"Terima kasih pak Slamet tetapi saya tidak merokok!"
"Oh," serunya. "Benar-benar suatu berkah kalau bapak tidak merokok," katanya lebih lanjut. "Saya berusaha berkali-kali untuk tidak merokok tetapi gagal. Seandainya bisa saya benar-benar ingin berhenti merokok. Merokok cuma menghabiskan uang sedangkan gunanya terlalu kecil bahkan saya cenderung mengatakan tidak ada!"
"Mungkin juga," sahutku diplomatis. Bagaimana pun juga aku tidak bisa mengiakan begitu saja pendapatnya. Bukankah ia sendiri seorang perokok? Kalau seorang perokok mencela kebiasaannya sendiri, itu soal biasa, tetapi kalau orang yang tidak merokok mencela orang yang merokok, ini bisa dikategorikan mencampuri urusan orang lain dan mencampuri urusan orang lain jelas-jelas bukan bidangku, kecuali urusan tersenyum pak Slamet yang terpaksa kucampuri karena benar-benar penasaran sebelum tahu apa alasan tidak tersenyum kalau sedang berjualan.
"Bukan mungkin tetapi benar ya," katanya tegas.
Belum sempat kutanggapi kata-katanya, seorang perempuan setengah baya muncul dari dalam dengan nampan di tangan. Dua gelas teh yang masih berasap ada di atas nampan.
"Ah, pak Slamet terlalu repot," kataku.
"Cuma teh pak," katanya.
Percakapan kemudian beralih dari persoalan rokok. Kesempatan ini kugunakan untuk menanyakan senyuman. Kalau pada mulanya ragu-ragu menanyakan kebiasaannya, karena kupikir dia tidak pernah tersenyum sama sekali, tetapi setelah kulihat dia tersenyum kalau di rumah, aku memutuskan untuk bertanya langsung padanya.
"Pak Slamet," kataku setelah keadaan hening beberapa saat lamanya.
"Ya," jawabnya pelan sambil menatap ke arahku.
"Begini, pak," kataku melanjutkan, "Kedatangan saya ke sini di samping memang untuk melihat-lihat pak Slamet di rumah, juga karena ada persoalan yang ingin  ditanyakan kepada bapak. Persoalan ini ...."