapan orang itu tidak waras, padahal aku sama sekali tidak suka disebut orang kurang waras. Aku waras seratus persen.

Karena mengintip secara sembunyi-sembunyi terlalu besar resikonya aku memutuskan bertandang langsung ke rumahnya. Begitulah kuluangkan waktu sehari kerja, khusus menyelidiki apakah si tukang bakso tersenyum atau tidak kalau tidak sedang berjualan bakso.

Aku masih ingat dengan jelas hari itu. Pagi tampak cerah, udara segar. Aku bersemangat. Selesai mandi dan berpakaian rapi, aku segera berangkat ke rumah dia. Di rumah dia, yang memang tidak terlalu jauh dari rumahku, tampak sepi-sepi saja dari luar. Pintu depan terbuka lebar, sedangkan dari arah dapur, samar-samar tampak asap mengepul tipis. Hmm, kalau bukan istrinya tentu dia yang sedang di dapur, tetapi bisa saja yang di dapur itu anaknya.

Ketika pikiran ini melintas di benakku, aku tersentak menyadari betapa sedikit yang kuketahui tentang orang ini. Aku bahkan belum tahu apakah dia mempunyai istri dan anak. Satu-satunya yang kuketahui tentang tukang bakso yang satu ini mungkin cuma nama dan kebiasaan tidak pernah tersenyum. Ingin tahu namanya? Pak Slamet.

Selesai memperhatikan keadaan rumah, kuteruskan langkah dan baru berhenti di depan pintu kayu yang terbuka. Ternyata pak Slamet sedang duduk di ruang tamu. Dengan cepat dia menyadari ada tamu. Dia bangkit dari duduknya dan ... ya ampun, dia tersenyum ramah padaku. Satu fakta sekarang kuketahui tentang dirinya. Dia tersenyum di rumah. Jadi dia cuma tidak tersenyum kalau sedang berjualan bakso!

"Maaf pak Slamet!" kataku mendahului.

"Oh, silahkan pak! Silahkan masuk!" sambut pak Slamet dengan senyum makin lebar. Diam-diam keragu-raguan menyelinap dalam hati. Mungkinkah semua kecurigaan dan semua yang keanehan yang kurasakan terlalu berlebih-lebihan? Tetapi apa yang sudah dimulai tidak baik dihentikan di tengah jalan. Aku harus meneruskan penelitian ini sampai ke titik terakhirnya. Apa pun jawabannya harus dicari sekarang juga.

"Terima kasih pak Slamet! Bagaimana kabarnya?" kataku sambil melangkah kekursi tamu.

"Oh, baik-baik saja!" balasnya. Sekarang senyumnya semakin lebar. "Ah, sebentar pak!" katanya kemudian sambil berdiri dari tempat duduknya hendak ke belakang. Mungkin dia mau menyediakan minuman untukku.

"Tidak usah repot-repot, pak Slamet," kataku. "Saya ke sini cuma mau bermain-main dan melihat rumah pak Slamet. Setiap hari membeli baksonya tetapi tidak tahu rumah penjualnya!"

"Rumah saya jelek, pak!" katanya merendah. "Saya ke belakang sebentar ya, pak!"

Aku terpaksa mengangguk.

Tidak terlalu lama masuk, dia sudah kembali. Di tangannya ada sekotak rokok dan korek.

"Ayo pak," katanya sambil meletakkan rokok dan korek api di  meja. Dia kemudian duduk tepat di depanku.

"Terima kasih pak Slamet tetapi saya tidak merokok!"

"Oh," serunya. "Benar-benar suatu berkah kalau bapak tidak merokok," katanya lebih lanjut. "Saya berusaha berkali-kali untuk tidak merokok tetapi gagal. Seandainya bisa saya benar-benar ingin berhenti merokok. Merokok cuma menghabiskan uang sedangkan gunanya terlalu kecil bahkan saya cenderung mengatakan tidak ada!"

"Mungkin juga," sahutku diplomatis. Bagaimana pun juga aku tidak bisa mengiakan begitu saja pendapatnya. Bukankah ia sendiri seorang perokok? Kalau seorang perokok mencela kebiasaannya sendiri, itu soal biasa, tetapi kalau orang yang tidak merokok mencela orang yang merokok, ini bisa dikategorikan mencampuri urusan orang lain dan mencampuri urusan orang lain jelas-jelas bukan bidangku, kecuali urusan tersenyum pak Slamet yang terpaksa kucampuri karena benar-benar penasaran sebelum tahu apa alasan tidak tersenyum kalau sedang berjualan.

"Bukan mungkin tetapi benar ya," katanya tegas.

Belum sempat kutanggapi kata-katanya, seorang perempuan setengah baya muncul dari dalam dengan nampan di tangan. Dua gelas teh yang masih berasap ada di atas nampan.

"Ah, pak Slamet terlalu repot," kataku.

"Cuma teh pak," katanya.

Percakapan kemudian beralih dari persoalan rokok. Kesempatan ini kugunakan untuk menanyakan senyuman. Kalau pada mulanya ragu-ragu menanyakan kebiasaannya, karena kupikir dia tidak pernah tersenyum sama sekali, tetapi setelah kulihat dia tersenyum kalau di rumah, aku memutuskan untuk bertanya langsung padanya.

"Pak Slamet," kataku setelah keadaan hening beberapa saat lamanya.

"Ya," jawabnya pelan sambil menatap ke arahku.

"Begini, pak," kataku melanjutkan, "Kedatangan saya ke sini di samping memang untuk melihat-lihat pak Slamet di rumah, juga karena ada persoalan yang ingin  ditanyakan kepada bapak. Persoalan ini ...."

Aku terpaksa berhenti sejenak karena ragu-ragu lagi menanyakan pertanyaan sekonyol itu.

"Persoalan apa, pak?" tanya pak Slamet melihat keragu-raguanku.

Setengah tersenyum setengah meringis waktu itu, sebelum akhirnya kuteruskan maksudku:

"Sebenarnya pertanyaan yang akan ditanyakan pada pak Slamet ini benar-benar pertanyaan kekanak-kanakan tetapi kekanak-kanakan atau tidak, pertanyaan ini akan terus mengganggu pikiran kalau tidak cepat-cepat dicari jawabnya. Bapak kan tahu saya adalah langganan bakso bapak yang paling setia. Selama ini saya melihat sesuatu yang bagi saya merupakan misteri besar. 

Pada mulanya saya beranggapan bapak memang jarang sekali tersenyum tetapi ternyata anggapan saya tidak benar. Bapak menyambut kedatangan saya dengan senyuman lebar. Justru karena ini, keingin-tahuan saya semakin besar. Saya mungkin akan terus penasaran kalau belum tahu jawabnya, mengapa pak Slamet tidak pernah tersenyum selama menjual bakso? Mengapa pak?"

Kutatap pak Slamet lekat-lekat. Pada mulanya dia tampak keheranan mendengar pertanyaan semacam itu atau bisa saja dia heran karena aku berhasil mengetahui kebiasaannya. Yang jelas akhirnya perlahan-lahan senyumnya mengembang cerah.

"Wah, bapak benar-benar luar biasa," katanya. "Saya pikir yang tahu tentang ini cuma saya dan mendiang ayah saya, tidak tahunya sekarang ada seorang lagi yang menyadari hal ini. Saya benar-benar kagum pada ketelitian bapak dan juga kagum pada keberanian bapak menanyakan secara langsung persoalan ini pada saya. Sebenarnya, sekali pun kebiasaan ini bukan merupakan rahasia besar yang jelas saya tidak ingin rahasia ini diketahui orang lain, tetapi ..."

"Tetapi apa?" tanyaku berdebar tegang. Aku benar-benar khawatir dia tidak bersedia menerangkan dan ini berarti aku akan selalu penasaran.

"Tetapi karena bapak repot-repot datang ke sini,  maka akan keterlaluan kalau mengecewakan bapak. Baiklah akan diterangkan mengapa saya tidak pernah tersenyum selama berjualan bakso. Kebiasaan menjual bakso, yang sekaligus merupakan mata pencaharian utama bagi keluarga saya, diwarisi dari mendiang ayah. Beliau adalah seorang penjual bakso ulung, paling tidak menurut pendapat saya. Ketika ayah saya masih hidup, bapak mungkin belum tinggal di kampung ini."

"Betul pak," jawabku, "saya tinggal di sini baru satu setengah tahun lebih. Oh ya, sudah berapa lama ayah bapak meninggal dunia?"

"Sudah lama, pak" jawab pak Slamet, "Sekitar 11 tahun yang lalu!"

"Wah sudah lama ya!"

"Memang lama, pak! Sekarang kita kembali pada persoalan tersenyum," katanya sambil tersenyum. "Ketika ayah mulai melatih saya berjualan beliau memberi pesan yang sampai saat ini tetap diingat dengan jelas. Janganlah ketus pada pembeli tetapi juga jangan terlalu ramah. Terlalu ketus membuat orang segan membeli lagi, terlalu ramah bisa-bisa engkau dianggap kurang ajar. Itulah pesan ayah saya. Setelah beliau meninggal, saya menafsirkan sendiri pesan itu. Saya tidak pernah ketus tetapi juga tidak pernah ramah. Itulah alasan mengapa saya tidak pernah tersenyum selama berjualan bakso. Bagaimana pak, sudah hilang rasa penasaran bapak sekarang?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk. Betapa sederhana persoalan ini tetapi persoalan sederhana ini sempat membuat aku kalang-kabut dan penasaran berhari-hari. Pak Slamet menatapku dengan senyumnya yang ramah. Benar-benar penafsiran pesan yang luar biasa. (R-SDA-10032021-087853451949)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun