Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Kontemporer: Ketika Air Mata Tidak Lagi Bersisa

28 Februari 2021   12:12 Diperbarui: 28 Februari 2021   12:16 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku tidak boleh menangis dan tidak akan menangis tetapi harus tersenyum!" gumamnya lirih dengan senyum yang semakin mengembang. "Ayu yang periang tak boleh berubah menjadi pemurung cuma karena sehelai surat. Setujukan, Ayu?"

Untuk menjawab pertanyaan yang lucu itu, yang dilontarkan oleh dan untuk dirinya sendiri, Ayu tidak cuma tersenyum manis tetapi sekarang malah tertawa geli. Mungkin jika ada orang kebetulan menyaksikan tingkah gadis itu, dia akan menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak percaya.

Ayu memang seperti samudera. Segenap perubahan hampir-hampir tidak pernah bisa diraba. Antara murung dan gembira, antara tangis dan tawa, antara serius dan jenaka, bagi Ayu seakan-akan tidak ada garis pemisah. Kalau ingin tertawa, ya tertawa saja. Kalau hatinya ingin murung, ya dia murung begitu saja.

"Untuk membuktikan bahwa Ayu mulai sekarang tidak akan menangis lagi, Ayu akan baca surat itu sekali lagi dengan suara keras," katanya kepada dirinya sendiri. "Setuju, kan?"

Ayu mengangguk.

"Setuju!" katanya enteng. Kembali seulas senyum mengembang di bibirnya yang memang indah itu.

Kemudian gadis itu memungut kertas merah jambu yang tadi dilemparkan begitu saja ketika dia berbalik dan melangkah ke depan meja riasnya.

"Untuk Ayu yang manis di rumah!" begitu Ayu mulai membaca dengan suara yang cukup keras. "Tidak mudah memang menulis surat, apalagi kalau surat itu harus berisi seperti apa yang hendak Abang tulis sekarang ini, Ayu. Memutuskan sesuatu yang telah dimulai dengan ketulusan, bukan hal yang mudah bagi semua orang termasuk bagi Abang sendiri. Lima tahun sudah kita bersahabat, lima tahun sudah kita saling mengirim surat dan lima tahun pula Abang merasa bahwa hubungan kita adalah hubungan yang tidak terpisahkan, tetapi nyatanya?"

Ayu berhenti sejenak.

'Nyatanya yang sebaliknya, bukan?' gumamnya pada dirinya sendiri, memberi komentar isi surat.

"Abang tidak mempunyai pilihan lain, seperti Ayu pun mungkin juga tidak punya pilihan lain. Abang masih ingat, bagaimana selama ini Abang selalu menulis surat untuk Ayu dengan hati berbunga-bunga. Abang juga masih ingat, bagaimana kata-kata indah kadang-kadang bisa meluncur dengan sendirinya tetapi sekarang, sekarang ketika harus membuat surat yang ini, ah ... menyelesaikan satu kalimat saja, rasanya berjam-jam harus Abang tempuh. Rasanya tangan dan pikiran Abang terus menolak untuk menulis. Bisa dan upas terasa menghadang dan menghalangi jalan pikiran Abang. Racun dan belerang terasa mengepung jalan pikiran Abang. Ah, Ayu, Abang hampir-hampir putus asa meneruskan kalimat-kalimat untuk surat ini tetapi segala sesuatu harus dituntaskan sampai ke akhirnya, bukan? Segala sesuatu yang telah diputuskan untuk kebaikan bersama harus dilaksanakan dengan dada tegak dan kepala tengadah, walau hati menjerit pedih, bukan? Bukankah Ayu setuju pada pendapat Abang ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun