Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Kontemporer: Ketika Air Mata Tidak Lagi Bersisa

28 Februari 2021   12:12 Diperbarui: 28 Februari 2021   12:16 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Air Mata Tidak Lagi Bersisa
Tri Budhi Sastrio

Takdir kematian adalah misteri langit,
Hanya langit yang tahu,
Hanya langit yang menentukan!

Ayu sudah berhenti menangis sekarang. Surat warna merah jambu, yang dulu setiap kedatangannya selalu disambut dengan penuh kegembiraan, sekarang seakan-

akan berubah menjadi hantu malapetaka.

Tangan Ayu, sekalipun samar-samar, tampak jelas sekali bergetar. Sementara bibir, yang selalu merekah penuh daya pesona, sekarang mengatup, tidak lagi memancarkan daya pesona. Sedangkan matanya, yang biasanya selalu mengundang decak kagum setiap laki-laki yang memandangnya, sekarang tak lagi menunjukkan hal itu karena ada saputan cairan bening di sana.

Surat berwarna merah jambu itu sebenarnya sudah diterima oleh Ayu tiga hari yang lalu tetapi Ayu masih tetap menangis ketika mengulang membacanya sekarang.

Surat macam apa yang bisa membuat seorang gadis periang seperti Ayu, menangis sampai tiga hari berturut-turut setiap kali membacanya? Juga laki-laki macam apa, kalau seandainya yang menulis surat itu seorang laki-laki, yang bisa menulis surat begitu hebat, yang bisa membuat seorang gadis seperti Ayu Listyorini menangis berulang-ulang setiap membaca surat hasil tulisannya? Bahkan para sastrawan besar sekalipun mungkin akan mengacungkan jempol untuk prestasi hebat semacam itu.

Ayu menghela nafas panjang, kemudian melepaskan keras-keras. Gadis cantik itu seakan hendak melemparkan jauh-jauh rasa pepat dalam hatinya dengan menghela nafas panjang dan kemudian menghembuskan keras-keras.

Tiba-tiba Ayu berputar dan melangkah ke arah meja riasnya. Di sana Ayu berdiri mematung. Wajahnya yang cantik terlihat sembab sekarang.

"Aku tidak akan menangis lagi mulai sekarang!" katanya pada dirinya sendiri setelah beberapa lama puas mematung. "Tidak akan ada lagi dan tidak akan pernah lagi."

Kemudian, seperti permainan sandiwara saja, seulas senyum mulai mengembang di bibir Ayu.

"Aku tidak boleh menangis dan tidak akan menangis tetapi harus tersenyum!" gumamnya lirih dengan senyum yang semakin mengembang. "Ayu yang periang tak boleh berubah menjadi pemurung cuma karena sehelai surat. Setujukan, Ayu?"

Untuk menjawab pertanyaan yang lucu itu, yang dilontarkan oleh dan untuk dirinya sendiri, Ayu tidak cuma tersenyum manis tetapi sekarang malah tertawa geli. Mungkin jika ada orang kebetulan menyaksikan tingkah gadis itu, dia akan menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak percaya.

Ayu memang seperti samudera. Segenap perubahan hampir-hampir tidak pernah bisa diraba. Antara murung dan gembira, antara tangis dan tawa, antara serius dan jenaka, bagi Ayu seakan-akan tidak ada garis pemisah. Kalau ingin tertawa, ya tertawa saja. Kalau hatinya ingin murung, ya dia murung begitu saja.

"Untuk membuktikan bahwa Ayu mulai sekarang tidak akan menangis lagi, Ayu akan baca surat itu sekali lagi dengan suara keras," katanya kepada dirinya sendiri. "Setuju, kan?"

Ayu mengangguk.

"Setuju!" katanya enteng. Kembali seulas senyum mengembang di bibirnya yang memang indah itu.

Kemudian gadis itu memungut kertas merah jambu yang tadi dilemparkan begitu saja ketika dia berbalik dan melangkah ke depan meja riasnya.

"Untuk Ayu yang manis di rumah!" begitu Ayu mulai membaca dengan suara yang cukup keras. "Tidak mudah memang menulis surat, apalagi kalau surat itu harus berisi seperti apa yang hendak Abang tulis sekarang ini, Ayu. Memutuskan sesuatu yang telah dimulai dengan ketulusan, bukan hal yang mudah bagi semua orang termasuk bagi Abang sendiri. Lima tahun sudah kita bersahabat, lima tahun sudah kita saling mengirim surat dan lima tahun pula Abang merasa bahwa hubungan kita adalah hubungan yang tidak terpisahkan, tetapi nyatanya?"

Ayu berhenti sejenak.

'Nyatanya yang sebaliknya, bukan?' gumamnya pada dirinya sendiri, memberi komentar isi surat.

"Abang tidak mempunyai pilihan lain, seperti Ayu pun mungkin juga tidak punya pilihan lain. Abang masih ingat, bagaimana selama ini Abang selalu menulis surat untuk Ayu dengan hati berbunga-bunga. Abang juga masih ingat, bagaimana kata-kata indah kadang-kadang bisa meluncur dengan sendirinya tetapi sekarang, sekarang ketika harus membuat surat yang ini, ah ... menyelesaikan satu kalimat saja, rasanya berjam-jam harus Abang tempuh. Rasanya tangan dan pikiran Abang terus menolak untuk menulis. Bisa dan upas terasa menghadang dan menghalangi jalan pikiran Abang. Racun dan belerang terasa mengepung jalan pikiran Abang. Ah, Ayu, Abang hampir-hampir putus asa meneruskan kalimat-kalimat untuk surat ini tetapi segala sesuatu harus dituntaskan sampai ke akhirnya, bukan? Segala sesuatu yang telah diputuskan untuk kebaikan bersama harus dilaksanakan dengan dada tegak dan kepala tengadah, walau hati menjerit pedih, bukan? Bukankah Ayu setuju pada pendapat Abang ini?"

Tidak seratus persen, komentar Ayu sambil berhenti sejenak. Bagaimana bisa setuju seratus persen, kalau bagi laki-laki hal-hal semacam itu sering dilakukan, tapi bagi wanita justru sebaliknya? Bukankah lebih mudah bagi seorang laki-laki melupakan masa lalu dibandingkan dengan seorang wanita?

Enak saja engkau bicara, karena kebetulan engkau seorang laki-laki, sedangkan aku yang kebetulan seorang wanita, gerutu Ayu lebih lanjut. Coba yang sebaliknya, belum tentu akan berkata seperti itu. Huh ....

Puas mengejek, Ayu meneruskan membacanya.

"Bulan Desember ini, jadi tiga bulan lagi dari sekarang, Abang harus pergi, pergi ke tempat yang sangat jauh, yang ... yah kecil sekali kemungkinannya Abang bisa kembali lagi. Kalau tidak, huh ... diancam potong kepala sekali pun tidak nanti Abang mau menulis surat ini tetapi karena menyadari hal yang satu ini, sedikitpun tidak ada rasa ragu dan bimbang, Abang tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menulis, menerangkan segala sesuatunya, untuk kebaikan kita bersama, terutama kebaikan Ayu."

Tangan kanan Ayu yang tidak memegang surat tampak menggenggam erat. Erat sekali, dan mungkin Ayu sendiri tidak menyadari kalau dirinya mulai terpengaruh oleh isi surat.

Aku tidak boleh menangis lagi, begitu berkali-kali Ayu menasehati dirinya sendiri. Matanya berkejab-kejab, entah karena tegang, entah karena menahan tangis.

"Ayu, kalau orang-orang modern seperti kita, yang kenyang membaca dan mendengar, kemudian diberitahu oleh orang yang tidak perlu diragukan keahliannya, tentang sesuatu di dalam diri kita, akankah kita mencoba mengingkarinya? Pada mulanya Abang juga memang begitu, tetapi ketika ternyata tidak cuma satu ahli saja yang berkesimpulan seperti itu, Abang menyerah dan pasrah. Satu ahli memang bisa salah, tetapi kalau seratus ahli mengatakan hal yang sama, sementara mereka satu sama lainnya sama sekali tidak pernah berhubungan, akankah kita yang berpikiran rasional ini tidak mempercayai semua itu? Tidak, bukan? Begitu juga dengan apa yang akhirnya harus diterima. Abang terima keputusan nasib yang sudah tersurat ini. Abang terima semuanya, mesti dengan hati pedih. Bukan pedih karena memikirkan diri Abang sendiri tetapi lebih banyak karena memikirkan bahwa ada orang lain, yang selama ini selalu memenuhi pikiran dan hati Abang, yang juga pasti merasa pedih dan sedih. Ayulah terutama yang menjadi sumber kepedihan hati Abang. Meninggalkan seribu sahabat karena memang suratan, akan Abang jalankan jika memang tidak mempunyai pilihan, tetapi meninggalkan kamu seorang, ah ... betapa ingin Abang memberontak dan memprotes suratan nasib ini? Tetapi akal sehat Abang selalu mengingatkan, Abang hanyalah manusia biasa. Abang bukan Dewa yang mampu mengubah suratan takdir. Abang tidak punya kuasa apa-apa. Abang hanya insan yang lemah, sama seperti insan yang lain, yang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima semua yang sudah diputuskan atasnya, suka atau tidak suka. Abang ...."

Ayu tidak sanggup meneruskan membaca. Matanya berkaca-kaca, membuat tulisan di depannya tampak kabur.

"Aku tidak boleh menangis lagi," gumamnya berulang-ulang mencoba menguatkan dirinya sendiri. "Bukankah tadi aku telah berjanji begitu?"

Hanya saja sementara tekadnya untuk tidak menangis digumamkan berkali-kali, sementara itu pula air mata mulai mengalir membasahi pipi. Ayu menangis lagi, meskipun tidak ada isak yang terdengar.

"Tidak, aku tidak boleh menangis lagi!" bantahnya sambil mengusap air mata.

"Abang cuma bisa berdoa Ayu, agar apa yang sudah sirna atau tepatnya apa yang akan sirna nanti, tidak cuma bisa mendatangkan kesedihan dan kepedihan, tetapi juga bisa mendatangkan ketabahan dan ketegaran dalam mengayuh bahtera kehidupan ini. Doa Abang ini, terkabul atau tidak sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh Ayu. Kalau Ayu bisa terus melangkah dengan dada membusung dan kepala tegak sepeninggal Abang nanti, berarti doa Abang telah terkabul. Engkau mau bukan, Ayu, membantu Abang agar doa terakhir Abang ini menjadi kenyataan? Engkau mau bukan menunjukkan kepada dunia, bahwa engkau wanita yang tegar menghadapi gelombang dan badai cobaan hidup? Engkau mau bukan mewakili Abang menatap masa depan yang cerah ini dengan hati berbunga-bunga penuh semangat? Engkau mau bukan mewakili Abang melanjutkan studi Ayu sampai selesai, hal yang mungkin tidak bisa Abang lakukan sendiri ini? Engkau mau bukan, Ayu, untuk melakukan ini semua?"

Ayu tidak menjawab, sedangkan butir-butir bening tetap meluncur tanpa suara matanya. Ayu mengangguk-angguk, seakan-akan hendak memberi jawaban pada penulis surat yang berada nun jauh di sana itu.

"Ah, engkau memang tidak mengecewakan Ayu," tulis surat itu lebih lanjut. "Abang bahagia dan bangga mempunyai seperti engkau. Meski dari jauh sini tetapi abang bisa merasakan bahwa engkau pasti mau melakukan permintaan abang. Abang yakin pada hal yang satu ini."

"Akhirnya, kalau boleh abang tutup surat ini dengan salam perpisahan, abang ingin mengucapkan salam perpisahan dari sini dan semoga semua ketegaran yang ada di hati abang dan hatimu, tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Hanya karena kehendak-Nyalah kita terpisah, dan karena kehendak-Nyalah pula kelak kita akan bertemu kembali. Dari aku, Priyanto!"

Kemudian di bawah tanda tangan Priyanto tertera tanggal dan kota tempat surat itu dikirimkan. Berlin, 9 Juli 2001.

Ayu berdiri terpaku, butir-butir air mata semakin banyak membasahi pipinya, tetapi sementara itu pula, bibirnya terus bergumam, aku tidak boleh menangis lagi. Aku harus tegar, aku harus tabah, seperti yang dipesankan Abang padaku.

Tiga bulan kemudian, Ayu memang masih tegar dan tabah. Sifat periangnya pun masih ada, lebih-lebih kalau sudah berkumpul dengan teman-teman kuliahnya. Memang sekali-sekali dirinya dipergoki sedang melamun, tetapi Ayu selalu bisa berkilah dengan berbagai alasan, sehingga apa yang sebenarnya terpendam di hati Ayu tak seorang pun yang mengetahuinya.

Juga tak seorang pun yang tahu, kalau hampir setiap malam Ayu membaca surat itu, dan setiap kali pula dia tak kuasa membendung air matanya. Ayu memang tidak menangis, Ayu memang tidak terisak, tetapi butir-butir mutiara air matanya selalu menitik dan meluncur keluar.

Begitulah, hari-hari antara air mata dan ketegaran, hari hari antara menggapai cita-cita mewakili Abangnya dan ketekunan belajar, dilewati Ayu. Sampai pada suatu ketika, hampit tepat tiga bulan sejak dia memutuskan untuk tidak menangis lagi, sebuah telegram dari Berlin datang.

Ayu yang berada di kamarnya, sampai terlonjak ketika ibunya memanggilnya.

"Hei, Ayu, cepat ke sini. Ada telegram dari Berlin. Engkau harus menanda-tangani tanda terimanya!" kata ibunya dengan suara keras dari beranda luar.

Ayu terlonjak dan seperti terbang dia menghambur.

"Mana, bu?" katanya dengan nafas memburu, sedangkan pak pos menanti dengan sabar, dan tampak tersenyum kecil melihat tingkah gadis manis di depannya itu.

"Tanda tangani dulu resi penerimaannya!" perintah ibunya.

Di tangan kanan wanita setengah baya itu, sebuah telegram dikibar-kibarkan. Ayu menanda-tangani resi penerimaan dengan cepat, kemudian merebut telegram dari ibunya.

Sreet ... sampul telegram disobek begitu saja.

Ada semenit Ayu tercenung setelah membaca berita telegram itu, sebelum akhirnya gadis itu berkata lirih, tetapi dengan nada penuh kelegaan.

"Tuhan akhirnya mengabulkan juga doaku, meskipun air mataku sudah terlanjur tak tersisa lagi sekarang!"

"Hai, apa-apaan ini?" tanya sang ibu dengan kening berkerut tanda tidak mengerti.

"Tenang, Bu!" kata Ayu tersenyum manis. "Biasa, urusan anak muda!"

Kemudian, tanpa menunggu dan memberi kesempatan pada ibunya untuk bertanya lebih jauh, Ayu berlari-lari kecil memasuki kamarnya, dan menguncinya dari dalam. Sekali lagi telegram itu dibacanya:

SERATUS ORANG AHLI TERNYATA BISA JUGA MELAKUKAN KESALAHAN TITIK KANKER DARAH YANG DIPERKIRAKAN MEREKA DIDERITA OLEHKU KOMA TERNYATA BUKAN KANKER DARAH SEPERTI YANG MEREKA DUGA MELAINKAN KELAINAN DARAH BIASA YANG TIDAK BERBAHAYA TITIK AKU AKAN SEGERA PULANG MENEMUI AYUKU KOMA KARENA AKU BENAR BENAR SUDAH RINDU TITIK KUMINTA SETELAH ENGKAU MEMBACA TELEGRAM INI KOMA ENGKAU BOLEH TERTAWA DAN JUGA BOLEH MENANGIS KOMA KARENA SEKARANG AKU YAKIN KOMA TANGISMU BUKAN LAGI TANGIS TANDA KELEMAHAN MELAINKAN TANGIS TANDA LEGA TITIK INI SAMA DENGAN TANGIS YANG KULAKUKAN KETIKA DOKTER DOKTER AHLI MEMBERIKAN KESIMPULAN AKHIR MEREKA YANG KATANYA TIDAK MUNGKIN SALAH LAGI TITIK SAMPAI DI SINI DULU KOMA SAMPAI JUMPA DI SURABAYA NANTI TITIK DARI AKU KOMA PRIYANTO

Ayu tidak lag menangis sekarang, karena seperti tadi dikatakan, air matanya telah tidak bersisa lagi. Yang masih tersisa dan ada cumalah senyum dan tawa.

Kemudian, seperti hendak mengungkapkan rasa leganya yang besar, Ayu bersenandung dengan nada menggerutu:

Ah, kalau tahu begini
untuk apa kukeringkan air mataku
sedangkan engkau enak-enak di sana
dan tidak apa-apa
Ah, sialan, benar-benar sialan.

Nada yang digunakan untuk mendendangkan lagu kontemporernya itu nada pop yang pernah sangat populer dalam blantika musik Indonesia, Kembalikan Aku ke Orang Tuaku, oleh Betharia Sonata. Hanya saja lagu gubahan Ayu ini, mungkin judul yang cocok adalah: Kembalikan Air Mataku ke Tempat Penyimpanannya dan bukannya Kembalikan Aku ke Orang Tuaku. (R-SDA-28022021-087853451949)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun