Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Berdamai dengan Dosa

16 Februari 2021   07:47 Diperbarui: 16 Februari 2021   07:54 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.saatchiart.com/

Berdamai Dengan Dosa
Tri Budhi Sastrio

Kesalahan dan dosa masa lalu bak lukisan
Tak terhapuskan!
Semakin keras usaha dilakukan
Untuk menghilangkan,
Semakin terang sang lukisan terpampang!
Karenanya betapa bahagianya
Mereka yang selalu ingat
Untuk tak melakukan dosa!

Di kamar pengakuan dosa sebuah gereja kecil.

"Romo," seorang wanita yang sudah tidak muda lagi terdengar berkata dari bilik pengakuan dosa, "saya datang ke sini bukan untuk mengaku dosa tetapi untuk bercerita! Saya tidak tahu kepada siapa saya bisa bercerita dengan aman. Itulah sebabnya saya datang ke sini! Saya pernah menyaksikan sebuah film bagaimana seorang pastor dengan gigih dan mati-matian mempertahankan rahasia seseorang yang diucapkan di kamar pengakuan dosa. Meskipun diancam dan hendak dibunuh sampai akhir cerita pastor tersebut tetap mempertahankan rahasia itu. Jadi ...!"

"Nyonya tidak usah ...!"

"Jangan panggil saya nyonya, Romo!" potongnya. "Panggil saja dengan nama kecil saya. Titis!"

"Baiklah Titis!" kata Romo itu tetap lembut dan sabar. "Apa yang engkau ucapkan di kamar ini, cuma aku dan Tuhan yang tahu dan yang mendengarkan. Lain dari itu tidak ada! Oh ya, tadi engkau mengatakan kedatanganmu bukan untuk bertobat tetapi sekedar untuk menceritakan sesuatu? Itu tidak penting, Titis! Yang perlu kuberitahukan adalah keluarkan semua yang ada dalam hatimu. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Di depan Tuhan tak ada rahasia, Titis. Semuanya terbuka lebar!"

Wanita itu mengangguk pelan. Mengambil sapu tangan kecil berwarna kuning gading dari tasnya, mengusap muka perlahan dan menatap dinding kamar di depannya. Romo ada di balik dinding. Betapa inginnya dia berbincang-bincang tanpa dihalangi dinding.

"Titis, kau masih bimbang?" tanya Romo lagi. Rupanya Romo bisa merasakan ada sesuatu yang membuat wanita itu tidak cepat-cepat mengeluarkan isi hatinya. Titis mengangguk.

"Benar, Romo!" katanya setelah mengangguk. Wanita itu tahu kalau anggukannya tidak akan terlihat oleh Romo.

"Apa yang dibimbangkan? Mungkin bisa kubantu ..."

"Saya ...!"

"Kau tidak usah bimbang dan ragu. Kebimbangan tidak memecahkan masalah. Kebimbangan dan keragu-raguan cuma menciptakan masalah baru. Atasi rasa bimbang dan ragu-ragumu dan kau akan mendapatkan ketenangan!"

"Saya ingin berbicara di depan Romo tanpa dibatasi dinding ini!"

"Oh ya? Tetapi tadi engkau ingin berbicara di kamar ini!"

"Saya takut sendirian, Romo. Saya ingin melihat ada orang di dekat saya ketika menceritakan ini!"

"Baiklah, Titis! Berbicara di mana saja sama saja di mata Tuhan. Yang penting bagi Dia adalah ketulusan dan kehendak baik. Lain dari itu bukan masalah bagiNya. Ayo bicara di kamar kerjaku!"

Romo membuka pintu dan dengan lembut wanita yang sudah tidak muda lagi itu digandengnya. Romo Paulus sudah berumur lima puluh tiga tahun lebih. Beragam umat dengan berbagai macam persoalan pernah dihadapinya selama ini. Persoalan seperti yang dialami wanita muda ini, ragu-ragu dan bimbang kala akan menyampaikan sebuah pengakuan, adalah hal yang paling sering dilihatnya.

"Melontarkan semua yang ada dalam hati pada orang lain, pasti meringankan beban!" kata Romo sambil melangkah pelan ke ruang kerjanya. "Percayalah padaku, Titis!"

Titis mengangguk sambil berkali-kali menarik nafas panjang.

"Ayo duduk!" kata Romo lembut menyilahkan Titis kalau mereka berdua sudah berada di ruang kerja Romo Paulus. Titis duduk. Romo Paulus juga duduk.

Senyum Romo Paulus yang lembut perlahan-lahan mengusir kebimbangan dalam hati wanita itu.

"Engkau boleh mulai bercerita!" kata Romo Paulus.

"Baik Romo!" kata Titis. "Romo sudah tahu nama lengkap saja, di mana saya tinggal dan bagaimana hidup saya selama ini?"

Romo Paulus menggeleng.

"Kalau engka mau menderitakan akan kudengarkan tetapi jika engkau tidak mau, bagiku juga tidak masalah. Yang penting adalah persoalanmu. Bagiku tidak penting latar belakang dan keadaan dirimu tetapi persoalan yang selama ini merisaukan dirimulah yang penting bagiku."

"Saya pembunuh, Romo!" kata Titis tiba-tiba. "Dan bukan cuma seorang yang saya bunuh tetapi sekeluarga. Bapak, ibu dan tiga anaknya!"

Ada sinar terkejut di mata Romo Paulus tetapi cuma sekejab, Sinar itu segera hilang. Mata Romo Paulus kembali berubah tenang, setenang telaga.

"Romo tidak terkejut?" Titis bertanya heran melihat Romo Paulus sama sekali tidak terkejut dengan pengakuannya yang tiba-tiba.

Romo Paulus menggeleng.

"Aku tidak terkejut," kata Romo Paulus. "Aku belum mendengar mendengar seluruh cerita, bagaimana aku bisa terkejut?"

"Laki-laki itu saya bunuh dengan racun. Istrinya saya bunuh dengan hunjaman pisau di dada. Sedangkan tiga anak mereka, yang dua saya benamkan ke bak mandi, dan yang seorang saya gantung. Ya Romo, saya gantung gadis kecil manis itu sampai lidahnya menjulur keluar dan matanya membelalak menatap saya dengan pandangan takut dan tidak percaya.  Romo ingin tahu apa penyebabnya? Tidak ada alasan untuk pembunuhan ini. Benar-benar tidak ada alasan. Bahkan mengenal mereka pun saya tidak."

"Saya bunuh mereka sekeluarga karena tiba-tiba saja ingin menjadi pembunuh. Sudah banyak buku saya baca, sudah banyak film saya lihat, semuanya selalu menceritakan tentang pembunuh. Saya penasaran mengapa mereka mau menjadi pembunuh. Enakkah menjadi pembunuh? Itulah sebabnya saya memutuskan menjadi pembunuh tetapi ternyata ...!"

Wanita itu tidak melanjutkan kalimatnya. Benar-benar

sulit dipercaya cerita yang begitu menyeramkan meluncur keluar dari mulut mungil seorang wanita, dan bukan itu saja. Cara yang begitu enteng, seperti sedang membicarakan mode pakaian saja, benar-benar luar biasa. Tidak ada ketegangan sama sekali, kecuali sedikit kebimbangan yang memang sejak pertama tadi terlihat.

"Ternyata tidak enak menjadi seorang pembunuh!" wanita itu melanjutkan. "Saya selalu tegang dan risau. Perasaan berdosa dan bersalah berbaur menjadi satu dengan bayang-bayang saya. Mereka selalu berada di belakang saya, mengikuti saya kemana pun pergi dan ... yah, mereka terus-menerus mengingatkan saya pada kejadian itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan bersalah itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan berdosa itu tetapi saya tidak pernah berhasil, Romo. Itulah sebabnya, akhirnya saya memutuskan datang ke sini, meskipun saya bukan orang Kristen, apalagi Katolik."

Romo Paulus sama sekali tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Wajah dan sinar matanya tetap dalam.

"Berilah saya petunjuk, Romo!" kata Titis akhirnya. "Saya tidak tahan berada dalam keadaan begini terus-menerus!"

"Tidak ada orang yang pernah berhasil berdamai dengan dosanya!" kata Romo Paulus. "Kesalahan dan dosa ada agar selalu bertolak belakang dengan hati nurani manusia. Sia-sia kalau engkau mencoba berdamai dengan dosa, anakku! Oh ya, bolehkan aku memanggil engkau dengan sebutan anakku?"

Titis mengangguk.

"Perdamaian dengan dosa adalah perbuatan sia-sia, anakku!" Romo Paulus melanjutkan.

"Lalu saya harus bagaimana, Romo?"

"Bertobat!"

"Bertobat? Saya tidak mengerti bagaimana cara bertobat, Romo!"

"Untuk bertobat tidak membutuhkan cara, anakku! Tobat cuma membutuhkan niat. Lebih dari itu tidak ada. Tidak pernahkah engkau selama ini berniat untuk bertobat, untuk mengakui kesalahanmu dan kemudian mencoba melupakannya?"

"Saya telah mencoba melupakannya tetapi saya tidak berhasil, Romo!"

Romo Paulus tersenyum.

"Kalau seseorang dengan mudah bisa melupakan dosa dan kesalahan mungkin di dunia ini tidak ada kerisauan, anakku! Makin engkau mencoba melupakan sebuah kesalahan makin kesalahan itu tergambar jelas di depanmu! Tidak perlu mencoba melupakan atau menghilangkan kesalahan, anakku! Sungguh-sungguh tidak perlu!"

"Lalu ... lalu apa yang harus saya lakukan, Romo? Saya sudah tidak tahan keadaan ini! Batas kemampuan saya untuk menahan ini sudah sampai pada batasnya! Mungkin saya akan ...!"

Romo Paulus mengangkat tangannya.

"Tidak usah engkau teruskan, anakku! Aku tahu apa yang engkau maksudkan. Kapan semua itu terjadi anakku?"

"Tiga belas tahun yang lalu, Romo!" jawab Titis cepat.

"Tiga belas tahun yang lalu?" gumam Romo pelan, sepertinya sepertinya cuma ditujukan pada dirinya. "Jadi sudah tiga belas tahun ini engkau tersiksa oleh rasa bersalahmu?"

Titis mengangguk.

Romo Paulus membuat tanda salib sambil menunduk dalam. Tiga belas tahun disiksa oleh perasaan berdosa bukan hal yang main-main. Wanita mana yang tahan selama tiga belas tahun bergulat dengan rasa bersalah?

"Kau selama ini pernah berdoa, anakku?" tanya Romo Paulus tiba-tiba.

Titis terkejut. Rupanya dia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu. Berdoa? Bagaimana bisa berdoa, kalau dia sama sekali tidak tahu harus ditujukan pada siapa doanya? Juga ... ah, baru sekarang Titis menyadari bahwa selama ini tidak seorang pun pernah mengajarinya berdoa!

Mata Titis yang resah membelalak lebar menatap Romo Paulus. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu. Menggeleng? Betapa naifnya ada seorang anak manusia tidak pernah berdoa seumur hidupnya!

"Ketika aku berumur tujuh belas tahun!" Romo Paulus tiba-tiba berkata dengan suara pelan, "aku juga seorang pembunuh! Empat tahun aku mendekam dalam penjara sebelum akhirnya aku masuk seminari. Predikat pembunuh akan terus melekat meskipun telah ditebus dengan hukuman. Begitu juga dengan aku, anakku! Predikat pembunuh bagiku akan tetap kusandang, bahkan sampai kelak ketika aku sudah dikuburkan sekalipun."

Romo Paulus tersenyum sambil memandang jauh ke depan sana, membayangkan kembali apa yang pernah dialaminya dulu.

"Tetapi aku tak pernah bimbang atau ragu pada apa yang kupilih sebagai pengabdiakanku yang sekarang. Kau boleh risau, kau boleh bimbang tetapi yang telah terjadi tidak akan pernah bisa terhapus. Kau pernah menyaksikan orang-orang antri di ruang tunggu dokter, anakku?"

Alis Titis berkerut. Apa hubungan antara pembicaraan ini dengan orang antri di ruang tunggu dokter? Kalau dia berkata dirinya tidak bingung, maka jelas dirinya berbohong atau membohongi dirinya sendiri.

"Kalau kita perhatikan orang-orang yang sedang antri menunggu giliran, kita akan tahu berbagai macam sikap mereka. Ada yang tidak sabar, ada yang tidak perduli, tetapi ada juga yang sibuk dengan kegiatan lain. Yang tidak sabar membuang-buang energinya untuk sesuatu yang tidak berguna. Yang tidak perduli memang tidak rugi apa-apa tetapi juga tidak mendapat manfaat sama sekali. Tetapi yang sibuk dengan kegiatan lain, seperti membaca umpamanya, bukan saja dia tidak dirugikan karena harus antri, tetapi malah mendapat manfaat dari sana. Begitu juga dengan hidup manusia, nak. Semua orang sedang antri. Antri untuk berpindah ke alam abadi. Nah. Mengapa tidak diisi penantian yang pasti membosankan ini dengan sesuatu yang berguna dan menyenangkan? Mengapa penantian ini diisi dengan kerisauan, dengan keresahan, dengan perasaan berdosa dan sebagainya?"

 "Manusia sesuai dengan kodratnya memang tidak bisa menghilangkan itu, tetapi dengan kesadaran dan kemauannya dia pasti bisa mengubah banyak hal. Buang semua keresahanmu, buang semua rasa bersalahmu, dan tataplah matahari esok pagi yang pasti bersinar lebih cerah dibanding hari kemarin. Tersenyumlah menyambut kedatangannya. Ingatlah, kita semua sedang menanti, sedang menunggu giliran. Isilah masa penantian ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Isi masa menunggu ini dengan sesuatu yang menggembirakan. Tataplah masa lalu dengan senyuman, juga masa yang akan datang. Jutaan manusia mungkin menyadari hal ini tetapi berapa banyak yang sanggup melakukannya? Yang sanggup tersenyum kemudian menatap hari kemarin, hari ini dan hari esok? Tidak banyak, anakku! Benar-benar tidak banyak! Cuma beberapa saja dari mereka sanggup menghadapi semua ini dengan hati lapang, hati ringan, hati pasrah. Engkau mau bergabung dengan beberapa orang yang tidak banyak itu, anakku?" tanya Romo Paulus sambil mencondongkan tubuh.

Titis menatap laki-laki di depannya, laki-laki yang dia  panggil dengan sebutan Romo. Mata Romo yang bening dan teduh perlahan-lahan mengusir kabut di hatinya.

"Kita tidak perlu berdamai dengan dosa tetapi juga tidak perlu berseteru dengannya. Dosa tidak bisa dan tidak pernah bisa terdamaikan dengan hati manusia, tetapi juga jangan lupa kita tidak pernah menang melawan dosa. Biarkan dosa seperti apa adanya anakku. Biarkan dosa berjalan dan ada seperti dia ingin ada tetapi jangan biarkan hati kita tersesat olehnya. Kita harus tetap tegar menatapnya dan ....!"

Romo berhenti sejenak, mengusap keningnya yang entah sejak kapan dipenuhi bintik-bintik keringat kecil.

"Dan jangan sampai melakukannya lagi. Dosa yang dilakukan sudah cukup anakku. Tidak perlu ditambah lagi!"

"Tetapi aku membutuhkan pengampunan bagi itu semua, Romo!" Titis akhirnya bisa berkata lagi.

"Tuhan Mahapengampun. Tak ada kesalahan yang tidak bisa diampuni oleh diriNya. Tak ada dosa yang terlalu besar di hadapanNya. Tak ada kesalahan terlalu berat bagi diriNya. Kau percaya ini, anakku?"

Titis mengangguk pelan.

"Anggukan kepalamu adalah jaminan ampunan dariNya! Dia telah mengampuni dirimu bersamaan dengan rasa percayamu bahwa Dia Mahapengampun."

Romo Paulus tersenyum.

"Kau ingin berdoa sekarang, nak?" tanya Romo.

Titis mengangguk.

          "Tetapi saya tidak bisa berdoa, Romo!" jawab Titis.

"Doa bisa dipelajari, anakku, tetapi keyakinan dan iman, tidak! Kau mau kuajari berdoa?"

Titis mengangguk. Romo Paulus tersenyum lebar. Titis pun ikut tersenyum.

"Betapa bahagianya bisa membuat seseorang tersenyum!" gumam Romo Paulus pelan. "Ayo nak, kuajari engkau berdoa!"

Sesaat kemudian dalam ruangan yang hening dan damai itu berkumandang doa. Doa sepasang insan yang sadar akan hakikat hidupnya. (R-SDA-15022021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun